Amerika Serikat Akan Ambil Sikap Tegas Terhadap Qatar?

Sejumlah pihak memprediksi AS akan mengambil sikap tegas terhadap Qatar. Di sisi lain, Gedung Putih berniat menjadi mediator konflik.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 10 Jun 2017, 07:36 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2017, 07:36 WIB
Emir Qatar
Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani (AFP)

Liputan6.com, Washington, DC - Dalam beberapa hari terakhir sejak Qatar dikucilkan oleh sembilan negara, terutama Arab Saudi, Pemerintah Amerika Serikat dianggap akan mengambil sikap tegas dengan negara yang dipimpin oleh Emir Tamim bin Hamad al-Thani itu.

Padahal, dalam beberapa tahun sebelumnya, Qatar sempat menampung sekitar 10.000 pasukan AS di Pangkalan Udara Al-Udeid, yang menandai kuatnya relasi kedua negara.

Namun, dalam sejumlah perkembangan terakhir, Negeri Paman Sam tampak menunjukkan keberpihakan dan dukungannya terhadap Arab Saudi cs, demikian seperti yang dikutip dari CBSnews.com, Jumat (9/6/2017).

Menurut laporan CBS, pemerintahan Presiden AS Donald Trump sangat mendukung langkah Arab Saudi yang terus menekan agar Qatar memutuskan segala koneksi dan aliran dana terhadap kelompok ekstremisme maupun terorisme.

Kelompok-kelompok itu salah satunya seperti Muslim Brotherhood (Ikhwanul Muslimin), kelompok berbasis Wahabi dan Salafi, pecahan Al Qaeda, dan seluruh jaringan ISIS.

Sebelum Arab Saudi, Bahrain, Mesir, Uni Arab Emirat, Yaman, Libya, Maladewa, Mauritius, dan Mauritania memutus hubungan diplomasi dengan Qatar, Amerika Serikat telah menekan negara yang dipimpin oleh Emir Tamim bin Hamad al-Thani itu untuk menghentikan relasi dan koneksi dengan kelompok ekstremis maupun teroris.

Sementara itu, pada Jumat 9 Juni 2017, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Bahrain secara kolektif merilis daftar 59 individu dan 12 institusi yang mereka tuding mendanai teroris dan mendapat dukungan dari Qatar.

"Kerajaan Arab Saudi, Republik Mesir, Uni Emirat Arab, dan Kerajaan Bahrain bersatu dalam komitmen berkelanjutan untuk memerangi terorisme, mengeringkan sumber pendanaannya, melawan ideologi ekstremis, alat penyebarannya serta promosinya, dan melindungi seluruh masyarakat dari dampaknya...," demikian sebuah pernyataan yang dilansir media Uni Emirat Arab Al Arabiya.

"Akibat berlanjutnya pelanggaran yang dilakukan pihak berwenang di Doha atas kewajiban dan kesepakatan yang ditandatangani oleh mereka, termasuk janji untuk tidak mendukung atau melindungi organisasi atau elemen yang mengancam keamanan negara dan mengabaikan seruan berulang untuk memenuhi Kesepakatan Riyadh 2013, dan mekanisme pelaksanaan dan kesepakatan tambahan pada 2014: empat negara sepakat untuk mengklasifikasikan 59 individu dan 12 entitas dalam daftar teroris terlarang yang akan diperbarui secara berkelanjutan," ungkap pernyataan itu.

Pejabat tinggi Qatar membantah laporan tersebut dan menyebutnya sebagai "tuduhan tak mendasar tanpa bukti yang jelas", seperti yang dikutip oleh Associated Press.

Mereka juga menyebut bahwa Arab Saudi cs tidak "memiliki hak untuk melakukan blokade terhadap negara kami".

Sejumlah media juga menilai bahwa daftar yang dirilis secara kolektif itu justru membuat tensi semakin menegang antara Qatar dan Arab Saudi cs. Saat ini, AP melaporkan bahwa Kuwait tengah mengupayakan mediasi antara Qatar-Arab Saudi.

Kamis 8 Juni 2017 lalu, Amerika Serikat juga sempat menawarkan seorang mediator, yakni Menteri Luar Negeri Rex Tillerson. Sang Menlu AS memiliki riwayat negosiasi bisnis dengan pejabat tinggi pemerintahan Qatar saat dirinya masih menjabat sebagai CEO Exxon Mobil. Tawaran itu datang setelah Presiden Trump membicarakan krisis diplomasi Timur Tengah-Teluk Arab dengan Menteri Pertahanan Jim Mattis.

Selain itu, menurut laporan Gedung Putih, Presiden Trump sempat menghubungi Emir Tamim bin Hamad al-Thani dan menawarkan "untuk menolong para pihak yang berkonflik dan dimediasi oleh Gedung Putih". Sang presiden ke-45 AS juga menekankan peran Gulf Cooperation Council (GCC) dalam proses untuk meredakan tensi.

Akan tetapi, hal itu tampak bertentangan dengan komentar Presiden Trump pada beberapa waktu lalu. Sang presiden --melalui Twitter-- sempat menyindir bahwa dirinya memiliki andil terhadap pengucilan Qatar.

"Selama kunjungan kenegaraan saya ke Timur Tengah, saya menyatakan bahwa pendanaan terhadap kelompok berideologi radikal harus dihentikan. Para pemimpin kemudian menuding Qatar - Lihat!" kicau @realDonaldTrump pada 6 Juni 2017.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya