Muda, Ambisius, Reformis...Ini 3 Fakta Putra Mahkota Arab Saudi

Berikut 3 fakta beserta profil sang Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 23 Jun 2017, 19:48 WIB
Diterbitkan 23 Jun 2017, 19:48 WIB
Mohammed bin Salman (tengah) (AFP)
Mohammed bin Salman (tengah) (AFP)

Liputan6.com, Riyadh - Pada 21 Juni 2017 lalu, Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz al Saud, resmi menunjuk putranya, Mohammed bin Salman, sebagai pewaris takhta. Keputusan tersebut diambil setelah sang pemimpin mengeluarkan dekrit soal perombakan pemerintahan.

Sebelumnya, status putra mahkota Kerajaan Arab Saudi diemban oleh Pangeran Mohammed bin Nayef--keponakan Raja Salman. Namun, posisi pria 57 tahun itu digeser oleh Mohammed bin Salman.

Berbagai spekulasi dan tudingan beredar mengenai alasan Raja Salman yang memilih Pangeran Mohammed menjadi putra mahkota, ketimbang Pangeran Mohammed bin Nayef. 

Ada yang menyebut bahwa Pangeran Mohammed dipilih sang raja karena ia dianggap sebagai putra favorit ketimbang keponakannya, bin Nayef.

Sebagian yang lain menduga bahwa pemilihan Pangeran Mohammed sebagai putra mahkota dilakukan atas penilaian yang objektif, seperti usianya yang jauh lebih muda ketimbang Pangeran bin Nayef hingga kiprahnya di dunia politik serta pemerintahan Arab Saudi.

Guna menandai salah satu momen krusial itu, berikut 3 fakta sang Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman seperti yang dirangkum oleh Liputan6.com dari berbagai sumber (23/6/2017).

Saksikan juga video berikut ini

Sepak Terjang Awal Sang 'Putra Mahkota'

Pangeran Mohammed bin Salman al-Saud (Saudi Interior Ministry via AP)

Mohammed bin Salman lahir pada 31 Agustus 1985. Ia merupakan anak laki-laki Raja Salman dari istri ketiganya yang bernama Fahda binti Falah bin Sultan bin Hathleen.

Kakek Putri Fahda, Rakan bin Hathleen, merupakan seorang kepala suku Ajman. Suku tersebut berlokasi di timur laut Teluk Arab yang tersebar di sejumlah wilayah, seperti Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab.

Pada 2008, di usianya yang ke 23 tahun, Pangeran Mohammed menikah dengan Putri Sarah binti Mashboor bin Abdulaziz al Saud. Pasutri itu memiliki tiga orang anak. Demikian seperti yang dikutip dari Al Jazeera.

Sang putra mahkota memperoleh pendidikan formal dari sekolah top di Riyadh. Ia kemudian memperoleh gelar sarjana hukum dari King Saud University dan menjadi lulusan kedua terbaik di angkatannya.

Setelah memperoleh gelar sarjana, sang pangeran mendirikan sejumlah firma swasta. Hanya beberapa tahun terjun di sektor swasta, anak Raja Salman itu kemudian terlibat di sektor pemerintahan.

Sejumlah jabatan awalnya di pemerintahan antara lain, sekretaris jenderal Riyadh Competitive Council, penasihat khusus untuk dewan pembina King Abdulaziz Foundation, dan anggota dewan penyantun Albir society for development.

Sementara itu, anak Putri Fahda binti Falah itu juga seorang filantrofi. Ia menderikan MiSK Foundation atau King Salman Youth Center, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang kepemimpinan dan kepemudaan serta bisnis start-up.

Pada 2013, ia dianugerahi 'Personality of the Year' oleh majalah Forbes Middle East atas perannya di MiSK. 

Keputusan Kontroversial

Mohammed bin Salman terjun pertama kali di dunia politik saat menjabat sebagai penasihat penuh waktu untuk dewan kementerian Arab Saudi selama 2007 - 2009 dan penasihat paruh waktu pada 2009 hingga 2013. Pada 2013, ia diangkat sebagai Ketua Crown Prince Court. Demikian seperti yang dikutip dari BBC.

Ia juga dipilih oleh ayahnya --yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur Riyadh-- sebagai penasihat khusus pada 2009.

Pada Januari 2015, sang pangeran ditunjuk oleh ayahnya --yang telah menjadi Raja- untuk menjabat sebagai Menteri Pertahanan di usianya yang baru menginjak 29 tahun. Penunjukkan itu menjadikan sang putra mahkota Menhan termuda di dunia.

Di tahun yang sama, ia diangkat menjadi deputi putra mahkota untuk Kerajaan Arab Saudi.

Penunjukkan Pangeran Mohammed untuk menduduki sejumlah jabatan strategis dinilai sebagian orang sebagai bukti bahwa Raja Salman lebih memfavoritkan anaknya untuk menjadi pewaris takhta, ketimbang Mohammed bin Nayef. Pangeran bin Nayef, kemenakan Raja Salman dan sepupu Pangeran Mohammad, merupakan salah satu figur pewaris takhta Negeri Minyak.

Kebijakan yang terkenal saat pria muda itu menjabat sebagai Menhan adalah memimpin dan memberikan otorisasi untuk Operation Decisive Storm. Operasi militer itu menandai keterlibatan koalisi Arab Saudi Cs untuk menyerang Yaman yang tengah dilanda perang saudara.

Negeri Minyak itu mendukung kubu Wakil Presiden Yaman Abd Rabbuh Mansur Al-Hadi untuk melawan pemberontak Houthi yang didukung oleh Iran. Sang putra mahkota juga dinilai lebih agresif dalam menyikapi kebijakan luar negeri Arab Saudi terhadap Iran.

Akan tetapi, sikapnya dalam menangani Negeri Persia sempat menuai kontroversi. 

Pada 2016, sang pangeran memberikan otorisasi untuk mengeksekusi ulama Syiah, Syeikh Nimr al-Nimr. Otorisasi hukuman mati sang ulama itu merupakan bagian dari eksekusi masal Arab Saudi terhadap 47 terpidana.

Eksekusi al-Nimr menyulut amarah warga Iran yang dilampiaskan dengan membakar kedutaan Arab Saudi di Tehran. Insiden itu juga menyebabkan pemutusan hubungan diplomasi antara Arab Saudi dengan Iran pada 4 Januari 2016. 

Kekuatan di Balik Layar Raja Salman

Pangeran Mohammed juga diangkat oleh sang Raja menjadi salah satu penasihat pribadi untuk urusan politik dan ekonomi. Menurut The Economist, sosok pria muda itu merupakan 'kekuatan di belakang layar' pemerintahan Arab Saudi yang dipimpin oleh Raja Salman.

Selain jabatannya sebagai Menhan dan penasihat pribadi raja, sang pangeran juga menjabat sebagai kepala Council for Economic Affairs and Development. Lembaga itu bergerak di bidang pengawasan dan intervensi kebijakan di sektor ekonomi, politik, bahkan hingga keamanan.

Pada April 2016, sebagai kepala Council for Economic Affairs and Development, ia memperkenalkan kebijakan ambisius yang bernama Vision 2030. Agenda kebijakan itu beragam, mulai dari diversifikasi ekonomi (agenda prioritas) hingga menggencarkan pengaruh dan kebijakan politik luar negeri Arab Saudi di kawasan.

Di sektor ekonomi, Vision 2030 memiliki agenda untuk mendiversifikasi, memprivatisasi, dan memodernisasi perekonomian Arab Saudi. Salah satu upaya dalam kebijakan itu adalah merancang skema pendanaan dan investasi asing selama 15 tahun senilai US$ 2 triliun.

Vision 2030 juga akan menginisiasi National Transformation Programme, sebuah reformasi strategi ekonomi. Salah satu programnya ditandai dengan penjualan saham perusahaan minyak Arab Saudi Aramco sebesar 5 persen senilai US$ 600 miliar.

Hasil penjualan 5 persen saham Aramco akan dikembangkan di sektor perumahan mewah dan industri. Diprediksi, pengembangan sektor itu mampu meraup keuntungan hingga sekitar US$ 1 triliun.

Sektor ekonomi lain yang akan dikembangkan adalah berbasis pada ketenagakerjaan, pariwisata, dan industri militer. Sejumlah aspek itu diyakini oleh Bin Salman akan meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi ketergantungan pemasukan dari sektor industri minyak.

Selain itu, ia juga menginisiasi upaya untuk meminimalisir dan membatasi peran polisi syariah Arab Saudi, suatu langkah yang dinilai sebagai usaha untuk merombak tradisi guna mengubah Negeri Minyak yang lebih moderat. Ia pun banyak disukai oleh golongan pemuda Saudi, kelompok melek literasi, dan media.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya