3 Skenario Perubahan Iklim yang Picu 'Kiamat' pada Akhir Abad Ini

Seorang ilmuan memprediksi pemanasan global memicu kiamat hingga Bumi tak bisa lagi ditinggali.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 16 Jul 2017, 19:48 WIB
Diterbitkan 16 Jul 2017, 19:48 WIB
Ilustrasi kiamat
Ilustrasi kiamat (manataka.org)

Liputan6.com, Canberra - Seorang ilmuan asal Australia baru-baru ini mengeluarkan artikel tentang perubahan iklim yang mengerikan hingga bisa memicu Bumi bak kiamat tak bisa lagi ditinggali.

Adalah David Wallace-Well yang menulis esai di Majalah New York berjudul 'The Unhabitable Earth'. Dalam tulisannya ia mendeskripsikan betapa mengerikannya pemanasan global kelak. Dan Bumi bakal tak bisa dihuni lagi pada akhir abad.

"Aku janji, pemanasan global jauh lebih mengerikan daripada yang kau bayangkan," tulis Wallace-Well dalam kalimat pembuka esai-nya seperti dikutip dari News.com.au pada Minggu (16/7/2017).

Wallace-Well mendeskripsikan 'kiamat' akan terjadi di Australia.

"Bahkan jika orang Australia berhasil selamat, namun kota-kota besar mengalami kekeringan yang parah, laut beracun, dan kematian menghantui gara-gara asap serta perang," tulisnya dalam artikel itu.

Wallace-Well juga menegaskan bahwa kiamat akan terjadi pada akhir abad.

Meski demikian, tulisannya itu mendapat kritik tajam. Namun, bukan oleh mereka yang skeptis dengan perubahan iklim, melainkan ilmuwan yang pro terhadap hal itu

Para ilmuan sepakat tulisan Wallace-Well 'tak bertanggung jawab'.

"Klaim luar biasa ini memerlukan bukti banyak dan mendalam yang luar biasa. Artikel ini gagal untuk menunjukkan bukti itu," kata Michael E.Mann Direktur Earth System Science Centre di Pennsylvania State University.

Senada dengan Mann, Richard Betts dari University of Exeter, Inggris mengatakan, "Bumi tak bisa lagi ditinggali adalah murni hiperbola."

Namun, ada pula yang sependapat dengan Wallace-Well. Salah satunya ada Dr Liz Hanna, Presiden dari the Climate and Health Alliance dan peneliti dampak pemanasan global terhadap kesehatan di Australian National University (ANU).

"Ini bisa saja terjadi, dan kapan saja," kata Hanna. Ucapannya diamini oleh Professor Will Steffen dari Dewan Kebijakan untuk Perubahan Iklim Australia.

"Ini bukan pandangan ultra-sains, namun, penilaian yang teliti terhadap keruntuhan masyarakat akan perubahan iklim yang ekstrem," kata Steffen.

Lantas skenario seperti apa yang menunjukkan bahwa kiamat sudah di depan mata. Berikut 3 'gejala' versi Wallace-Well:

 

Sebelumnya, saksikan video tentang pemanasan global berikut ini:

1. Antartika Lumer

Dalam esainya, Wallace-Wells mengatakan bahwa efek pemanasan global telah terjadi.

The Global Seed Vault-- tempat bank benih kehidupan-- yang sejatinya dikelilingi oleh es abadi, telah meleleh.

Pada hari Rabu 12 Juli 2017 lalu, satu triliun ton blok es dua -- kali ukuran Wilayah Ibu Kota Australia -- lepas dari lapisan es Antartika. Tiga tahun terakhir ini tercatat suhu di kawasan meningkat panas.

"Ini bukan serangkaian prediksi tentang apa yang akan terjadi. Sebagai gantinya, ini adalah potret pemahaman terbaik kita tentang di mana planet ini tidak memiliki tindakan agresif yang melawan pelelehan global," tulis Wallace-Well dalam artikelnya

Kemungkinan kiamat bagi Wallace-Well begitu mengerikan.

"Tidak ada program pengurangan emisi yang masuk akal yang dapat mencegah bencana iklim," lanjut tulisannya.

"Kebanyakan orang berbicara seolah-olah Miami dan Bangladesh masih memiliki kesempatan untuk bertahan, tapi sebagian besar ilmuwan yang saya ajak bicara menganggap kita akan kehilangan mereka dalam abad ini," beber Wallace-Well.

Dia menulis bahwa Bumi memiliki kepunahan massal 250 juta tahun yang lalu ketika planet ini menghangat lima derajat yang memicu pelepasan metana yang terbungkus es Arktik.

"Ini berakhir dengan 97 persen dari semua kehidupan di Bumi mati. Saat ini kita sedang menambahkan karbon ke atmosfer pada tingkat yang lebih cepat," tulisnya.

Es mencair yang sama juga bisa melepaskan penyakit mematikan yang membeku pada waktunya, seperti cacar dan wabah.

2. Manusia 'Dimasak'

Perjanjian Iklim Paris 2015 memiliki tujuan untuk menahan kenaikan suhu global menjadi "di bawah 2 derajat Celcius" di atas tingkat pra-industri. Banyak ilmuwan iklim berpikir bahwa tujuan ini tidak dapat diraih.

Wallace-Wells mengatakan jika suhu global meningkat sekitar 4 derajat Celcius, daerah khatulistiwa yang panas dan lembab tidak dapat dihuni makhluk hidup.

"Dalam beberapa jam, tubuh manusia akan dimasak hingga mati dari dalam dan luar."

Selain itu, gejala lain seperti pengasaman samudera bisa membunuh ikan dan menciptakan "zona mati dan hidrogen beracun berupa 'sengatan sulfida' yang mungkin menggelembung dari dasar laut.

Dalam dunia yang lebih hangat 4 derajat Celcius, ekosistem Bumi - termasuk di Australia - akan mendidih dengan segumpal tornado, banjir dan kekeringan, "yang belum lama ini pernah menghancurkan seluruh peradaban."

3. Peradaban akan Hancur

"Bila manusia tidak bisa makan, mereka akan bertarung, bergerak atau melakukan keduanya. Mereka tidak hanya duduk di sana dan kelaparan.

"Sama sekali tidak hiperbola untuk mengatakan bahwa masyarakat bisa runtuh," tulis Wallace-Well.

"Pada akhir abad ini populasi bisa turun dari tujuh miliar menjadi satu miliar karena yang Anda hadapi adalah rejimen curah hujan yang mengubah sistem pangan global yang akan menimbulkan malapetaka. Anda juga bisa melihat kenaikan permukaan air laut yang dapat menggenangi kawasan industri," katanya.

Dr Hanna dari AN setuju bahwa masa depan yang suram bernubuat lebih masuk akal.

"Mungkinkah sebagian dunia bisa dihuni? Yang pasti ya," kata Hanna

"Kekeringan ekstrem permanen" diprediksi akan menimpa daerah berpenduduk padat di Australia mungkin tidak akan terjadi," kata Hanna.

"Namun kekeringan yang parah dan kekeringan yang berlangsung lama pasti bisa terjadi," lanjutnya.

Meskipun demikian, ada hal-hal positif yang mungkin bisa menghentikan 'kiamat' terjadi. Termasuk munculnya energi terbarukan.

Bahkan Wallace-Wells memiliki harapan untuk menunjukkan keberhasilan secara bertahap menipiskan lubang di lapisan ozon.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya