Ilmuwan Ungkap Hubungan Badai Matahari dan Terdamparnya 29 Paus

Ilmuwan mengungkap keterkaitan badai Matahari dengan terdamparnya 29 paus di Laut Utara pada awal 2016.

oleh Citra Dewi diperbarui 05 Sep 2017, 18:40 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2017, 18:40 WIB
Paus terdampar
Sejumlah paus terdampar di pantai Jerman pada awal 2016. (AFP)

Liputan6.com, Kiel - Ilmuwan diyakini telah mengungkap penyebab terdamparnya 29 paus sperma di Laut Utara pada awal 2016. Mereka menyebut, badai Matahari berskala besar yang membuat aurora borealis bergerak makin lincah, telah berperan penting dalam fenomena itu.

Sebuah studi terbaru mengatakan, terganggunya medan geomagnetik telah membuat kemampuan navigasi paus menjadi terganggu. Hal itu menyebabkan mereka mengarah ke perairan yang lebih dangkal.

Terjebak dan tersasar, paus-paus itu mati di sejumlah pantai di Eropa, yakni di Jerman, Belanda, Inggris, dan Prancis.

Paus yang terdampar kala itu, rata-rata masih muda, tak dalam keadaan lapar, dan bebas dari penyakit. Hal tersebut pun membuat para ilmuwan kebingungan.

Dikutip dari BBC, Selasa (5/9/2017), mereka berpendapat bahwa paus sperma bernavigasi menggunakan medan geomagnetik Bumi dalam melakukan perjalanan.

Medan geomagentik tersebut memiliki gelombang yang berbeda-beda di seluruh Bumi -- ada yang lemah dan kuat. Ilmuwan meyakini bahwa paus belajar untuk membaca hal tersebut dan menggunakannya sebagai alat navigasi, layaknya manusia menggunakan peta.

Dr Kalus Vanselow dari University of Kiel, Jerman, dan rekan-rekannya mengatakan, badai Matahari berskala besar mengganggu medan magnet dan menyebabkan paus tersasar.

Ketika partikel dan radiasinya sampai ke atmosfer Bumi, aurora borealis pun terbentuk di utara Bumi. Namun, badai Matahari berskala besar dapat merusak sistem dan satelit komunikasi.

Para ilmuwan telah memiliki beberapa bukti bahwa badai Matahari dapat berdampak pada kemampuan navigasi burung dan lebah.

Vanselow dan rekannya mempelajari hubungan antara terdamparnya paus dengan dua badai Matahari yang terjadi pada Desember 2015.

Aurora Borealis dan Terdamparnya Paus

Pada Desember 2015, aurora borealis terlihat sangat liar. Bahkan, banyak tempat di Skotlandia dan Eropa utara dapat menyaksikan fenomena alam itu.

Mereka melihat secara spesifik wilayah di sekitar Shetland, Skotlandia. Di sana para ilmuwan menemukan bahwa fenomena tersebut dapat menyebabkan medan magnetik terganggu hingga sejauh 460 kilometer.

Hal tersebut menyebabkan paus sperma di kawasan tersebut berjalan ke arah yang salah.

"Ketika cahaya kutub (aurora borealis) terlihat, itu adalah wilayah di mana gangguan geomagnetik paling besar terjadi di muka Bumi," ujar Vanselow.

"Paus sperma adalah hewan yang sangat besar dan berenang di lautan luas, jadi jika mereka terganggu akibat efek ini, mereka dapat berenang ke arah yang salah selama berhari-hari, tapi dapat mengoreksinya."

"Namun di area antara Skotlandia dan Norwegia, jika paus berenang ke arah yang salah selama dua hari, maka terlalu terlambat bagi mereka untuk kembali, mereka terjebak."

Vanselow meyakini bahwa teori tersebut masuk akal. Pasalnya, terdamparnya paus itu terjadi enam minggu setelah badai Matahari berskala besar terjadi.

Meski demikian, teori Vanselow adalah teori yang sangat sulit untuk dibuktikan. Namun, ilmuwan lain menyebut bahwa teori tersebut masuk akal.

"Sangat sulit untuk mengatakan bahwa 'iya, ini adalah penyebabnya', kami sangat berhati-hati dalam mengatakan itu," ujar Abbo Van Neew dari University of Hannover yang menjalankan pembedahan 16 paus yang terdampar di Jerman.

"Namun ini adalah hipotersis yang valid dan merupakan alasan potensial atas terdamparnya paus itu," imbuh dia.

NASA juga sedang menyelidiki pertanyaan, apakah badai Matahari dapat berdampak pada seluruh cetacea -- binatang laut besar -- di seluruh dunia.

Sekelompok ilmuwan mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan Venselow berdasar pada bukti dan alasan yang baik.

"Ini adalah salah satu mekanisme potensial untuk membuat hewan kebingungan, saya pikir ini adalah teori yang kredibel," ujar pemimpin proyek NASA, Dr Antti Pukkinen.

Namun menurutnya, jika dilihat dari sudut pandang analisis data, itu bukanlah satu-satunya faktor yang berkontribusi terhadap hal tersebut.

 

Saksikan video berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya