Donald Trump: Rusia Diam-Diam Beri Bantuan ke Korea Utara

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan bahwa Rusia tak membantu soal isu Korea Utara.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 18 Jan 2018, 15:00 WIB
Diterbitkan 18 Jan 2018, 15:00 WIB
Vladimir Putin dan Donald Trump
Vladimir Putin dan Donald Trump melakukan pertemuan tertutup disela-sela KTT G20 yang diadakan di Hamburg, Jerman (7/7/2017). (AP Photo/Evan Vucci)

Liputan6.com, Washington, DC - Di tengah tensi tinggi seputar krisis di Semenanjung Korea, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan bahwa Rusia tak membantu soal isu Korea Utara. Hal itu ia utarakan pada Rabu, 18 Januari 2018.

Trump juga menuduh bahwa Kremlin terus membantu Korea Utara 'mencurangi' sanksi internasional. Demikian seperti dikutip dari CNN, Kamis (18/1/2018).

"Rusia sama sekali tak membantu kami soal isu Korea Utara," kata Trump saat diwawancarai oleh kantor berita Inggris Reuters, seperti dikutip dari CNN.

"Ketika China membantu, Rusia justru tidak. Dengan kata lain, Rusia melakukan apa yang tidak dilakukan oleh China," tambahnya.

Kritik terhadap Rusia itu muncul beberapa pekan usai Trump menyebut bahwa China telah patuh terhadap sejumlah sanksi internasional yang ditetapkan pada 2017 -- yang bertujuan untuk membatasi aktivitas ekspor batu bara dan makanan laut, perkapalan, serta pasokan tenaga kerja Korut ke negara asing.

Komentar pedas itu juga muncul beberapa hari usai laporan yang menyebut bahwa Rusia -- di tengah derasnya sanksi internasional terhadap Korut -- diduga memasok bahan bakar minyak dan gas ke Korea Utara via laut.

Juga menyusul komentar dari sejumlah pejabat tinggi AS yang mengatakan bahwa Rusia tak banyak mematuhi implementasi sanksi dari Dewan Keamanan PBB.

Rusia sendiri tak memberikan komentar atas berbagai tuduhan dan kritik terkait Korea Utara tersebut.

Imbauan Putin

Meski tak memberikan komentar apapun terkait berbagai tuduhan yang dilontarkan oleh Amerika Serikat, Presiden Rusia Vladimir Putin pernah menyatakan pendapatnya terkait Korea Utara.

Dalam pendapatnya itu, Putin tampak mendukung rezim yang dipimpin oleh Kim Jong-un serta kerap mempertanyakan sejumlah sanksi yang dijatuhkan oleh komunitas internasional terhadap The Rogue State.

Berbicara dalam sebuah forum di Vladivostok pada September 2017 lalu, Putin -- meski mengutuk Pyongyang atas tes rudal yang mereka lakukan -- tampak memahami alasan Kim Jong-un yang tetap mempertahankan proyek pengembangan persenjataan mereka.

"Korea Utara tahu apa yang terjadi dengan Irak," kata Putin menganalogikan Korea Utara dengan Irak.

Sebagai catatan, langkah Irak yang menghentikan proyek pengembangan rudal dan persenjataan nuklirnya pada pra-2003, justru disusul oleh invasi besar militer Amerika Serikat ke Negeri 1001 malam dan mempreteli rezim Saddam Hussein.

Peran Rusia terhadap Korea Utara, dari Sudut Pandang AS

Kilang-kilang minyak Korea Utara (AP)
Kilang-kilang minyak Korea Utara (AP)

Senator AS Tammy Duckworth Perwakilan Illinois dari Partai Demokrat, yang baru saja melawat ke Korea Selatan dan Jepang beberapa hari terakhir, mengatakan bahwa 'jelas entitas Rusia dan China terus membantu Korea Utara di tengah sanksi-sanksi internasional'.

"Rusia jelas memberikan suplai kepada Korea Utara. China juga melakukannya. Jelas Rusia dan China melanggar sejumlah sanksi internasional," kata anggota Senat AS Perwakilan Illinois dari Partai Demokrat itu.

Duckworth melanjutkan, Rusia secara resmi merekrut lebih dari 40.000 pekerja migran dari Korut, untuk dipekerjakan pada proyek konstruksi di kota-kota besar Negeri Beruang Merah.

"Rusia dan China merupakan dua negara yang banyak mempekerjakan 'slave labor' (tenaga kerja paksa) dari Korea Utara," tambahnya.

Sementara itu, Asisten Menteri Keuangan AS untuk Bidang Pendanaan Terorisme, Marshall Billingslea menduga bahwa ada sejumlah kapal yang secara ilegal membawa batu bara Korea Utara. Kapal itu juga diduga kuat memiliki relasi pelayaran China-Rusia-Korea Utara.

Selain itu, Billingslea juga mengatakan bahwa representasi semu terafiliasi Korea Utara yang bergerak di bidang perbankan turut 'beroperasi di Rusia, melanggar ketentuan sanksi PBB'.

Menyusul Sanksi Terbaru DK PBB

Rusia dan Tiongkok Halangi Upaya Penyidikan Terhadap Suriah
Ilustrasi, Sidang Dewan Keamanan PBB (dokumen Liputan6.com)

Pada Desember 2017, AS menjadi salah satu penggagas utama atas resolusi baru yang diproduiksi oleh DK PBB -- dan disebut sebagai salah satu sanksi terberat dan terketat terhadap Korea Utara.

Sanksi itu melarang berbagai negara asing untuk mengekspor industri perkakas, mesin, transportasi, dan baja industri ke Korea Utara.

Sanksi itu juga mewajibkan negara asing untuk berhenti mempekerjakan pekerja migran Korea dan segera merepatriasi mereka dalam kurun waktu 24 bulan usai resolusi itu diproduksi.

Sebagai catatan, Rusia adalah satu-satunya negara di DK PBB yang -- kala proses produksi resolusi itu terjadi -- mendesak agar tenggat waktu proses repatriasi diperpanjang hingga 24 bulan, dari usulan awal 12 bulan. Desakan itu sukses dan diresmikan dalam resolusi DK PBB teranyar tersebut.

AS dan sejumlah negara lain yang sehaluan, menganggap bahwa pekerja migran Korea Utara menyumbang devisa yang besar bagi The Hermit State -- yang dapat dimanfaatkan untuk proyek pengembangan rudal serta hulu ledak nuklir.

Rudal Korea Utara, Semakin Dekat Tiap Harinya

Kicauan Donald Trump Pertama pada 2018: Pakistan Penipu
Kicauan Donald Trump Pertama pada 2018: Pakistan Penipu (SAUL LOEB / AFP)

Dalam wawancara dengan Reuters tersebut, Donald Trump juga tampak mengafirmasi bahwa proyek pengembangan rudal balistik jarak jauh berhulu ledak nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara telah mengalami proses signifikan.

Ketika ditanya apakah Pyongyang dapat memiliki misil yang mampu menjangkau AS, Trump menjawab, "Mereka belum sampai pada tahap itu, namun mulai dekat setiap harinya."

Trump juga tak berkomentar ketika Reuters bertanya apakah dirinya telah berkomunikasi dengan Kim Jong-un dalam beberapa pekan terakhir. Sikap atas pertanyaan serupa juga diutarakan oleh Trump kala diwawancarai oleh media raksasa AS, The Wall Street Journal beberapa pekan lalu.

Namun, Trump tetap mengatakan bahwa dirinya 'rela untuk berdialog, tetapi tak tahu apakah dialog itu dapat memecahkan masalah'.

"Saya tak yakin apakah dialog semacam itu mampu menghasilkan sesuatu yang berarti," kata Trump.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya