Liputan6.com, London - Gaya busana wanita Inggris pada pertengahan Abad ke-19 terbilang unik, dengan bagian pinggang dibuat ramping atau singset dan bawahan megar.
Gaun cantik ini mempunyai dalaman berlapis, lengkap dengan crinoline yang mirip kurungan ayam. Niscaya, wanita yang memakainya tampak eksklusif dan anggun.
Dengan mengenakan crinoline, badan si pemakai akan tampak lebih indah dan ramping, lantaran desain bagian atas hingga pinggang yang dibingkai crinoline dibuat bak jam pasir. Model dan bahannya pun bervariasi, dengan bordir, renda, juga hiasan pita berwarna-warni.
Advertisement
Seperti dikutip dari The Vintage News, Kamis 1 Maret 2018, sejarah bahkan mencatat bahwa crinoline (dalaman gaun terbuat dari anyaman yang menggantung dari pinggang, lalu ditutupi rok super besar) memicu kematian lebih dari 3.000 wanita kala itu, di Era Victoria.
Ukuran jumbo tersebut seringkali menimbulkan masalah di lingkungan sekitar, seperti misal kasus yang terjadi pada tahun 1858. Seorang wanita di Boston menderita luka bakar serius akibat berdiri terlalu dekat dengan perapian. Saat itu, gaun yang dikenakannya terbakar dan nyaris memanggang sekujur tubuhnya.
Sementara, pada Februari 1863, crinoline yang dipakai Margaret Davey, seorang pelayan dapur berusia 14 tahun, terbakar karena api tungku yang menyambar tubuhnya. Ia tewas seketika.
Di Inggris, selama periode dua bulan, 19 kematian dikaitkan dengan crinoline yang terbakar. Di sisi lain, para wanita yang jadi saksi peristiwa tragis itu tak bisa berkutik, mereka takut rok mereka sendiri juga ikut terbakar saat menolong korban.
Sedangkan di Philadelphia, sembilan balerina terbunuh gara-gara busana yang dikenakan salah satu dari mereka tersambar api lilin di Continental Theater.
Tapi kali ini beda cerita. Nyawa seorang pelayan bar bernama Sarah Ann Henley, terselamatkan berkat crinoline yang dikenakannya. Dia berniat bunuh diri, tapi tak berhasil. Berikut kisahnya, seperti dikutip dari The Vintage News.
Percobaan Bunuh Diri yang Gagal Total
Setelah membaca sepucuk surat dari tunangannya yang menyatakan hubungan mereka harus diakhiri, Sarah pun terkejut. Dia frustasi dan bertekad untuk mengakhiri hidupnya. Perempuan berusia 22 tahun ini berjalan kaki sejauh mungkin, dia bahkan tak tahu kemana arah dan tujuan.
Akhirnya, dia sampai pada sebuah jembatan tua di wilayah Easton, Bristol, Inggris. Jembatan ini bernama Clifton Suspension Bridge, jembatan gantung terkenal di dunia yang mencakup Avon Gorge dan River Avon, menghubungkan Clifton di Bristol dengan Leigh Woods di North Somerset.
Hubungannya dengan calon suami menemui jalan buntu, penuh intrik "drama". Salah satu pertengkaran yang paling heboh ketika Sarah menghampiri sang tunangan di tempat kerjanya, di Great Western Railway. Dia dianggap meremehkan pria itu di hadapan banyak orang, termasuk bosnya.
Sarah adalah seorang lajang muda dan menawan. Dia tinggal bersama ayahnya di sebuah rumah sederhana di Twinnell Road, St. Phillips.
Namun bagi Sarah, hal-hal yang ia impikan tak berjalan seperti yang dia inginkan, karena tampaknya sang tunangan bosan. Dalam surat tersebut, ia menegaskan kepada Sarah bahwa ia ingin menjadi pria yang bebas dan bisa mengejar siapa pun yang ia sukai.
Hati Sarah hancur lebur. Pada tanggal 8 Mei 1885, pukul 12.15 waktu setempat, Sarah memanjat tembok jembatan. Sebelum seseorang menghentikan upaya bunuh dirinya, dia melompat ke jurang yang ada di bawah jembatan. Sarah menjadi orang ke-18 yang memilih untuk mengakhiri hidupnya di tempat tersebut.
Kejadian itu disaksikan oleh sejumlah orang, termasuk James Ball dari Egerton Road 43, Bishopston; James Lang Vesey dari Greenway Road 14, Redland; dan Sersan Detektif Robertson dari Kepolisian Bristol yang terakhir berada di Cumberland Basin, dekat Clifton Suspension Bridge.
Tapi sebuah keajaiban terjadi. Gaun yang dikenakan Sarah menyelamatkan nyawanya. Crinoline yang dipasang di dalam gaunnya mengembang, udara mengalir deras di bawahnya sehingga gaun tersebut menjelma menjadi 'parasut'.
Sarah mendarat di lumpur bak sehelai daun gugur. Nyawanya tertolong meski harus berlepotan tanah basah. Terlebih, waktu itu adalah musim semi, jadi angin sepoi kerap berembus. Tiga pria, termasuk Sersan Detektif Robertson, melihat adegan itu dan segera menyelamatkan Sarah.
Ia berlari ke arah gadis muda itu, memastikan bahwa dia benar-benar masih hidup. Untungnya, Sarah masih bernafas dan hanya pingsan karena syok. Robertson langsung membawanya ke rumah sakit terdekat.
Advertisement
Puisi untuk Sarah...
Si detektif bergegas meminta pertolongan dengan menumpang kendaraan yang melintas di sekitar lokasi kejadian. Tak ada satupun yang berhenti. Tiba-tiba, Robertson nekat menghentikan sebuah kereta kuda.
Bagaimana pun juga, supir kereta enggan membawa wanita malang itu dan mengantarnya ke Rumah Sakit Bristol. Katanya, ia tidak ingin pakaian berlumpur Sarah mengotori jok mobilnya.
Tidak ada yang bisa membujuk sang pengemudi. Tega memang, bahkan uang yang diberikan Robertson dalam jumlah lebih tidak mampu meluluhkan hatinya, sekalipun Robertson mengemis padanya. Supir kusir tersebut menanggapi kasar, "Saya tidak peduli! Biarkan dia mati," lalu pergi begitu saja.
Sarah muda tidak meninggal hari itu. Dia ditandu ke rumah sakit. Di sana, dia diperiksa. Lagi-lagi, Tuhan masih sayang padanya. Sarah tidak cedera dan tidak mengalami patah tulang sama sekali.
Berkat crinoline, Sarah mungkin akan menceritakan keajaiban yang dialaminya kepada keturunannya, suatu saat nanti.
Sedangkan untuk sang kusir, saat kisah Sarah menyebar luas, ia menulis sebuah surat kepada publik di mana ia mengklaim bahwa pengemudi seperti dirinya dilarang mengangkut penumpang berpakaian kotor, mabuk, atau berlumuran darah. Jika tidak, kendaraan yang dibawanya dinyatakan tidak layak digunakan selama berbulan-bulan.
Ia menambahkan, jika saat itu ia tidak menghindarinya, keluarganya akan kelaparan.
Kisah crinoline penyelamat gadis frustasi mengilhami seorang sastrawan. Ia menulis sebuah puisi, begini bunyinya:
Once in Victoria’s golden age
When crinolines were all the rage
A dame in fashionable attire
Would change her life for one up higher
So, up to Clifton Bridge she went
And made a parachute descent
But though, ’twas not the lady’s wish
A boatman hooked her like a fish
And thus a slave to fashion’s laws
Was snatched from out of Death’s hungry jaws
This story’s true I’d have you knowAnd thus it only goes to show
William E. Heasell – An Early Parachute Descent in Bristol