Pemberontak Etnik di Myanmar Serang Kasino, 19 Orang Tewas

Kelompok pemberontak Tentara Pembebasan Ta’ang (TNLA) Myanmar, telah mengaku bertanggung jawab atas serangan ini.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Mei 2018, 10:01 WIB
Diterbitkan 13 Mei 2018, 10:01 WIB
Serangan di negara bagian Shan, Myanmar.
Seorang korban luka duduk di dalam kendaraan di Muse, negara bagian Shan, Myanmar, Sabtu, 12 Mei 2018 (Thaung Tu via AP)

Liputan6.com, Naypyidaw - Satu kelompok pemberontak etnik di Myanmar utara menyerang pasukan keamanan di sebuah kasino di daerah dekat perbatasan China, menewaskan 19 orang, termasuk 15 orang sipil dan empat tentara keamanan. Dua puluh orang luka-luka.

Juru bicara pemerintah Zaw Htay mengatakan operasi pemberontak itu adalah "serangan teroris yang destruktif." Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (13/5/2018).

Kelompok pemberontak Tentara Pembebasan Ta’ang atau TNLA, telah mengaku bertanggung jawab atas serangan di kota Muse di negara bagian Shan.

Juru bicara TNLA Kolonel Tar Aik Kyaw mengatakan serangan itu menyasar tentara dan milisi yang menjalankan kasino tersebut, tetapi mengakui bahwa kaum sipil mungkin telah terkena serangan yang tidak disengaja di tengah pertempuran.

Negara bagian Shan terletak di tempat penyeberangan perbatasan antara Myanmar dan provinsi Yunan, China, tempat perdagangan besar antara kedua negara.

TNLA adalah satu dari beberapa kelompok pemberontak yang memperjuangkan otonomi yang lebih besar di Myanmar utara.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Konflik di Kachin Memanas

Potret Buram Konflik Kachin, Salah Satu Perang Terlama di Bumi
Kamp Je Yang di sepanjang perbatasan Tiongkok dengan Myanmar di negara bagian Kachin, 18 Maret 2018. Menurut PBB, 10.000 orang telah mengungsi sejak Januari 2018. (Kachin Independence Organization via AP)

Di samping menghadapi krisis Rohingya di negara bagian Rakhine dan konflik dengan TNLA di negara bagian Shan, pemerintah Myanmar juga menghadapi pemberontakan etnis Kachin di negara bagian Kachin.

Etnis Kachin, yang kebanyakan Kristen, telah berjuang untuk mendapat otonomi yang lebih besar di negara yang mayoritas beragama Buddha sejak tahun 1961.

Selama enam tahun terakhir, pemerintah Myanmar gencar berupaya menggelar kesepakatan damai dengan sejumlah kelompok pemberontak. Akan tetapi, upaya perdamaian berjalan sangat alot.

Belakangan, konflik di negara bagian Kachin dikabarkan kian memanas. Militer dilaporkan melakukan pengeboman udara dan menggunakan artileri serta senjata berat di kawasan sipil yang dekat dengan perbatasan China.

"Warga sipil yang tidak bersalah terbunuh dan terluka, ratusan keluarga kini melarikan diri demi menyelamatkan hidup mereka," ujar Yanghee Lee, Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar seperti dikutip dari situs PBB pada Rabu 2 Mei 2018.

"Apa yang kami lihat di negara bagian Kachin selama beberapa minggu terakhir sepenuhnya tidak dapat diterima, dan harus segera dihentikan".

Menurut laporan PBB, lebih dari 5.000 warga sipil telah mengungsi dari desa-desa di dekat perbatasan China dalam tiga pekan terakhir. Anak-anak, wanita hamil, orang tua dan penyandang disabilitas termasuk di antara mereka yang mengungsi.

Dalam pernyataan persnya, Yanghee menegaskan kembali bahwa semua pihak yang terlibat dalam konflik harus mematuhi hukum humaniter internasional, dan mengambil tindakan pencegahan agar tidak merugikan warga sipil.

"Warga sipil tidak boleh mengalami kekerasan selama konflik. Seluruh pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan demi memastikan keselamatan dan keamanan mereka," tegas Yanghee.

Yanghee lebih lanjut menyuarakan keprihatinan atas laporan bahwa lebih dari 100 warga sipil telah terperangkap di desa Man Wai selama tiga pekan terakhir, dengan akses yang tidak memadai ke makanan atau obat-obatan.

Sebuah konvoi bantuan makanan, yang diorganisir oleh Palang Merah Myanmar dilaporkan dilarang memasuki desa itu minggu lalu.

"Semua pihak yang terlibat konflik harus mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk. Setiap hambatan yang disengaja dapat diperhitungkan sebagai kejahatan perang di bawah hukum internasional," terang Yanghee.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya