Liputan6.com, Jakarta - Partai sekaligus kelompok oposisi Kamboja menolak kemenangan Perdana Menteri Hun Sen dan partainya Cambodian People’s Party (CPP) dalam pemilu yang diselenggarakan pada 29 Juli 2018 kemarin.
Hun Sen dan partai petahana CPP yang dipimpinnya mendulang suara dominan --ketika mereka hanya bersaing melawan belasan partai-partai kecil yang mana tak ada satu pun di antaranya bersikap kritis atau mengambil sikap oposisi terhadap pemerintahan saat ini.
Partai CPP yang dipimpin Hun Sen terpilih kembali sebagai partai yang berkuasa, dengan memperoleh lebih dari 80 persen suara dan mengamankan 100 kursi dari total 125 kursi parlemen. Kemenangan itu menandai berlanjutnya kekuasaan Hun Sen dan CPP sebagai partai tunggal yang telah bertengger di pucuk pemerintahan Kamboja selama 33 tahun terakhir.
Advertisement
Baca Juga
Berbulan-bulan sebelum pemilu berlangsung, Perdana Menteri Hun Sen telah melaksanakan berbagai tindakan --yang dianggap oleh kelompok hak asasi manusia serta negara Barat-- sebagai upaya untuk mengebiri oposisi dan memastikan agar dirinya tetap mempertahankan kekuasaan.
Titik nadirnya adalah ketika pemerintahan Hun Sen membubarkan partai oposisi utama, Cambodia National Rescue Party (CNRP) pada November 2017. Hun Sen dan pemerintahannya mempreteli CNRP dan menangkap figur-figur penting partai oposisi itu.
Menanggapi hasil pemilu, CNRP menolak hasil kemenangan Hun Sen dan CPP, menyebutnya sebagai "pemilu yang penuh manipulasi dan kebohongan" serta menandai "kehancuran demokrasi di Kamboja."
"Kami secara tegas menolak sirkus politik yang disebut pemilu itu," kata Deputi Urusan Luar Negeri Partai CNRP Monovithya Kem, putri sulung tokoh oposisi Kamboja Kem Sokha, di Jakarta, Senin (30/7/2018).
Monovithya Kem juga menyerukan agar "komunitas internasional, PBB, Uni Eropa, ASEAN, Inter-Parliamentary Union dan negara berpemerintahan demokrasi ikut menolak" hasil pemilu Kamboja.
"Langkah pemerintah yang membredel dan memenjarakan oposisi beserta figur-figur pemimpinnya, menutup sejumlah media independen dan organisasi masyarakat, serta mengancam kelompok aktivis telah membuat pemilu ini tak bisa diterima sedari awal," tambah Monovithya.
Hun Sen sendiri berdalih bahwa kemenangannya dan partai CPP dalam pemilu didulang dari proses yang "bebas dan adil" serta selaras dengan "jalan demokrasi" --mengabaikan komunitas internasional yang berpendapat berbeda.
Tanggapan Komunitas Internasional
Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop telah mengatakan bahwa pemilu di Kamboja "berlangsung dengan penuh kekhawatiran". Kendati demikian, sejumlah pihak pro-oposisi Kamboja mendesak agar Bishop mengumumkan bahwa Australia menolak hasil pemilu tersebut.
"Australia harusnya bertindak lebih ... mereka harus menolak hasil pemilu dan mempertimbangkan untuk memberikan sanksi kepada Hun Sen atau figur-figur pemerintah Kamboja yang berpartisipasi dalam pemilu cacat tersebut," kata Monovithya.
Sementara itu, Gedung Putih Amerika Serikat menyebut bahwa pemilu itu "gagal merepresentasikan kehendak rakyat Kamboja".
"Pemilu itu penuh dengan kecacatan ... pihak oposisi dicekal oleh pemerintah, dan itu menjadi bukti signifikan atas kemunduran sistem demokrasi yang tertera dalam Konstitusi Kamboja," kata Juru Bicara Gedung Putih, Sarah Sanders.
Sanders juga mengungkapkan bahwa AS mempertimbangkan "Langkah-langkah tambahan untuk merespons hasil pemilu dan berbagai bentuk kemunduran demokrasi serta HAM di Kamboja ... seperti dengan memperpanjang kebijakan penangguhan visa yang telah diberlakukan oleh AS kepada Kamboja sejak Desember 2017."
Belum jelas apakah AS akan menambah sanksi ekonomi kepada pejabat yang dekat dengan PM Hun Sen --yang mana kebijakan tersebut telah berlaku sejak Juni 2018 lalu.
Uni Eropa merespons dengan mengancam akan memberikan sanksi kepada Kamboja.
Sementara itu, Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia, Charles Santiago telah menyebut bahwa "pemilu Kamboja berlangsung di tengah nuansa politik yang penuh dengan tekanan."
"Hun Sen telah mempersiapkan semua 'infrastruktur' agar dirinya memenangkan pemilu ... kebebasan berpendapat dan media dibungkam, oposisi dikejar-kejar hingga keluar dari Kamboja, maka dia memiliki pemilu yang curang," kata Santiago seperti dikutip dari VOA Kamboja.
Simak video pilihan berikut:
Kemenangan yang Difabrikasi?
Kemenangan Hun Sen dan CPP dalam pemilu Kamboja merupakan hasil yang tidak mengejutkan bagi berbagai pihak yang kritis terhadap keberlangsungan politik dan pemerintahan di negara Asia Tenggara itu.
Selama setahun terakhir, Hun Sen, mantan jenderal Khmer Merah, secara sistematis menghancurkan semua bentuk oposisi politik. Demikian seperti dikutip dari The Guardian, Senin 30 Juli 2018.
Pertama-tama, ia memenjarakan Kem Sokha, wakil pimpinan partai politik oposisi CNRP pada Oktober 2017 atas tuduhan berkhianat.
Tidak lama setelah itu, Pengadilan Kamboja, di bawah kendali Hun Sen, memerintahkan CNRP untuk dibubarkan sepenuhnya dan mempreteli serta menangkap sejumlah anggota partai oposisi tersebut.
"Apa yang terjadi adalah bentuk ejekan terhadap demokrasi," kata Phil Robertson, wakil direktur Asia Human Rights Watch, seperti dikutip dari The Guardian.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai bahwa langkah Hun Sen mengebiri oposisi jauh sebelum pemilu berlangsung, "adalah bentuk kecurangan dan penistaan terhadap demokrasi," ujarnya di Jakarta, 30 Mei 2018.
Kamboja menggelar pemilu pertamanya pada 1993 dan telah menyelenggarakan pemilihan umum secara teratur sejak itu --memberikan rezim Hun Sen beberapa kemegahan legitimasi demokratis dan meyakinkan para donor Barat dan PBB untuk memompa uang ke negara itu.
Namun, tindakan kerasnya terhadap oposisi jelang pemilu tahun ini belum pernah terjadi sebelumnya dan 19 partai kecil yang tersisa dalam pemilu dianggap benar-benar tidak layak atau hanya sekadar boneka untuk Hun Sen.
Advertisement