Krisis Venezuela, Bajak Laut Bergentayangan di Laut Karibia

Seorang saksi mata bahkan mengaku pernah dipalak bajak laut saat berlabuh di negara kepulauan dekat Venezuela.

oleh Afra Augesti diperbarui 01 Sep 2018, 08:31 WIB
Diterbitkan 01 Sep 2018, 08:31 WIB
Pirates-of-the-Caribbean-Johnny-Depp
Aksi Jack Sparrow yang diperankan oleh Johnny Depp di Film "Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales." Setelah tayang perdana di China pada 11 Mei, Film ini akan tayang pada 26 Mei di seluruh dunia. (Peter Mountain / Disney via AP)

Liputan6.com, Caracas - Kapal-kapal yang berlayar di sekitar Trinidad dan Tobago --negara kepulauan yang terletak di Laut Karibia bagian selatan, seberang laut Utara Venezuela-- kini berada di bawah ancaman.

Mereka yang melintasi perairan di wilayah tersebut dihantui oleh teror bajak laut, meski pada tahun 1700-an pernah terdapat kasus pembajakan kapal di teritori itu. Demikian seperti dikutip dari The Daily Caller, Sabtu (1/9/2018).

Menurut laporan dari Washington Post, di tengah keruntuhan ekonomi dan krisis sosial Venezuela, para penjahat yang putus asa beralih profesi menjadi perompak dengan menyerang kapal pesiar mewah (yacht) dan kapal nelayan di sepanjang pantai Amerika Selatan.

Jeremy McDermott dari Insight Crime, lembaga non-pemerintah yang mempelajari kejahatan terorganisasi di wilayah itu mengatakan, "Ini adalah kekacauan kriminal, menjadikan semuanya bebas untuk dilakukan di sepanjang pantai Venezuela."

Meskipun belum ada banyak penelitian tentang pembajakan di Laut Karibia, sebuah studi dari lembaga nirlaba Oceans Beyond Piracy menemukan, serangan bajak laut di wilayah itu meningkat sebesar 163 persen antara tahun 2016 dan 2017.

Beberapa ahli khawatir bahwa aktivitas bajak laut dan kejahatan lainnya di Laut Karibia akan terus naik, seiring memburuknya situasi dan kondisi di Venezuela.

"Apa yang kami lihat --pembajakan, penyelundupan-- ini adalah imbas dari keruntuhan politik dan ekonomi Venezuela," kata Roodal Moonilal, seorang politikus dari Trinidad dan Tobago.

Seorang saksi menceritakan pengalamannya diserang oleh bajak laut kepada wartawan dan menyatakan bahwa mereka disiram dengan minyak panas, dirampok dengan ancaman senjata tajam dan dibuang ke laut. Setelah itu, perahu mereka dicuri.

Meskipun Venezuela memiliki penjaga pantai, namun seorang pejabat pelabuhan yang tak disebutkan namanya memberikan ernyataan kepada Washington Post, "Petugas penjaga pantai Venezuela ikut naik ke kapal yang sedang berlabuh, memaksa penumpang di dalamnya untuk memberikan uang dan makanan." "Mereka membuat kapal dagang dan kapal penangkap ikan berlabuh lebih jauh dari pantai," pungkasnya.

 

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Demi Bertahan Hidup, Wanita Pengungsi Venezuela Terpaksa Jadi PSK

20170506-Aksi Wanita Venezuela Menentang Presiden Maduro-AFP
Sejumlah wanita membuka kausnya saat berunjuk rasa menentang Presiden Venezuela Nicolas Maduro di Caracas, Sabtu (6/5). Mereka meneriakkan “Liberty” dan wanita-wanita tersebut menyebut Maduro sebagai seorang diktator. (AFP PHOTO / JUAN BARRETO)

Laporan investigasi yang dilakukan oleh stasiun televisi Sky News, menemukan fakta bahwa banyak wanita Venezuela --yang mengungsi karena kondisi negara carut marut-- terpaksa menjajakan diri di Kolombia untuk bertahan hidup.

Banyak dari mereka ditemukan kerap menjajakan diri di jalan-jalan di kota perbatasan Cucuta. Bahkan, beberapa klub di sana banyak yang merekrut mereka karena alasan harga murah, dan "bersedia dieksploitasi' demi bisa mendapat peso --mata uang resmi Kolombia.

Bahkan, sebagaimana dikutip dari Sky News pada Jumat 24 Agustus 2018, sebuah rumah bordil setempat diketahui hanya memperkerjakan dua orang wanita Kolombia di tengah 60-an lebih kupu-kupu malam dari Venezuela.

Salah seorang pekerja seks komersial (PSK) di sana merupakan ibu dengan dua anak, yang dulunya berprofesi sebagai balerina. Ia memutuskan keluar dari Venezuela karena kondisi di sana semakin tidak menentu, yang berdampak pada kehidupan ekonomi.

"Saya akan melepaskan (pekerjaan) ini jika ada pilihan lain untuk bertahan hidup," ujarnya.

"Ini adalah pekerjaan yang memalukan tetapi pilihan apa yang saya miliki? Tidak ada," lanjutnya seraya menyeka air mata.

Ia beralasan harus menghasilkan uang untuk merawat anak-anaknya, yang saat ini terpaksa tidak menempuh pendidikan secara formal karena statusnya sebagai pengungsi ilegal.

"Satu-satunya cara untuk tetap bisa memberi makanan anak-anakku adalah pergi ke sini, ke Kolombia dan menjual tubuhku," tambahnya.

Para wanita di sana berbicara tentang perasaan tidak berdaya dan rentan, yang mengakui bahwa pilihan mereka sangat terbatas, tanpa dokumen resmi untuk meninggalkan Venezuela secara legal dalam jangka waktu lama.

Berbanding terbalik dengan status Venezuela sebagai salah satu negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia, para warganya justru mengalami kesulitan ekonomi yang kian menjadi-jadi akibat hiperinflasi. Akibatnya, banyak dari mereka nekat mengungsi ke negara-negara sekitarnya untuk tetap bertahan hidup.

Sementara itu, uang di Venezuela dinilai tidak lebih berharga dibandingkan tisu toilet. Tumpukan besar uang bahkan hanya bisa digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Jika disebut nilainya, harga-harga di negara itu akan membuat kaget, meski nilai faktualnya tidak jauh dari satu dolar AS.

Dikutip dari News.com.au pada Kamis 23 Agustus, contoh realitas tersebut, salah satunya, terlihat pada harga satu ekor ayam seberat 2,4 kilogram, yang dibanderol 14,6 juta bolivar, atau setara dengan Rp 36.000.

Bahkan, satu gulung tisu toilet dijual seharga 2,6 juta bolivar, atau kurang dari 7.000 dalam mata uang rupiah. Harga -harga tersebut dilaporkan bertahan hingga akhir pekan lalu.

Ahli ekonomi dan hiperinflasi Profesor Steve Hanke dari John Hopkins University mengatakan, menghapus nol dari mata uang sulit memberi pengaruh positif pada perbaikan ekonomi Venezuela.

"Mereka telah menukar 100.000 bolivar lama untuk satu bolivar baru, (tetapi) nilainya kira-kira sama, satu sen dalam dolar AS," kata Prof Hanke kepada BBC.

"Kemarin, tingkat inflasi tercatat 61.500 persen secara tahunan, dan hari ini telah melonjak hingga 65.500 persen, jadi jelas tidak ada yang berubah," lanjutnya menjelaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya