Liputan6.com, Washington DC - Ketika Museum Alkitab yang bernilai US$ 500 juta (setara Rp 7,6 miliar) dibuka secara resmi pada akhir tahun lalu di Washington DC, Amerika Serikat (AS), timbul pertanyaan tentang keaslian gulungan perkamen Laut Mati, atau yang dikenal dengan nama Dead Sea Scrolls itu.
Kini, museum tersebut terpaksa mengakui kenyataan yang sangat pahit, karena analisis teknis yang diadakan oleh para pakar Jerman menunjukkan, bahwa setidaknya lima dari 16 fragmen gulungan yang dipamerkan di museum itu palsu.
Dikutip dari VOA Indonesia pada Selasa (23/10/2018), pengumuman itu berdampak serius tidak hanya bagi Museum Alkitab, tapi juga bagi para penganut ajaran Kristen Evangelis dan berbagai lembaga, yang telah membayar mahal untuk apa yang kini ternyata merupakan pemalsuan benda-benda arkeologis penting.
Advertisement
Baca Juga
Jeffrey Kloha, kurator museum terkait, mengatakan bahwa pengungkapan tentang kepalsuan Gulungan Laut Mati itu, menekankan kepada publik, tentang pentingnya memverifikasi keaslian artefak yang berhubungan dengan Alkitab.
Koleksi Dead Sea Scrolls itu, yang dipercaya merupakan tulisan-tulisan keagamaan Yahudi, ditemukapada pertengahan 1940-an di gua-gua, yang terletak di tepi Laut Mati di Israel.
Kumpulan gulungan kertas perkamen itu diyakini berasal dari zaman Nabi Isa. Keseluruhan koleksi itu terdiri dari kira-kira 9.000 gulungan dan 50.000 bagian-bagiannya yang rusak.
Kebanyakan dari gulungan perkamen itu dikuasai dengan ketat oleh Otorita Purbakala Israel. Tapi pada 2002 muncul bagian-bagian baru di pasar barang-barang kuno, walaupun banyak pakar Alkitab tidak percaya akan keasliannya.
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Memicu Sejumlah Kontroversi, Sensasi, dan Teori Konspirasi
Penanggalan naskah Gulungan Laut Mati berasal dari paruh kedua periode Bait Suci Yerusalem Kedua, yang berlangsung sejak sekitar 530 SM sampai 68 M.
Seperti dikutip dari Historychannel.com.au, isinya menawarkan wawasan ke sejarah Yudaisme. Siapa penulisnya masih misterius, namun, diperkirakan teks-teks kuno itu ditulis oleh sekte Yahudi kuno yang disebut Essenes.
Sejak kali pertamanya ditemukan, Dead Sea Scrolls memicu sejumlah kontroversi, sensasi, juga teori konspirasi.
Salah satunya dipicu kerahasiaan terkait riset Gulungan Laut Mati. Hingga akhirnya, pada 22 September 1991, sebuah perpustakaan besar di California, memamerkan foto-foto dokumen tersebut dan menyediakannya tanpa batas ke semua peneliti.
Dr William A. Moffett, Direktur Huntington Library di San Marino, mengungkapkan, keputusan pihaknya akan mengakhiri monopoli terkait naskah langka tersebut.
"Langkah ini akan memberikan keterbukaan yang belum pernah terjadi sebelumnya terkait penelitian naskah tersebut," kata Moffett, seperti dikutip dari The New York Times. "Akan sulit bagi para kartel yang mengendalikan gulungan untuk 'memasukkan kembali jin ke dalam botol'."
Di sisi lain, pihak yang memegang dokumen itu bersikukuh, materi Dead Sea Scrolls terbuka bagi para ahli terkemuka. Sementara, materi yang belum dibuka terdiri dari fragmen-fragmen teks yang belum disatukan.
Mereka beralasan, tidak ingin itu jatuh ke tangan para peneliti yang tidak kompeten.
Advertisement