Liputan6.com, Teheran - Amerika Serikat, pada 5 November 2018, telah resmi menjatuhkan sanksi ekonomi keras yang menargetkan sektor perminyakan dan finansial Iran.
Sanksi itu bertautan dengan kebijakan AS untuk memberikan 'tekanan maksimum' kepada Iran, sebagai upaya agar negara di Timur Tengah tersebut berhenti mengembangkan senjata nuklir.
Hal itu dilatarbelakangi atas kritik Presiden AS Donald Trump terhadap pakta Kesepakatan Pembatasan Nuklir Iran (JCPOA) yang diteken oleh AS, Iran, dan negara-negara Eropa pada 2015.
Advertisement
Kesepakatan itu mewajibkan Iran untuk menghentikan aktivitas pengayaan uranium (enriched uranium) dan sebagai gantinya, AS dan Eropa mencabut sanksinya terhadap Negeri Para Mullah.
Namun, Trump menarik AS keluar dari JCPOA awal tahun ini, dengan beralasan bahwa kesepakatan itu tak lagi efektif menekan Iran untuk tak membuat nuklir. Ia juga menuduh bahwa Teheran melanggar JCPOA --yang dibantah oleh Iran.
Baca Juga
Langkah AS pun ditentang Eropa yang menganggap bahwa JCPOA masih dianggap efektif dalam memberikan tekanan dan pengendalian nuklir terhadap Iran.
Usai keluar dari JCPOA, AS kembali memberlakukan sanksi secara sepihak terhadap Iran. Beberapa set sanksi telah diterapkan oleh AS pada 5 Agustus dan disusul oleh sanksi pada Senin 5 November ini, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin (5/11/2018).
Sanksi 5 Agustus menargetkan industri otomotif dan penerbangan Iran. Sementara, sanksi 5 November memukul sektor minyak dan gas Iran, sektor pelayaran dan bank-banknya --dengan bertujuan untuk "membuat ekspor minyak Iran menjadi nol" kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo.
Presiden AS Donald Trump percaya diri bahwa sanksi itu telah berhasil membuat Iran dalam kondisi yang 'tertekan'.
"Sanksi sangat kuat, mereka adalah sanksi terkuat yang pernah kami kenakan. Dan kami akan melihat apa yang terjadi dengan Iran, tapi mereka akan dalam kondisi yang sangat tidak baik."
Selain dari industri perminyakan, sektor dan aktivitas Iran lain yang dijatuhi sanksi AS meliputi:
- Operator pelabuhan Iran dan ekspedisi pelayaran, yang juga terkait dengan transportasi minyak dan gas.
- Produk dan transaksi terkait minyak bumi dari Iran.
- Transaksi oleh lembaga keuangan asing dengan bank sentral Iran dan lembaga perbankan lainnya.
- Lembaga asuransi, yang mengasuransikan tanker yang mengangkut minyak dan gas.
- Perusahaan yang dimiliki atau dikendalikan oleh AS, yang berbisnis dengan pemerintah dan figur Iran.
- Individu, yang namanya belum dihapus dari daftar sanksi, juga bisa dimasukkan.
- Platform telekomunikasi khusus transaksi Iran pada SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication) juga berpotensi terkena sanksi.
Respons Iran
Merespons sanksi 5 November, Presiden Iran Hassan Rouhani bersumpah akan melanggarnya. Ia mengatakan, "Amerika ingin mengurangi penjualan minyak Iran ... tetapi kami akan terus menjual minyak kami ... untuk menghentikan sanksi," kata Rouhani kepada para ekonom dalam sebuah pertemuan yang disiarkan langsung di televisi pemerintah, Senin 5 November.
Kepercayaan diri Rouhani turut didukung oleh Uni Eropa, yang mengusulkan agar perusahaan global tetap berdagang dengan Iran meskipun ada sanksi baru ini. Eropa juga telah memperjelas niat mereka untuk tidak mengikuti jejak AS.
Tapi, nada optimisnya sangat kontras dengan kekacauan ekonomi yang meluas yang dialami Iran selama 12 bulan terakhir, termasuk menukiknya nilai mata uang rial, goyahnya tim ekonomi Presiden Hassan Rouhani --yang melihat beberapa menteri senior diberhentikan-- dan protes nasional terhadap kenaikan harga dan kondisi ekonomi yang mengerikan.
Berdasarkan angka-angka dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), ekspor minyak Iran mencapai US$ 52.728 miliar pada tahun 2017. Ekspor minyak mentahnya mencapai 2.125.000 barel per hari pada tahun yang sama, sementara ekspor gas alamnya mencapai 12,9 miliar meter kubik.
Angka-angka itu, bagaimanapun, telah menurun pada tahun ini.
Di India, misalnya, impor minyak mentah dari Iran turun dari 690.000 barel per hari pada bulan Mei 2018, menjadi sekitar 400.000 barel per hari pada bulan Agustus 2018, kata Vandana Hari, seorang analis pasar minyak global yang berbasis di Singapura, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Ekspor energi Iran menyumbang hingga 80 persen dari pendapatan negara itu, menurut Badan Informasi Energi AS, sehingga, sanksi akan menghujam keras keuangan dan orang-orang di Negeri Para Mullah.
Simak video pilihan berikut:
Warga Iran di Teheran Murka
Lautan demonstran berkumpul di luar bekas kedutaan AS di Teheran pada Minggu kemarin, guna memperingati insiden 4 November 1979, ketika mahasiswa Iran menyerbu kompleks itu dan menyandera 54 warga serta diplomat AS --tindakan yang kemudian menyebabkan putusnya hubungan antara kedua negara, hanya beberapa bulan setelah Iran menggulingkan Shah Reza Pahlevi yang didukung AS dan memantapkan dirinya sebagai Republik Islam.
Demonstrasi itu juga bersamaan ketika AS mengumumkan hendak menerapkan kembali sanksi perekonomian kepada Iran --yang diresmikan pada 5 November 2018.
Pendukung garis keras pemerintah Iran berbaris dekat grafiti berukuran besar dari Patung Liberty yang berwajah tengkorak sambil meneriakkan "turun dengan AS."
Ketika AS memberlakukan sanksi pada hari Senin, warga Republik Islam Iran muncul untuk memberitahu para pendukungnya bahwa pihaknya masih bermaksud untuk membawa Amerika bertekuk lutut, demikian seperti dikutip dari CNN.
"Saya pikir Donald Trump gila, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa kepada kami karena kami memiliki (pemimpin tertinggi) Imam Khomeini, dan dia adalah orang terbaik yang pernah saya lihat dalam hidup saya," kata Mobina Jari, 15 tahun, yang mengacu pada Pemimpin Tertinggi negara itu Ayatollah Ali Khomeini.
"Orang-orang berkumpul di sini untuk menghadapi Amerika," kata Mullah Mohammed, yang menolak mengungkapkan nama lengkapnya untuk alasan keamanan.
Ulama bermata biru itu berdiri dengan punggung menghadap tembok, ketika para pemrotes membawa spanduk dan karikatur Trump --yang digambarkan sebagai seorang wanita, seorang bayi dan, dalam satu kasus, seekor kalkun.
"Orang Amerika bukan negara. Mereka adalah Setan Besar."
"Memang benar bahwa (sanksi-sanksi) menciptakan tekanan bagi orang-orang kami yang tidak bersalah, tetapi orang-orang kami sangat kuat sehingga mereka akan melewati kesulitan-kesulitan ini."
Dalam beberapa bulan terakhir, Trump mengatakan dia akan bersedia mengadakan pembicaraan dengan kepemimpinan Iran "kapan saja mereka mau."
Renegosiasi kesepakatan antara Iran-AS, kata Trump, jga akan secara komprehensif menekan kebijakan luar negeri Iran, khususnya dukungannya terhadap kelompok seperti Hizbullah di Lebanon dan pemberontak Houthi di Yaman.
Kepemimpinan Iran sejauh ini menolak tawaran Trump. Pemimpin Tertinggi Ali Khomeini telah secara terbuka melarang "pembicaraan apa pun" dengan AS.
"Tidak ada yang ingin bernegosiasi dengan Trump," kata Mullah Mohammed. "Tidak ada gunanya bernegosiasi dengan Trump karena dia pasti gila dan dia tidak bisa dipercaya. Bahkan orang Eropa tidak percaya Trump."
Advertisement