Liputan6.com, Gaza - Hamas menyatakan pada Kamis (13/2/2025) bahwa mereka akan melanjutkan pembebasan tiga sandera Israel. Hamas sebelumnya mengancam akan menunda pembebasan sandera berikutnya setelah menuduh Israel gagal memenuhi kewajibannya untuk mengizinkan masuknya tenda dan tempat penampungan, serta dugaan pelanggaran gencatan senjata lainnya.
Israel, dengan dukungan dari Amerika Serikat (AS), telah menyatakan mereka akan melanjutkan pertempuran jika sandera tidak dibebaskan.
Baca Juga
Hamas menyebutkan mereka telah mengadakan pembicaraan di Kairo dengan pejabat Mesir dan berhubungan dengan perdana menteri Qatar tentang pengiriman lebih banyak tempat penampungan, pasokan medis, bahan bakar, dan peralatan berat untuk membersihkan puing-puing yang luar biasa banyak di Jalur Gaza — yang menjadi tuntutan utama mereka belakangan ini. Menurut mereka para mediator telah berjanji menghilangkan semua hambatan.
Advertisement
Tidak lama setelah pengumuman tersebut, juru bicara Hamas Abdul Latif al-Qanou mengonfirmasi kepada The Associated Press melalui telepon bahwa tiga sandera akan dibebaskan pada Sabtu (15/2), sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian gencatan senjata.
Saluran TV Qahera milik negara Mesir, yang dekat dengan layanan keamanan negara, melaporkan bahwa Mesir dan Qatar berhasil menyelesaikan perselisihan tersebut. Kedua negara Arab ini telah berperan sebagai mediator utama dengan Hamas dan membantu menengahi gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari, lebih dari 15 bulan setelah dimulainya perang terbaru di Jalur Gaza.
Media Mesir menayangkan pula rekaman yang menunjukkan truk yang membawa tempat penampungan sementara dan buldoser di sisi Mesir dari perbatasan Rafah dengan Jalur Gaza. Mereka melaporkan truk-truk sedang menuju area pemeriksaan Israel sebelum melintas ke Jalur Gaza.
Di Gaza Tengah, seorang warga Palestina menyuarakan harapan pada Kamis agar perjanjian gencatan senjata Hamas-Israel yang rapuh tetap bertahan.
"Sebagai warga sipil, kami berharap perang berakhir dan perjanjian ini dilaksanakan sepenuhnya," kata Saed Abu Attia, yang mengungsi dari rumahnya di Gaza Utara. "Kami sudah membayar harga yang mahal akibat perang ini dan kami berharap perang segera berakhir."
Gagasan Tak Masuk Akal Trump
Sementara itu, dalam perkembangan lainnya, militer Israel mengaku bahwa sebuah roket ditembakkan dari dalam Jalur Gaza pada Kamis - menandai insiden pertama sejak gencatan senjata berlaku. Proyektil dilaporkan mendarat di dalam wilayah Jalur Gaza dan militer kemudian menyatakan mereka telah menghancurkan peluncur yang menembakkan roket tersebut.
Sejak gencatan senjata dimulai, tembakan dari pasukan Israel telah menewaskan sedikitnya 92 warga Palestina dan melukai lebih dari 800 orang, menurut Munir al-Bursh, pejabat kesehatan Jalur Gaza. Militer Israel mengatakan mereka menembak orang-orang yang mendekati pasukan mereka atau memasuki daerah tertentu yang melanggar gencatan senjata.
Perjanjian gencatan senjata ini menghadapi tantangan yang lebih besar dalam beberapa pekan mendatang. Fase pertama dijadwalkan berakhir pada awal Maret, dan belum ada negosiasi substansial terkait fase kedua, di mana Hamas akan membebaskan puluhan sandera yang tersisa sebagai imbalan untuk mengakhiri perang.
Gagasan Donald Trump untuk merelokasi sekitar 2 juta warga Palestina dari Jalur Gaza ke negara lain telah menambah keraguan terhadap masa depan gencatan senjata. Rencana Trump disambut baik oleh pemerintah Israel, namun ditolak keras oleh Palestina dan mayoritas negara-negara Arab, yang enggan menerima gelombang pengungsi baru. Kelompok hak asasi manusia mengatakan hal ini dapat dianggap sebagai kejahatan perang menurut hukum internasional.
Ide Trump juga mendapat kritik tajam pada Kamis dari baik sekutu maupun lawan AS.
Pemimpin Houthi di Yaman, Abdul-Malik Al-Houthi, mengancam akan melakukan "intervensi militer" jika rencana tersebut dilanjutkan.
"Kami tidak akan tetap pasif di hadapan rencana agresif semacam itu terhadap rakyat Palestina," kata Al-Houthi dalam pidato yang disiarkan di televisi.
Advertisement
Sinyal Abu-abu Trump
Sekutu sayap kanan Netanyahu sudah menyerukan dilanjutkannya perang setelah fase pertama dengan tujuan untuk melaksanakan ide gila Trump dan menghancurkan Hamas, yang tetap menguasai wilayah Jalur Gaza.
Perang terbaru di Jalur Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023, ketika militan Palestina yang dipimpin Hamas menyerbu Israel - diklaim Israel menewaskan sekitar 1.200 orang dan 251 lainnya diculik. Tujuh puluh tiga sandera belum dibebaskan, sekitar setengah dari mereka diyakini sudah meninggal. Hampir semua sandera yang tersisa adalah pria, termasuk tentara Israel.
Trump sendiri dinilai memberikan sinyal yang campur aduk tentang apa yang dia inginkan di Jalur Gaza.
Dia mengklaim telah memediasi gencatan senjata, yang tercapai beberapa hari sebelum dia dilantik setelah lebih dari setahun negosiasi di bawah pemerintahan Biden. Namun, dia juga menyatakan kekhawatirannya tentang bagaimana kesepakatan tersebut berlangsung dan mengatakan bahwa itu adalah keputusan Israel apakah akan melanjutkan perang atau tidak, sambil berjanji untuk tetap memberikan dukungan militer AS.
Perang, menurut otoritas kesehatan Jalur Gaza, telah menewaskan lebih dari 48.000 warga Palestina. Sebagian besar korban tewas adalah perempuan dan anak-anak.
Serangan membabi buta Israel telah menghancurkan sebagian besar Jalur Gaza. Pada puncaknya, pertempuran membuat 90 persen dari populasi Jalur Gaza yang berjumlah 2,3 juta orang mengungsi. Ratusan ribu orang telah kembali ke rumah mereka sejak gencatan senjata diberlakukan, meskipun banyak yang hanya menemukan tumpukan puing, jenazah yang terkubur, dan bahan peledak yang belum meledak.
