Liputan6.com, Doha - Qatar memutuskan keluar dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak atau OPEC pada Januari 2019, kata Menteri Energi Saad Sherida al-Kaabi pada hari Senin 3 Desember 2018.
Keputusan Qatar untuk keluar dari blok 15 negara penghasil 40 persen dari total minyak dunia itu turut dikonfirmasi oleh perusahaan minyak negara Qatar Petroleum, demikian seperti dikutip dari media yang dikelola Qatar, Al Jazeera, Senin (3/12/2018).
Berbicara pada konferensi pers di Doha, al-Kaabi mengatakan: "Keputusan keluar mencerminkan keinginan Qatar untuk memfokuskan upaya pada rencana untuk mengembangkan dan meningkatkan produksi gas alam, dari 77 juta ton per tahun menjadi 110 juta ton di tahun-tahun mendatang."
Advertisement
Qatar adalah negara Teluk pertama yang meninggalkan blok negara-negara penghasil minyak.
Baca Juga
Doha membuat keputusan hanya beberapa hari menjelang pertemuan OPEC 6 Desember 2018.
Negara itu juga mengatakan bahwa keputusan mereka tidak ada hubungannya dengan blokade di Qatar dan bahwa mereka telah memikirkannya selama beberapa bulan sekarang.
"(Keputusan itu) murni bisnis," kata al-Kaabi yang menolak jika langkah tersebut diasosiasikan pada blokade diplomatik Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir dan Bahrain terhadap Qatar yang telah berlangsung sejak 2017.
"Mereka (Qatar) juga mengatakan bahwa jika ingin menarik diri dari OPEC, itu harus dilakukan sebelum akhir tahun," tambahnya.
"Itu harus dilakukan sekarang dan dilakukan secara transparan menjelang pertemuan OPEC 6 Desember," kata Al Jazeera.
Qatar bergabung dengan OPEC pada tahun 1961, satu tahun setelah berdirinya organisasi itu.
Awal pekan ini, OPEC dan Rusia, yang bersama-sama memproduksi sekitar 40 persen dari minyak dunia, mengatakan mereka sepakat pada kebijakan baru untuk memangkas produksi minyak, demi memastikan harga minyak tidak turun terlalu banyak dalam beberapa bulan mendatang.
Pada bulan Oktober, harga minyak mencapai level tertinggi dalam empat tahun terakhir, mencapai US$ 86 per barrel, tetapi sejak saat itu harga telah turun lagi menjadi sekitar US$ 60 per barel.
Â
Simak video pilihan berikut:
Fokus ke Gas Alam
Qatar adalah salah satu pemasok gas alam cair (LNG) terbesar di dunia, menghasilkan hampir 30 persen dari total dunia.
"Tapi Qatar adalah pemain kecil di OPEC, maka tidak masuk akal jika kami fokus pada hal-hal yang bukan kekuatan kami," Al Jazeera melaporkan, mengutip perkataan Menteri Energi Qatar Saad Sherida al-Kaabi.
"Kekuatan kami adalah gas alam, itulah mengapa kami membuat keputusan ini," lanjut laporan itu.
Al-Kaabi menambahkan keputusan untuk meningkatkan pasokan gas alam adalah untuk "mengembangkan strategi masa depan berdasarkan pertumbuhan dan ekspansi, baik dalam kegiatannya di dalam maupun di luar negeri."
"Guna mencapai strategi pertumbuhan ambisius, kami pasti akan membutuhkan upaya, komitmen dan dedikasi yang terfokus untuk mempertahankan dan memperkuat posisi Qatar sebagai produsen gas alam terkemuka," tambahnya.
Qatar berbagi ladang gas alam terbesar di dunia, North Field, dengan Iran.
Pada bulan September 2018, Qatar mengumumkan akan meningkatkan produksi gas alamnya dengan menambah lini produksi keempat, untuk meningkatkan kapasitas dari North Field menjadi 110 juta ton per tahun.
Sebagian besar 80 juta ton pasokan LNG tahunan Qatar dikirim dalam tanker ke berbagai negara.
Selama satu setengah tahun, Qatar telah berada di bawah embargo oleh beberapa tetangganya termasuk pemimpin de facto OPEC, Arab Saudi. Sebagai tanggapan, Qatar meningkatkan produksi gas, andalan ekonominya, tahun lalu.
Qatar akan menjadi negara Timur Tengah pertama yang keluar dari OPEC, yang hanya berurusan dengan produksi minyak mentah.
Kontribusi Qatar dinilai marginal dibandingkan dengan beberapa produsen terbesar OPEC seperti Arab Saudi dan Irak. Mereka memompa sekitar 600.000 barel minyak per hari dari hampir 25 juta barel per hari dari semua anggota OPEC.
"Qatar adalah produsen yang cukup kecil ... (keluarnya mereka) tidak berpengaruh banyak sehingga tidak begitu signifikan, bahkan bagi mereka sendiri," kata Robin Mills, CEO Qamar Energy, sebuah perusahaan konsultan yang berbasis di Dubai, seperti dikutip dari CNN.
"Tapi ini mengecewakan bagi OPEC karena mereka tengah berusaha menarik anggota."
OPEC telah berkembang di Afrika, dengan Kongo dan Guinea Khatulistiwa baru bergabung baru-baru ini. "Jika Anda menambahkan mereka berdua, produksi mereka sama dengan Qatar, jadi itu seperti kehilangan produksi yang setara dari anggota baru tersebut," tambah Mills.
Advertisement