Liputan6.com, Caracas - Dalam pesan tahun baru yang disiarkan oleh televisi nasional Venezuela, Nicolás Maduro dengan optimis berkata: "Kemenangan menanti kita! Masa depan menanti kita! Dan semuanya akan lebih baik!"
Namun, tumpukan karung pasir dan pasukan bersenjata yang berjaga di sekeliling istana kepresidenan Miraflores di Caracas, justru menunjukkan jatuhnya kepercayaan dalam menghadapi hari-hari mendatang, ketika Venezuela semakin tenggelam oleh kehancuran ekonomi dan isolasi politik akibat pemerintahan Maduro.
Mengabaikan kecaman dari berbagai pihak, sebagaimaan dikutip dari The Guardian pada Rabu (9/1/2019), Nicolas Maduro kembali akan memulai masa jabatan keduanya sebagai presiden Venezuela pada Kamis esok, setelah menang dalam pemilu yang disengketakan, Mei lalu.
Advertisement
Baca Juga
Pihak asing juga terus mengecam pelantikan Maduro karena dinilai tidak sah, dan sangat berisiko melanjutkan kepemimpinan otoriter di Venezuela.
Pekan lalu, sebuah blok regional yang dikenal sebagai Grup Lima, mengungkapkan kemarahan mereka atas pelantikan kembali Maduro sebagai presiden Venezuela. Sebanyak 13 dari 14 anggotanya mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengakui masa jabatan pemimpin berusia 56 itu selama enam tahun ke depan, dan mendesaknya segera mundur.
Negara-negara tersebut termasuk Brasil, di mana presiden barunya yang berasal dari kubu sayap kanan, Jair Bolsonaro, terkenal akan sikap permusuhannya terhadap Maduro. Bahkan, menteri luar negerinya yang pro Trump, baru-baru ini, menyerukan "pembebasan" Venezuela dari rezim diktator.
Di saat bersamaan, AS juga telah meningkatkan tekanan di balik tuduhan "pelantikan palsu" Maduro, di mana menteri luar negerinya, Mike Pompeo mengatakan kepada salah satu surat kabar Brasil bahwa beberapa hal dapat dilakukan untuk membebaskan Venezuela dari Maduro.
Meski tidak merinci jelas maksud pernyataan di atas, namun banyak pihak meyakini bahwa hal tersebut adalah ancaman terselubung Donald Trump, bahwa tindakan militer mungkin dilakukan jika Maduro turun dengan sukarela.
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Â
Kesabaran Habis di Tingkat Regional
Sementara itu, meski Maduro mengobarkan perang retorika, di mana baru-baru ini memerintahkan pasukannya untuk bersiap melawan penjajah "imperialis", namun banyak pengamat menilai sangat kecil intervensi asing hadir di Venezuela.
Namun, menurut Matias Spektor, ahli hubungan internasional dari Getúlio Vargas Foundation yang bebrbasis di Brasil, kesabaran di tingkat regional terlihat mulai habis.
Hal itu dikarenakan situasi kian memburuk di Venezuela, dan kondisi politik Amerika Latin tengah membelok ke sayap kanan di bawah para pemimpin baru, seperti Bolsonaro di Brasil, Iván Duque di Kolombia, Sebastián Piñera di Chile, dan Mauricio Macri di Argentina.
"Dinamika berubah dengan sangat cepat," kata Spektor, menyebut kebangkitan politikus sayap kanan itu jelas berita buruk bagi Maduro.
Spektor mengatakan, deklarasi tegas Grup Lima yang tak terduga --mencakup rencana sanksi keuangan, mencegah pejabat tinggi Venezuela memasuki negara mereka, dan menangguhkan kerja sama militer-- tampaknya sebagian dirancang untuk membujuk militer Venezuela untuk meninggalkan Maduro.
"Agar rezim runtuh, Anda perlu mengeluarkan Maduro dari negara itu dan Anda harus membuat militer berhenti mendukungnya," kata Spektor.
Akan tetapi, Spektor justru menyadari bahwa beberapa negara Amerika Latin tidak ingin perubahan rezim di Venezuela dipaksakan oleh pihak asing, "karena mereka tahu betul itu akan menjadi bumerang".
Sebagai contoh adalah Meksiko. Di bawah pemerintahan presiden barunya yang berasal dari sayap kiri, Andrés Manuel López Obrador, negara itu menolak bergabung dengan serangan anti-Maduro, sebuah langkah yang dikecam oleh para aktivis hak asasi manusia dan oposisi Venezuela.
"Saya tidak mau ikut campur urusan negara lain," kata Lopez Obrador pekan lalu, menekankan kembalinya Meksiko ke kebijakan luar negeri tanpa intervensi.
Masih Ada Perlawanan Terhadap Maduro
Meski begitu, suara-suara paling berpengaruh di Amerika Latin tetap bergerak melawan Maduro, membuat sosok pemimpin berusia 56 itu semakin tidak bersahabat di wilayah, yang oleh pendahulunya Hugo Chavez, ingin digabung dalam kesatuan Bolivarian, sebagaimana yang diberikan kolonial Spanyol pada era revolusi, lebih dari seabad lalu.
Brasil, khususnya, tampak siap untuk memainkan peran di garis terdepan dalam dorongan diplomatik untuk memaksa Maduro mundur dari kursi kepresidenan.
Menteri Luar Negeri Brasil, Ernesto Araújo, mengisyaratkan bahwa terjadi perdebatan garis pada pekan ini.
"Anda harus menghadapi ancaman, terutama dari rezim non-demokratis yang mengirimkan kejahatan, ketidakstabilan dan penindasan. Anda tidak bisa membiarkan kediktatoran seperti Venezuela dan Kuba," katanya.
Advertisement