Jadi Ketua 134 Negara Berkembang, Palestina Incar Keanggotaan Penuh PBB

Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengambil alih sebagai ketua blok 134 negara-negara berkembang PBB.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 16 Jan 2019, 13:05 WIB
Diterbitkan 16 Jan 2019, 13:05 WIB
Warga Palestina membentang bendera negara mereka, bergembira menyambut rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah
Warga Palestina membentang bendera negara mereka, bergembira menyambut rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah (AP Photo/Khalil Hamra)

Liputan6.com, New York - Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengambil alih sebagai ketua blok 134 negara-negara berkembang di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa 15 Januari 2019. Tonggak estafet keketuaan diberikan oleh Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry, yang mana Kairo merupakan ketua sebelumnya.

Berpidato dalam seremoni pelantikan keketuaan Group 77, Abbas berjanji untuk menghadapi "serangan" terhadap multilateralisme dan mencari jalan perdamaian untuk solusi dua negara dari konflik Israel-Palestina.

Presiden Abbas juga mengatakan, keketuaan di blok itu akan menjadi kesempatan bagi Palestina untuk mengejar keanggotaan penuh di PBB, demikian seperti dikutip dari Voice of America, Rabu (16/1/2019).

Group 77 (G-77) adalah sebuah koalisi 134 negara-negara berkembang dan China yang bertindak mewakili nama Palestina untuk blok itu di PBB. Peran China adalah sebagai 'perwakilan' Palestina yang belum berstatus sebagai anggota penuh PBB dan hanya berstatus sebagai negara pengamat.

Keketuaan Palestina di G-77 sempat ditentang oleh Amerika Serikat dan Israel, namun, kedua negara itu harus tunduk pada 193 negara Majelis Umum PBB yang menyetujui resolusi untuk mengizinkan Ramallah memimpin.

Keketuaan Palestina di G-77, Sinyal Positif untuk Jadi Anggota Penuh PBB

Persetujuan Majelis Umum terhadap Palestina untuk memimpin G-77 menjadi 'sinyal positif' bagi perjuangan Ramallah yang mengincar keanggotaan penuh di PBB.

Namun, keputusan akhir keanggotaan penuh Palestina di PBB masih harus menunggu suara bulat dari Dewan Keamanan. Akan tetapi, hak veto yang dimiliki AS di Dewan Keamanan diperkirakan akan menjadi batu sandungan utama bagi Palestina untuk meraih keanggotaan tetap di PBB.

"Kami tahu akan menghadapi veto dari AS, tapi hal itu tak membuat kami mundur untuk mencalonkan diri," kata Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki di New York, seperti dikutip dari Al Jazeera.

Al-Maliki mengatakan bahwa Palestina akan mulai melobi anggota Dewan Keamanan PBB pada pekan-pekan mendatang.

Palestina mengajukan permintaan untuk menjadi anggota PBB sejak tahun 2011.

Menyusul upaya itu, status Palestina ditingkatkan dari 'entitas pengamat non-anggota' menjadi 'negara pengamat non-anggota', yang memungkinkannya menjadi penandatanganan perjanjian PBB.

Sejak itu, Palestina telah bergabung dengan lebih dari 50 organisasi dan perjanjian internasional, menurut pihak kementerian luar negeri Palestina.

Di antara mereka adalah Mahkamah Pidana Internasional dan badan warisan budaya PBB, UNESCO.

Pada 2017, Palestina juga bergabung sebagai anggota Interpol, kemenangan lain dalam upaya Palestina untuk menjadi perwakilan internasional meskipun ada tentangan kuat dari Israel dan AS.

 

Simak video pilihan berikut:

 

Israel Menghalangi Perdamaian di Timur Tengah?

Ilustrasi bendera Palestina
Palestina (iStock)

Menyampaikan pidato pelantikan keketuaan Palestina untuk G-77, Presiden Mahmoud Abbas mengatakan Israel menghambat pembangunan di Timur Tengah, namun tetap berkomitmen untuk solusi dua negara dengan Tel Aviv.

"Kolonisasi dan pendudukan Israel yang terus menerus atas negara Palestina merusak pembangunan dan kapasitas kami untuk kerja sama, koordinasi, dan menghalangi perkembangan masa depan yang kohesif dari semua orang di wilayah itu," katanya.

Pemimpin Palestina juga mengatakan dia berkomitmen untuk "solusi damai yang mengakhiri pendudukan dan realisasi kemerdekaan negara Palestina dengan Yerusalem Timur yang diduduki sebagai ibu kotanya, hidup berdampingan secara damai dan aman dengan negara Israel."

Dalam beberapa tahun terakhir, perebutan Yerusalem telah menjadi titik kontes yang krusial antara Palestina dan Israel, setelah keputusan Presiden AS Donald Trump pada Desember 2017 untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan AS ke kota itu.

Dengan keputusan itu, Trump mengabaikan konsensus internasional bahwa status kota akan diputuskan dalam negosiasi. Keputusan Trump pun membuat marah komunitas internasional.

Abbas kemudian memutuskan hubungan dengan administrasi Trump, bersumpah untuk menentang setiap proposal perdamaian AS yang ia anggap akan bias dalam mendukung Israel.

Di bawah Trump, AS juga telah memotong ratusan juta dolar dalam bantuan untuk program-program PBB terhadap Palestina, termasuk dana untuk badan PBB untuk para pengungsi Palestina (UNRWA), yang terpaksa mengurangi program pendidikan dan kesehatannya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya