KTT Kedua AS dan Korea Utara Membuat Jepang Merasa Tersisih?

Jepang khawatir kepentingannya akan diabaikan melalui KTT Hanoi antara AS dan Korea Utara.

oleh Afra Augesti diperbarui 27 Feb 2019, 12:30 WIB
Diterbitkan 27 Feb 2019, 12:30 WIB
PM Jepang Shinzo Abe jelang konferensi pers bersama Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih (7/6) (AFP PHOTO)
PM Jepang Shinzo Abe jelang konferensi pers bersama Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih (7/6) (AFP PHOTO)

Liputan6.com, Tokyo - Dalam Sidang Umum PBB yang diadakan pada September 2018, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyatakan bahwa ia siap untuk "memecahkan keraguan" dengan Korea Utara dan mengadakan pertemuan puncak (KTT) dengan pemimpinnya, Kim Jong-un.

Namun sejak itu, di tengah hiruk pikuk KTT antara Amerika Serikat dan Korea Utara, Korea Selatan dan Korea Utara, serta China dan Korea Utara, Jepang khawatir bahwa Donald Trump mungkin akan mencapai kesepakatan dengan Pyongyang tanpa berkonsultasi dengan Tokyo.

Hingga saat ini, Jepang belum mencapai kesepakatannya sendiri dengan Korea Utara, sehingga menurut para pengamat internasional, pertemuan kedua antara Trump dan Kim Jong-un mencerminkan posisi genting Negeri Sakura sekarang.

"Di budaya Jepang, ketimbang berharap sesuatu yang baik terjadi, orang berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi," ujar seorang pejabat Jepang yang enggan disebutkan namanya, sebagaimana dilansir dari situs foreignpolicy.com, Rabu (27/2/2019).

Pada pertemuan puncak mereka di Vietnam, Donald Trump dan Kim Jong-un kabarnya akan membahas potensi konsesi Korea Utara mengenai perlucutan senjata nuklir. Sekutu, diam-diam, takut bahwa Kim bisa mengalahkan Trump dalam upayanya untuk mengamankan politik luar negeri.

Ketakutan Terbesar

Kekhawatiran utama lainnya yakni Pyongyang, lagi-lagi, bisa mengingkari janjinya dari langkah-langkah nyata untuk denuklearisasi --masalah yang telah menjengkelkan para diplomat top AS dalam beberapa dekade terakhir. Kepala intelijen AS menyebut, Korea Utara tidak mungkin menghancurkan seluruh program dan situs nuklirnya. Di samping itu, negosiasi antara Trump dan Kim dalam KTT Singapura pada Juni 2018 dinilai gagal total.

Sementara itu di Korea Selatan, Presiden Moon Jae-in telah berusaha untuk menjalin hubungan yang sangat erat dengan Kim Jong-un, dalam upayanya untuk memperbaiki hubungan antara kedua negara.

Jepang, di sisi lain, harus ikut andil dengan urusan Korea Utara melalui Seoul atau Washington, karena Pyongyang belum menanggapi tawaran diplomatik dari Tokyo. Sikap Pyongyang ini membuat Shinzo Abe merasa terjebak di antara dua pemimpin tersebut.

Beberapa ahli menekankan bahwa Jepang berada dalam posisi diplomatik yang kuat, mengingat hubungan pribadi Abe dengan Trump yang karib. Meskipun Korea Utara menolak untuk terlibat dengan mereka, tetapi Abe seolah kembali dipaksa untuk menyaksikan apa yang akan terjadi dari KTT Hanoi.

"Ketika berbicara dengan pejabat Jepang, mereka merasa khawatir. Mereka merasa terisolasi," kata Bruce Klingner, seorang sarjana di Heritage Foundation dan mantan wakil kepala divisi CIA untuk Korea.

Saat disinggung tentang keputusan presiden AS, Klingner menegaskan, "Mereka waspada akan kejutan."

Setelah KTT Singapura, Donald Trump secara sepihak mengumumkan bahwa dia akan mengakhiri beberapa latihan militer bersama dengan Korea Selatan, menyentak sekutu dan bahkan beberapa di Departemen Pertahanan AS.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

KTT Hanoi Harus Ingat Jepang?

Trump Jamu Perdana Menteri Jepang Abe
Presiden AS, Donald Trump dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berbincang selama pertemuan mereka di Resor Mar-a-Lago, Florida, Selasa (17/4). Pertemuan untuk mencari pemahaman bersama mengenai masalah nuklir Korea Utara. (AP/Pablo Martinez Monsivais)

Pada Desember 2018, Trump kembali mengejutkan sekutu AS, dengan menarik seluruh pasukannya dari Suriah dan Afghanistan. Keputusan tersebut mendorong Menteri Pertahanan AS, James Mattis, dan utusan tinggi untuk penanggulangan ISIS, Brett McGurk, mengundurkan diri.

Kabar itu pun menggema di seantero Asia Timur dan menggetarkan saraf sekutu AS, menurut Jung Pak, ketua studi Korea di Brookings Institution.

Apa yang disisakan untuk sekutu di kawasan tersebut, katanya, adalah "rasa tidak aman, lindung nilai (suatu investasi yang dilakukan khususnya untuk mengurangi atau meniadakan risiko pada suatu investasi lain), serta frustrasi yang konon muncul karena ulah Trump.

Jepang tetap sangat bergantung pada aliansinya, AS, mengingat adanya peningkatan ancaman militer China dan Korea Utara dalam pengembangan program nuklir dan rudal.

Konstitusi antiperang Jepang, yang dibuat setelah Perang Dunia II, membatasi penggunaan militer hanya untuk tindakan defensif, meskipun pemerintah Shinzo Abe berusaha untuk mereformasi konstitusi dan mengubah Pasukan Pertahanan Jepang (Self-Defense Forces) menjadi militer layanan penuh.

Ada ketakutan umum lain yang terjadi pada Tokyo, yakni Donald Trump dapat mencapai kesepakatan dengan Kim Jong-un yang menangkal ancaman terhadap AS, namun meninggalkan sekutu regional dalam kesulitan. Demikian menurut Hiroyuki Akita, seorang komentator untuk kantor berita lokal: Nikkei.

"Tetapi saya tidak tahu apakah hubungan pribadi Trump dan Abe akan menjadi faktor penting dalam KTT Hanoi. Saya tidak begitu yakin sejauh mana relasi mereka akan cukup efektif untuk mencegah Trump membuat kesepakatan yang tidak menguntungkan bagi Jepang," Akita menjabarkan.

Kesepakatan hipotetis ini mencakup pada rudal balistik antarbenua milik Korea Utara yang mencapai puncak denuklirisasi terhadap daratan AS, namun rudal jarak pendek dan menengahnya tetap dijalankan sehingga bisa mengancam Jepang.

"Masa depan banyak negara bergantung pada kesepakatan yang keluar dari KTT Hanoi, situasi genting Jepang dapat menjadi lebih jelas," ucap Naoko Aoki, seorang rekan di Rand Corp. Sebagai salah satu hasil potensial dari KTT kedua Trump dan Kim: para negosiator AS telah mendirikan kantor penghubung di Korea Utara, meskipun kantor itu akan berada jauh dari kedutaan besar.

Aktor utama lainnya, termasuk Rusia dan China, memiliki kedutaan besar di Pyongyang, sementara Korea Selatan mendirikan kantor penghubung sendiri dengan Korea Utara pada September lalu.

"Itu berarti, Jepang akan menjadi satu-satunya negara utama (di kawasan) tanpa kehadiran atau saluran diplomatik yang dapat digunakan antara kedua negara," pungkas Aoki.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya