Liputan6.com, Gaza - Pengamat Hubungan Internasional dan Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Smith Alhadar menyebut pendekatan negara Arab terkait rekonstruksi Gaza lebih realistik dari pada Amerika Serikat.
Smith Alhadar menyebut bahwa pada enam bulan pertama, para profesional dan teknokrat Palestina berkuasa untuk menyingkirkan 50 juta ton puing di Gaza.
"Setelah itu, otoritas Palestina yang punya legitimasi internasional mengambil alih dengan dukungan pasukan Arab, negara-negara Muslim dan pasukan perdamaian PBB," kata Smith Alhadar kepada Liputan6.com pada Kamis (6/3/2025).
Advertisement
"Hamas tidak diberi peran politik maupun keamanan. Hamas mendukung rancangan Mesir bagi rekonstruksi Gaza ini, tapi menolak melucuti senjatanya."
Kendati tidak menginginkan Hamas berkuasa di Gaza, Smith Alhadar menyebut negara Arab tak dapat melakukan banyak dalam hal ini mengingat de facto Hamas masih berkuasa di Gaza dan dia mendapatkan dukungan luas di kalangan Palestina di Gaza dan Tepi Barat sehingga menyingkirkannya pada momen ini tidak realistis.
"AS nampaknya bisa menerima jalan tengah ini, tapi Benjamin Netanyahu menolak karena eksistensi Hamas di Gaza merupakan kegagalan pemerintahan Netanyahu yang menetapkan penghancuran Hamas merupakan tujuan perang."
"Terlebih, pemerintahan koalisi kanan Netanyahu akan runtuh jika perang diakhiri sekarang."
Saat ditanya bagaimana perbedaan prioritas antara negara Arab dan AS dalam mempengaruhi stabilitas jangka panjang kawasan tersebut, Smith Alhadar menilai bahwa prioritas negara Arab adalah menjaga agar 2,3 juta warga Gaza tidak direlokasi ke negara lain (Mesir dan Yordania).
"Karena hal ini akan menimbulkan destabilisasi kawasan dan membunuh gagasan Two State Solution yang telah menjadi konsensus internasional," kata Smith Alhadar.
"Kalau itu terjadi, depopulasi Gaza sebagai rencana AS yang disambut Israel dan aneksasi lebih banyak wilayah di Tepi Barat oleh Israel, sebagaimana sedang berlangsung saat ini, maka Two State Solution menjadi tidak relevan karena tak ada wilayah lagi bagi pendirian negara Palestina."
"Sementara itu, prioritas AS dan Israel adalah menghilangkan peluang dihidupkan kembali Two State Solution. Hal ini terlihat pada konsep "deal of the century" yang diluncurkan Trump pada periode pertama pemerintahannya. Kesepakatan abad ini tidak memberi kemerdekaan pada Palestina dengan wilayah yang terbatas di Tepi Barat dan Gaza yang didemiliterisasi. Deal of the century langsung ditolak seluruh faksi Palestina dan Arab karena bisa menimbulkan Arab Spring jilid 2, apabila direalisasikan."
Ada Peluang Bagi Pendekatan Rekonstruksi yang Menggabungkan Versi Arab dan AS?
Smith Alhadar mengatakan, KTT Darurat Liga Arab yg dilangsungkan di Kairo, Mesir, pada 4 Maret 2025 untuk merespons proposal Trump yang kontroversial sudah mengakomodasi aspirasi AS dan Israel, yaitu Gaza pasca perang tidak diperintah Hamas.
"Masalahnya, Hamas tidak dilucuti. Masalah yang lebih penting dari segalanya adalah eksistensi Palestina, khususnya Hamas, akan memaksa Israel maju ke meja perundingan untuk Two State Solution," kata Smith Alhadar.
"Inilah yang menjadi alasan utama mengapa AS ingin mendepopulasi Gaza dan Israel ingin melanjutkan perang yang tujuan utamanya adalah mengusir warga Gaza ke Sinai, Mesir."
Lebih lanjut, Smith Alhadar menyebut bukan Israel takut Hamas menjadi ancaman bagi Israel di masa depan, tapi eksistensinya di Gaza membuat Two State Solution menjadi relevan.
"Dalam KTT Darurat Liga Arab, Israel ditawarkan perdamaian komprehensif, yaitu seluruh negara Arab berdamai dengan Israel lewat syarat Israel mundur dari seluruh tanah Arab yang diduduki dan negara Palestina didirikan."
"Lebih jauh, Arab siap memberi konsesi keamanan bagi Israel. Ini satu-satunya jalan yang realistis untuk menciptaksn Timur Tengah yang stabil, makmur dan adil bagi semua."
Advertisement
