Liputan6.com, New Delhi - Google tak bisa diakses di India, beberapa jam sebelum negara ini mengumumkan hasil pemilu 2019. Selama periode pemilihan, yang dipenuhi oleh hoax dan informasi yang salah, mesin pencarian raksasa tersebut berhenti menampilkan hasil pencarian ketika pengguna berusaha mencari keterangan apa pun.
Perusahaan multinasional Amerika Serikat itu mengalami masalah pengindeksan situs web, kata Google melalui Twitter. Itu berarti, hasil yang muncul ketika seseorang mencari sesuatu, kemungkinan merupakan berita lawas atau sesuatu yang sudah lama, karena konten baru tidak muncul di katalog pencarian.
"Kami saat ini mengalami masalah pengindeksan yang dapat menyebabkan hasil pencarian tempo dulu dalam beberapa kasus," tulis akun Webmaster Google di Twitter, seperti dikutip dari The Independent, Kamis (23/5/2019).
Advertisement
Baca Juga
Google berjanji untuk mengirimkan informasi lebih lanjut ketika ada pembaruan dan sistem sudah diperbaiki.
We're currently experiencing indexing issues that may cause stale search results in some cases. We'll update this thread when we can provide more information.
— Google Webmasters (@googlewmc) May 22, 2019
Sementara itu sebelumnya, pihak berwenang India telah membenarkan pembatasan internet dengan alasan menjaga keamanan publik, di tengah kekhawatiran meluasnya kekerasan massa dan main hakim sendiri.
Pada Juli tahun lalu, sekitar 2.000 orang menyerang sekelompok kecil laki-laki yang mereka tuduh berusaha menculik anak-anak, dan membunuh salah satu dari mereka.
Kasus di atas adalah salah satu contoh dari tindak persekusi yang berawal dari desas-desus di media sosial, di mana memicu desakan untuk memberlakukan kontrol baru pada risiko persebaran berita palsu.
Pada saat menjelang pemilu India, kekhawatiran serius muncul tentang bagaimana WhatsApp dan aplikasi berbagai pesan lainnya berpotensi mempengaruhi hasil, baik dengan menyebarkan berita palsu tentang kandidat, atau menghasur massa di sekitar pelaksanaan pemungutan suara.
WhatsApp telah meresponsnya dengan membatasi kemampuan pengguna dalam meneruskan pesan dan menyiarkannya ke grup besar.
"Kami telah terlibat dengan partai-partai politik untuk menjelaskan pandangan perusahaan kami, bahwa WhatsApp bukan platform siaran dan bukan tempat untuk mengirim pesan dalam skala besar, dan untuk menjelaskan kepada mereka bahwa kami akan melarang akun yang melakukan perilaku (mencurigakan)," kata juru bicara WhatsApp, Carl Woog.
Memicu Amarah Warga
Penjelasan dan masalah yang diuraikan Google di atas membuat amarah warga setempat membuncah. Banyak dari mereka yang mengatakan bahwa mereka sedang dicegah oleh pemerintah untuk menemukan berita terbaru tentang pemilu.
"Sialan, hasil pemilu di India akan diumumkan besok !!" tulis seorang warganet, menjawab cuitan Google, dengan dibubuhi sederet emoji sedih. "Menakutkan .. semoga masalah ini segera diselesaikan .."
Sementara itu, hasil jajak pendapat terhadap pemilu menunjukkan bahwa koalisi yang berkuasa di India diperkirakan akan mempertahankan kekuasaan setelah hasilnya diumumkan pada hari Kamis waktu setempat, 23 Mei 2019.
Tetapi survei seperti itu sebelumnya telah terbukti menyesatkan penduduk. Partai oposisi utama Kongres, pada hari Rabu, menganggap prediksi tersebut "palsu".
Kasus semacam itu memantik kebingungan terbaru dalam sejumlah periode pemilu di India, yang biasanya ditandai oleh informasi yang salah dan laporan palsu, baik daring maupun non-daring.
Advertisement
Warga Sengaja Dijauhkan dari Internet
India tengah menggelar pemilihan umum terbesar di dunia, di mana lebih dari 900 juta orang memenuhi syarat untuk memberikan suaranya pada 11 April hingga 19 Mei.
Meski pemilihan umum ini mengusung kebebasan politik, sebagian masyarakat India tidak diberi akses ke internet selama berhari-hari ketika mereka bersiap untuk memberikan suara.
Sejak pemungutan suara dimulai bulan lalu, pemblokiran akses internet seluler telah dilaporkan terjadi di lebih dari 30 wilayah di negara bagian Rajasthan, Benggala Barat, dan Kashmir yang dikelola India, lapor Software Freedom Law Center (SFLC) yang berbasis di Delhi.
Menurut SFLC, pada 18 April, pihak berwenang di distrik Srinagar dan Udhampur, negara bagian Kashmir yang dikelola India, menangguhkan akses internet seluler selama pemungutan suara, "sebagai langkah untuk menjaga hukum dan ketertiban".
Ini sejalan dengan peningkatan besar-besaran penutupan internet --baik seluler maupun akses penuh-- di India dalam beberapa tahun terakhir. Jumlahnya meningkat dari 79 kali pada 2017, menjadi lebih dari 130 perintah tahun lalu.
Rakesh Maheshwari, juru bicara Kementerian Elektronika dan Teknologi Informasi India, mengatakan bahwa penutupan internet biasanya dilakukan oleh otoritas negara karena "skenario hukum dan ketertiban".
Tren ini menimbulkan kekhawatiran besar tentang komitmen India terhadap kebebasan internet, khususnya selama pemilihan umum, ketika akses masyarakat terhadap informasi bahkan lebih penting daripada biasanya.
"Penutupan Internet mengganggu kehidupan sehari-hari warga di daerah yang terkena dampak. Kebijakan itu menjadi penghalang bagi pelaksanaan hak asasi manusia," kata analis SFLC Sukarn Singh Maini.
"Demokrasi fungsional tergantung pada kemampuan warga negara untuk menggunakan kebebasan berbicara, termasuk kemampuan untuk secara bebas mengakses informasi," lanjutnya prihatin.
Sabotase akses internet juga disebut berisiko menyebabkan kerusakan ekonomi.
Menurut sebuah studi tahun 2018 oleh ICRIER, lembaga think tank yang berbasis di Delhi, gabungan 16.315 jam penutupan internet antara 2012 dan 2017 bisa membuat nilai ekonomi India naik hingga US$ 3 miliar.
"Ketika kehidupan kita mulai banyak bergerak secara online, maka bisnis, lembaga pendidikan dan pemerintah dengan sendirinya tumbuh bergantung pada internet, untuk pelaksanaan aktivitas sehari-hari," kata Maini.