Liputan6.com, Hong Kong - RUU di Hong Kong yang kontroversial, yang memungkinkan terdakwa kasus kriminal diekstradisi ke China daratan, telah mendorong bekas koloni Inggris itu ke pergolakan politik terbesarnya dalam beberapa tahun terakhir.
Sebuah demonstrasi untuk memprotes tindakan itu menarik ratusan ribu Hongkongers ke jalan-jalan pada Minggu 9 Juni 2019 dan merambah hingga Senin, serta diperkirakan akan berlanjut hingga rapat dengar pendapat RUU dilakukan pada 12 Juni mendatang.
Advertisement
Baca Juga
Mereka terdiri dari para warga kelas menengah Hong Kong, yang memiliki tingkat pendidikan tinggi namun bersaing dengan meroketnya harga rumah dan upah yang minim.
Demonstran menyuarakan kekhawatiran yang telah lama mereka anggap remeh: bahwa seiring waktu, Beijing akan memperketat kontrol atas Wilayah Administrasi Khusus Hong Kong sejak serah terima dari Inggris ke China pada 1997.
Para pengkritik RUU tersebut melihat produk hukum itu sebagai bagian dari erosi kebebasan sipil mereka --yang sejak lama dipandang sebagai keuntungan dan pembeda utama Hong Kong dari daratan Tiongkok.
Simak video pilihan berikut:
Kontrol Beijing pada Hong Kong
Lebih lanjut, para pengkritik mengatakan bahwa undang-undang akan menempatkan penduduk Hong Kong dalam risiko terperangkap dalam sistem peradilan China yang mereka nilai "keruh", di mana para terdakwa dapat menghadapi proses hukum yang tidak adil dalam suatu sistem di mana sebagian besar pengadilan pidana berakhir dengan vonis hukuman.
Hal itu juga memacu kritik bahwa sistem peradilan Tiongkok tidak akan menjamin hak yang sama bagi para terdakwa layaknya di Hong Kong.
Berdasarkan kesepakatan serah terima, Hong Kong dijamin haknya untuk mempertahankan sistem sosial, hukum, dan politiknya sendiri selama 50 tahun, terhitung sejak tahun penyerahannya ke China pada 1997.
Hong Kong saat ini membatasi ekstradisi pada yurisdiksi yang memiliki perjanjian yang sudah ada atau kepada orang lain secara individual berdasarkan undang-undang yang disahkan sebelum 1997. China, dalam undang-undang yang telah ada, dikecualikan karena kekhawatiran atas catatan buruk tentang independensi hukum dan hak asasi manusia.
Tetapi Partai Komunis China yang berkuasa dianggap semakin mengingkari perjanjian itu dengan mendorong penerapan hukum yang tidak populer di kalangan Hongkongers.
Advertisement
Pemimpin Hong Kong: RUU Justru Jadi Solusi Masalah
Para pendukungnya RUU, termasuk Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam menyebut produk hukum itu akan membantu wilayah semi-otonomi China dalam melindungi hak asasi manusia.
Lam mengatakan kepada wartawan hari Senin bahwa undang-undang itu akan membantu Hong Kong menegakkan keadilan dan memenuhi kewajiban internasionalnya. Mei menambahkan bahwa undang-undang akan mampu melindungi hak asasi manusia, katanya.
Dia mengatakan RUU itu bertujuan untuk mencegah Hong Kong menjadi surga bagi para pelarian dan tidak hanya berfokus pada China daratan semata.
Ia menambahkan bahwa negara-negara demokrasi Barat selama ini menuduh Hong Kong gagal menangani masalah-masalah seperti pencucian uang dan pendanaan teroris. Dan RUU itu, nilai Lam, merupkan jawaban atas kritik tersebut.
Lam juga mengatakan protes hari Minggu menunjukkan komitmen Hong Kong yang berkelanjutan untuk kebebasan rakyatnya. Dia membantah bahwa dirinya telah menerima mandat dari pemerintah pusat di ibukota China.
"Saya belum menerima instruksi atau mandat dari Beijing untuk melakukan RUU ini," katanya. "Kami melakukannya - dan kami masih melakukannya - karena hati nurani kami yang jelas, dan komitmen kami untuk Hong Kong."