Liputan6.com, Colorado - Letusan gunung berapi ribuan mil jauhnya dikabarkan bisa membuat matahari terbit dan terbenam lebih berwarna. Hal itu dilaporkan para peneliti di University of Colorado Boulder di Colorado, Amerika Serikat.
Sebuah tim dari kampus tersebut memperhatikan bahwa selama musim panas, matahari terbit dan matahari terbenam memiliki lebih banyak warna ungu. Mereka kemudian mengirim Balon high-altitude atau balon udara tak berawak ke ketinggian untuk mengumpulkan sampel partikel di stratosfer Bumi, menurut rilis berita dari kampus tersebut pekan lalu.
"Partikel-partikel ini, atau aerosol, menyebarkan sinar matahari saat melewati udara, yang dikombinasikan dengan penyerapan cahaya oleh lapisan ozon, memberikan matahari terbit dan matahari terbenam warna ungu," kata pernyataan dari kampus tersebut seperti dikutip dari CNN, Rabu (18/9/2019).
Advertisement
Pada 22 Juni, gunung berapi Rusia yang disebut Raikoke meletus, mengirimkan abu dan gas vulkanik dari kawah selebar 700 meter ke atmosfer.
"Letusan gunung itu begitu besar sehingga bisa dilihat oleh para astronot di Stasiun Luar Angkasa Internasional," kata NASA dalam sebuah pernyataan.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:Â
Detik-Detik Terciptanya Matahari Terbenam Warna Ungu
Dalam kondisi normal, saat matahari terbenam cahaya dari matahari harus melakukan perjalanan melalui sejumlah besar atmosfer Bumi, dan cahaya biru mencerai-beraikan aerosol yang dihadapinya. Ini berarti lebih sedikit cahaya biru mencapai mata dari arah dekat matahari, hal itu yang menyebabkan langit tampak oranye dan merah.
Ketika aerosol mengandung vulkanik di stratosfer, cahaya biru yang tersebar dari partikel padat yang ada di udara itu lebih dekat ke permukaan Bumi dan dapat tersebar lagi, kali ini ke mata dan kamera.
Cahaya biru ini bercampur dengan cahaya merah yang sudah ada dari matahari, memberi langit warna ungu.
Advertisement
Tak Perlu Dikhawatirkan
Lars Kalnajs, seorang rekan peneliti di Laboratorium Fisika Atmosfer dan Antariksa di kampus itu, memimpin proyek tersebut dan mengatakan letusan Gunung Raikoke tidak perlu dikhawatirkan, tetapi memperingatkan bahwa kita perlu mempersiapkan diri untuk yang lebih besar dari erupsi tersebut.
"Letusan yang sangat besar akan berdampak besar pada kemanusiaan," kata Kalnajs dalam rilis berita.
Dia mengutip letusan di Gunung Tambora pada tahun 1815 yang menyebabkan "tahun tanpa musim panas" karena abu dan material vulkanik yang tersisa di atmosfer.
"Ada kegagalan panen di seluruh dunia, dan ada es di sungai-sungai di Pennsylvania yang tidak mencair hingga Juni," kata Kalnajs.
Itulah salah satu alasan mengapa timnya melakukan penelitian setelah letusan Raikoke. Data awal yang dikumpulkan sejauh ini menunjukkan bahwa beberapa lapisan aerosol di stratosfer 20 kali lebih tebal dari biasanya setelah letusan, menurut rilis dari University of Colorado Boulder.
"Itu membuat Anda sadar bahwa tidak harus memasukkan banyak aerosol ke dalam stratosfer untuk mengubah komposisinya," kata Kalnajs.
"Ini adalah letusan gunung berapi yang relatif kecil, tapi itu cukup berdampak pada sebagian besar belahan bumi utara."Penelitian kelompok ini dijadwalkan akan diterbitkan akhir tahun ini."