Liputan6.com, Washington - WhatsApp menggugat sebuah perusahaan teknologi Israel, NSO Group. Perusahaan itu diduga menggunakan layanan olah pesan milik Facebook tersebut untuk melakukan cyberpageage pada wartawan, aktivis hak asasi manusia, dan lainnya.
Gugatan yang diajukan di pengadilan federal California menyatakan bahwa NSO Group mencoba menginfeksi sekitar 1.400 "perangkat target" dengan perangkat lunak berbahaya untuk mencuri informasi berharga dari mereka.
Baca Juga
Dikutip dari AFP pada Rabu (30/10/2019), Bos WhatsApp Will Cathcart mengatakan gugatan itu diajukan setelah penyelidikan menunjukkan peran perusahaan Israel sebagai serangan cyber, meskipun ada penolakan.
Advertisement
"NSO Group mengklaim mereka bertanggung jawab melayani pemerintah, tetapi kami menemukan lebih dari 100 pembela hak asasi manusia dan jurnalis yang menjadi sasaran serangan Mei lalu. Perbuatan ini harus dihentikan," kata Will di Twitter.
Gugatan itu mengatakan perangkat lunak yang dikembangkan NSO yang dikenal sebagai Pegasus dirancang untuk dipasang dari jarak jauh ke perangkat yang dibajak menggunakan sistem operasi Android, iOS, dan BlackBerry.
Keluhan itu mengatakan para penyerang "merekayasa balik aplikasi WhatsApp dan mengembangkan program untuk memungkinkan mereka meniru lalu lintas jaringan WhatsApp yang sah untuk mengirimkan kode berbahaya" untuk mengambil alih perangkat.
"Sementara serangan mereka sangat canggih, upaya mereka untuk menutupi jejak mereka tidak sepenuhnya berhasil," ujar Will dalam sebuah opini yang dipublikasikan di Washington Post, mencatat bahwa penyelidikan menemukan layanan hosting internet dan akun yang terkait dengan NSO.
Â
* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS
Saksikan video pilihan di bawah ini:Â
WhatsApp Sudah Bertindak Sejak Mei 2019
Gugatan meminta pengadilan untuk memerintahkan NSO Group menghentikan serangan semacam itu dan meminta ganti rugi yang tidak ditentukan.
Pada Mei lalu, WhatsApp meminta para penggunanya untuk memutakhirkan aplikasinya untuk memasang sebuah jaringan pengaman yang menahan malware untuk memata-matai aplikasi pesan yang digunakan oleh 1,5 miliar orang di dunia.
Menurut pengaduan tersebut juga, kode berbahaya yang ditransmisikan melalui server WhatsApp dari sekitar 29 April hingga 10 Mei 2019. Mereka menargetkan pengacara, jurnalis, aktivis hak asasi manusia, pembangkang poitik, diplomat, dan pejabat senior pemerintah asing.
"Seorang pengguna akan menerima yang tampak seperti panggilan video, tapi sebenarnya bukan. Setelah telepon berdering, penyerang diam-diam mengirimkan kode berbahaya dalam upaya untuk mengidentifikasi ponsel korban dengan spyware," jelas Will.
Advertisement
'Alasan' NSO
NSO Group menjadi terkenal pada 2016 ketika para peneliti menuduhnya membantu memata-matai seorang aktivis di Uni Emirat Arab.
Produknya yang paling terkenal adalah Pegasus, alat yang sangat invasif yang dilaporkan dapat menghidupkan kamera dan mikrofon ponsel target, dan mengakses data di dalamnya.
Perusahaan itu bersikukuh bahwa mereka hanya melisensikan perangkat lunaknya kepada pemerintah untuk "memerangi kejahatan dan teror" dan bahwa mereka menyelidiki tuduhan penyalahgunaan yang dapat dipercaya, tetapi para aktivis berpendapat bahwa teknologi itu malah digunakan untuk pelanggaran hak asasi manusia.
Danna Ingleton dari Amnesty International mengatakan hasil penyelidikan WhatsApp "menggarisbawahi bahwa NSO Group terus mengambil untung dari produk spyware yang digunakan untuk mengintimidasi, melacak, dan menghukum sejumlah pembela hak asasi manusia di seluruh dunia, termasuk Kerajaan Bahrain, Amerika Serikat. Emirat Arab dan Meksiko. "
Ingleton mengatakan Amesty dan kelompok lain mencari di pengadilan Israel untuk memblokir NSO karena mengekspor teknologi.
"WhatsApp layak mendapat pujian atas sikap keras mereka terhadap serangan jahat ini, termasuk upaya mereka untuk meminta pertanggungjawaban NSO di pengadilan," katanya.
Â
Reporter: Windy Febriana