Belum Ada Kasus Virus Corona di Kenya, Tapi Rasisme Sudah Terjadi

Walaupun belum ada kasus positif yang terkonfirmasi di Kenya, tapi rasisme anti-China sudah menjamur.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 09 Mar 2020, 12:07 WIB
Diterbitkan 09 Mar 2020, 12:07 WIB
Kenya Beri Dukungan China Hadapi Virus Corona COVID-19
Para murid sekolah dasar Kenya memegang plakat untuk mengekspresikan dukungan kepada China di Nairobi, ibu kota Kenya, pada 19 Februari 2020. Banyak anak di seluruh dunia membuat lukisan sebagai wujud solidaritas terhadap perjuangan China memerangi epidemi coronavirus baru. (Xinhua/Li Yan)

Liputan6.com, Nairobi - Perkembangan Virus Corona COVID-19 semakin meluas di dunia. Namun sesungguhnya, melihat dari apa yang telah terjadi di berbagai belahan dunia, musuh terbesarnya bukanlah virus itu sendiri, melainkan "ketakutan, rumor, dan stigma".

Melansir BBC, Senin (9/3/2020), Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, merespons kasus-kasus prasangka anti-China pada bulan lalu.

Dia mengulang pesannya di Twitter awal pekan ini sambil berbagi cerita tentang seorang pria Singapura yang dipukuli di ibu kota Inggris, London, karena Virus Corona.

Prasangka semacam itu pun menyebar ke seluruh bagian dunia. Tak terkecuali salah satu wilayah Afrika Timur, Kenya. Walaupun belum ada kasus positif yang terkonfirmasi, malahan stigma semacam itu yang menjamur. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Video Viral

Perjuangan Ini Belum Usai
Petugas medis yang bekerja di bangsal isolasi Rumah Sakit Palang Merah di Wuhan, provinsi Hubei, China pada 16 Februari 2020. Jumlah korban meninggal akibat virus corona (Covid-19) di seluruh dunia hingga Minggu (8/3) pagi sudah mencapai 3.570 orang, terbanyak masih di China. (STR/AFP)

Sebuah video amatir telah viral di media sosial, menunjukkan seorang pria dan wanita Asia diganggu banyak orang di daerah ibu kota Kenya, Nairobi.

Video dimulai dengan orang-orang tak dikenal di kerumunan berteriak: "Anda adalah Virus Corona, Anda adalah Virus Corona."

Pria itu menanggapi dengan mencoba merekamnya dalam kerumunan tetapi dengan cepat menyadari bahwa teman wanitanya dapat diserang sehingga ia bergegas membantunya.

Dia berdiri di hadapan anggota yang paling agresif dari kerumunan dan mulai berteriak balik: "Kami tidak memiliki Corona, kami tidak memiliki Corona."

Namun, video tersebut tidak menunjukkan bagaimana insiden itu berakhir, tapi jelas menunjukkan kondisi di sana, sebagai efek samping dari Virus Corona. 

Pada 27 Februari, sebuah pesan menyebar di Facebook, yang diduga di-posting seorang anggota parlemen Kenya, menyerukan penduduk daerah pemilihannya untuk menghindari interaksi dengan warga negara China yang baru saja kembali dari Tiongkok setelah Tahun Baru Imlek. 

Unggahan itu memperingatkan, jika pemerintah tidak berbuat cukup untuk melindungi warganya, dan dengan tegas mengkarantina salah satu dari warga negara China ini, maka penduduk memiliki izin untuk mengusir dan melempari orang Tionghoa di sekitar mereka.

Kedutaan besar China merespons dengan cepat dalam postingan Twitter yang menyerukan "pendekatan rasional dan ilmiah terhadap komunitas China" dan menggambarkan pernyataan yang dibuat sebagai rasis.

Kenya bukanlah satu-satunya negara yang memiliki prasangka semacam ini. Tetapi yang menarik adalah bahwa semua kasus awal virus di sub-Sahara Afrika terkait dengan perjalanan dari Eropa daripada China. Namun tidak ada perasaan anti-Eropa yang setara.

Hubungan China - Kenya

Kenya Beri Dukungan China Hadapi Virus Corona COVID-19
Para murid sekolah dasar Kenya memegang plakat untuk mengekspresikan dukungan kepada China di Nairobi, ibu kota Kenya, pada 19 Februari 2020. Banyak anak di seluruh dunia membuat lukisan sebagai wujud solidaritas terhadap perjuangan China memerangi epidemi coronavirus baru. (Xinhua/Li Yan)

Prasangka tersebut dipicu oleh hubungan ekonomi China dan Kenya yang saling terkait.

Kenya telah meminjam sejumlah besar uang dari China untuk proyek infrastruktur besar. Sementara warga Kenya biasa, tidak merasakan manfaatnya, mereka pun akhirnya mencari seseorang untuk disalahkan atas kesengsaraan ekonomi mereka.

Bosan menuding pemerintah, beberapa dari mereka telah mengarahkan kembali rasa frustrasi mereka terhadap meningkatnya jumlah warga negara China yang datang untuk mencari peluang ekonomi.

Ketakutan serta stigma terhadap Virus Corona, oleh karena itu, telah menemukan tanah subur dan menyebabkan beberapa perilaku luar biasa.

Adrian Blomfield, seorang jurnalis lepas veteran di sini, mengatakan bahwa semua pengemudi di pangkalan taksi lokalnya telah setuju untuk tidak membawa orang China sebagai penumpang.

"Seorang pengemudi taksi memberi tahu saya bahwa warga negara Tiongkok mengubah nama pengguna mereka di aplikasi taksi yang memanggil untuk menghindari permintaan penumpang mereka ditolak," katanya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya