Ilmuwan Prancis: Obat Hydroxychloroquine Tak Sembuhkan Pasien Corona COVID-19

Sebuah studi dari Prancis menemukan bahwa obat hydroxychloroquine tidak dapat membantu kesembuhan pasien Virus Corona COVID-19.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 16 Apr 2020, 19:10 WIB
Diterbitkan 16 Apr 2020, 19:10 WIB
Gambar ilustrasi Virus Corona COVID-19 ini diperoleh pada 27 Februari 2020 dengan izin dari Centers For Desease Control And Prevention (CDC). (AFP)
Gambar ilustrasi Virus Corona COVID-19 ini diperoleh pada 27 Februari 2020 dengan izin dari Centers For Desease Control And Prevention (CDC). (AFP)

Liputan6.com, Jakarta- Studi yang dibuat para ilmuwan di Prancis menemukan bahwa hydroxychloroquine tidak membantu pasien yang mengalami Virus Corona COVID-19. 

Obat itu sempat disebut sebagai "Game Changer" atau perubahan besar oleh Presiden AS Donald Trump. Namun studi baru dan Prancis ini mengatakan bahwa hydroxychloroquine tidak membantu pasien rawat inap Virus Corona COVID-19 dan ternyata memiliki keterkaitan dengan komplikasi jantung. 

Seorang dokter pada beberapa waktu lalu telah memperingatkan Donald Trump bahwa hydroxychloroquine masih perlu dipelajari lagi, untuk melihat apakah dapat bekerja dan aman untuk digunakan.

Menurut spesialis penyakit menular di Children's Hospital of Philadelphia, Dr. Paul Offit, ada efek samping yang disebabkan oleh obat tersebut, yaitu racun yang mengharuskan penggunaanya untuk dihentikan.

Dalam Studi Prancis itu, catatan medis diamati kembali oleh para dokter untuk 181 pasien Virus Corona COVID-19 yang menderita pneumonia dan membutuhkan oksigen tambahan.

Sekitar setengah dari para pasien itu menggunakan hydroxychloroquine dalam waktu 48 jam setelah dirawat di rumah sakit, dan setengahnya tidak menggunakan, demikian seperti dikutip dari CNN, Kamis (16/4/2020).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Berikut Ini:


Hasil Temuan dari Studi

Pembedahan
Ilustrasi pembedahan di rumah sakit. (Sumber AFP)

Para dokter yang mengikuti keadaan pasien menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam tingkat kematian kedua kelompok (yang menggunakan hydroxychloroquine dan tidak), atau peluang mereka untuk dirawat di unit perawatan intensif, menurut studi Prancis itu.

Masalah keamanan penting tentang hydroxychloroquine juga diangkat dalam studi tersebut.

Studi itu mendapati 8 pasien yang menggunakan obat tersebut mengembangkan detakan jantung abnormal dan harus berhenti meminumnya.

Detakan jantung abnormal disebut sebagai efek samping dari hydroxychloroquine yang diketahui, yang telah digunakan untuk mengobati pasien dengan penyakit seperti malaria, lupus dan rheumatoid arthritis selama beberapa dekade.

Dalam studi Prancis tersebut dikatakan bahwa di antara 84 pasien yang menggunakan hydroxychloroquine, 20,2% dirawat di ICU atau meninggal dalam tujuh hari setelah meminum obat, dan di antara 97 pasien yang tidak menggunakan obat, 22,1% pergi ke ICU atau meninggal.

Perbedaannya dilaporkan tidak ditentukan secara statistik berbeda.

Hanya dengan melihat kematian, studi Prancis itu menunjukkan 2.8% pasien yang menggunakan hydroxychloroquine meninggal dunia, dan 4.6% pasien yang tidak menggunakan zat tersebut meninggal. Perbedaannya tidak ditemukan signifikan secara statistik. 

Para penulis studi tersebut mengatakan, "Hasil ini tidak mendukung penggunaan (hydroxychloroquine) pada pasien yang dirawat di rumah sakit untuk  pneumonia hipoksik positif SARSCoV-2."

Peringatan tentang chloroquine, yaitu jenis obat yang sangat mirip, karena masalah jantung telah dikeluarkan oleh para dokter di Swedia dan Brasil.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya