Liputan6.com, Tokyo - Seorang pelajar Jepang diduga membunuh dua anggota keluarganya dengan panah, dan melukai setidaknya dua orang lainnya. Ia kemudian ditangkap pihak berwajib.
Dikutip dari laman Channel News Asia, Kamis (4/6/2020), polisi di Kota Takarazuka di wilayah Hyogo, Jepang barat menangkap mahasiswa itu di tempat kejadian sebuah lingkungan perumahan, menurut surat kabar lokal Kobe Shimbun.
Dua wanita dewasa sempat dilarikan ke rumah sakit tetapi dipastikan meninggal.
Advertisement
Baca Juga
Surat kabar itu menyebutkan, pemuda itu datang mengaku: "Saya membunuh beberapa anggota keluarga saya."
Pria itu ditangkap atas tuduhan percobaan pembunuhan, media NHK mengatakan, menambahkan setidaknya dua orang telah terluka -- seorang pria dan seorang wanita yang keduanya dirawat di rumah sakit.
Polisi datang ke lokasi kejadian setelah seorang wanita menelepon samnbil mengatakan: "Cucu saya menembak saya dengan panah."
Polisi setempat menolak mengomentari kasus ini.
Kejahatan kekerasan jarang terjadi di Jepang, dan senjata dikontrol dengan ketat.
Sejauh ini belum diketahui alasan atau motif pembunuhan yang dilakukan pelaku pada korban.
Simak video pilihan berikut:
Pria Jepang Akui Bunuh 19 Orang Difabel
Pengakuan kasus pembunuhan lain di Jepang terjadi awal tahun 2020. Seorang pria Jepang telah mengakui membunuh 19 orang difabel di sebuah panti, di dekat Tokyo pada pada 2016.
Namun, ia mengatakan bahwa dirinya tidak bersalah karena mengaku mengidap penyakit mental.
Satoshi Uematsu, mantan karyawan di pusat perawatan bagi para difabel, didakwa dengan berbagai kasus kejahatan, termasuk pembunuhan.
Dalam wawancara, pria berusia 29 tahun itu mengatakan orang-orang cacat sangat berbahaya bagi masyarakat dan harus dibunuh, demikian seperti dikutip dari BBC.
Kasus ini adalah salah satu pembunuhan massal terburuk di Jepang dan telah mengejutkan banyak orang di negara di mana kejahatan kekerasan jarang terjadi.
Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan tentang perlakuan Jepang terhadap orang-orang difabel. Hampir semua korban tidak akan disebutkan namanya dalam persidangan -- tampaknya karena kerabat mereka takut akan stigma yang terkait dengan memiliki anggota keluarga yang difabel.
Advertisement