China Bentuk Satgas Investigasi Kasus Pelarungan ABK WNI, Indonesia Siap Kerja Sama

Otoritas China telah membentuk satgas antar-departemen untuk menginvestigasi kasus terkait pelarungan jenazah ABK Indonesia.

oleh Liputan6.comNatasha Khairunisa Amani diperbarui 19 Jun 2020, 09:27 WIB
Diterbitkan 18 Jun 2020, 17:01 WIB
Banner Infografis Dugaan Perbudakan ABK WNI di Kapal Long Xing. (Liputan6.com/Abdillah)
Banner Infografis Dugaan Perbudakan ABK WNI di Kapal Long Xing. (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta- Kasus dugaan perbudakan modern yang terjadi di kapal ikan berbendera China terhadap anak buah kapal (ABK) asal Indonesia menjadi perhatian. Otoritas China telah membentuk satgas antar-departemen untuk menginvestigasi kasus pelarungan jenazah, pembayaran gaji, kondisi di atas kapal dan isu-isu lainnya yang menimpa ABK Indonesia. 

Untuk menyampaikan keprihatinan terhadap berbagai kasus yang menimpa ABK WNI di kapal ikan tersebut, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan, pihaknya melalui KBRI di Beijing telah berkomunikasi melalui jalur diplomatik. Pihak otoritas China saat ini telah melakukan langkah lebih lanjut terkait hal ini.

China telah membentuk satgas antar-departemen untuk melakukan investigasi yang komprehensif, menurut Judha. Investigasi itu pun dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan sehubungan dengan pelarungan jenazah, pembayaran gaji, kondisi di atas kapal, dan isu-isu lainnya.

Jika memerlukan kerja sama investigasi dengan pihak China, Kementerian Luar Negeri Indonesia juga siap menfasilitasi kepolisian Indonesia. "Menindaklanjuti ini, Kementerian Luar Negeri siap bekerja sama membantu menfasilitasi kepolisian Republik Indonesia jika memerlukan kerja sama investigasi dengan pihak RRT melalui mekanisme Mutual Legal Asisstance," kata Judha.

Sejak beredarnya video pelarungan jenazah ABK di Kapal Long Xing 629, masalah yang dialami para ABK WNI di kapal ikan asing itu diketahui mulai terkuak. 

Jumlah ABK yang meninggal dan jenazahnya dilarung ke laut dari kapal tersebut adalah tiga orang, dan satu ABK WNI lainnya meninggal di rumah sakit di Busan, Korea Selatan, karena sakit.

Diketahui bahwa para ABK WNI tersebut kerap mendapatkan perlakuan tidak manusiawi, termasuk tindak kekerasan, berdasarkan keterangan sejumlah ABK yang bekerja di kapal itu dan berhasil dipulangkan oleh Pemerintah Indonesia. Perlakuan buruk itu pun termasuk jam kerja yang tidak manusiawi, dan sebagian besar belum mendapatkan gaji, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (18/6/2020). 

Saksikan Video Berikut Ini:

Kerumitan di Sektor Kelautan

Infografis Dugaan Perbudakan ABK WNI di Kapal Long Xing. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Dugaan Perbudakan ABK WNI di Kapal Long Xing. (Liputan6.com/Abdillah)

Baru-baru ini, juga muncul laporan mengenai dua ABK Indonesia yang melompat ketika kapal Lu Qian Yuan Yu 901, tempat mereka bekerja melintas di sekitar Selat Malaka.

Hal tersebut mereka lakukan karena tidak tahan dengan perlakuan yang dialami selama bekerja di kapal itu, yang mencakup kekerasan dan gaji yang tidak dibayar.

Hingga akhirnya, kedua ABK tersebut berhasil ditemukan dan diselamatkan oleh nelayan Indonesia.

Banyaknya kerumitan pada proses birokrasi dalam penempatan kerja di sektor kelautan, kata Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, dan menyebabkan banyak agensi atau penyalur yang mengirim para ABK tidak melalui prosedur atau tanpa kelengkapan dokumen.

Selama ini, prosedur dalam mendapatkan izin tidak hanya melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), tetapi juga harus melalui Kementerian Perhubungan. Hal ini terkait dengan penerbitan buku pelaut.

Selain itu, Wahyu juga mengatakan bahwa penyebab lainnya adalah dikarenakan ketidaksiapan pemerintah dalam menyiapkan sumber daya manusia di sektor kemaritiman.

Wahyu menyampaikan, "Problemnya selain birokrasi tadi juga penerbitan dokumen-dokumen yang asli tapi palsu. Ini sebenarnya modus dalam penempatan pekerja migran yang lain. Ini juga penanda bahwa human trafficking juga terjadi di dalam proses penempatan ABK ini."

Kendati demikian, Wahyu menjelaskan bahwa pemerintah harus segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) tentang perlindungan pekerja migran di sektor kelautan sebagai amanat dari Undang-undang No.18 Tahun 2017. 

Menurut Wahyu, dengan peraturan tersebut, diharapkan dapat menyederhanakan proses pengurusan, memperkuat sistem perlindungan pada pekerja migran serta mempersiapkan sumber daya manusia di sektor kelautan.

 

Permintaan Pemberhentian Sementara

Ilustrasi kapal kargo (AFP/Olga Maltseva)
Ilustrasi kapal kargo (AFP/Olga Maltseva)

Koordinator National Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohamad Abdi Suhufan meminta pemerintah menghentikan sementara (moratorium) pengiriman ABK terutama ke kapal China, dengan banyaknya kasus yang terjadi pada ABK Indonesia. 

Mohamad menegaskan, "Jangan ada pengiriman dulu misalnya sampai PP-nya keluar. Prosedur dari pemerintah yang harus dibenahi. Ini kan carut marut sekarang. Nah kita minta pemerintah benahi dulu kecarut marutan ini. Kalau sudah dibenahi, sudah ada aturan yang pas yang betul-betul melindungi awak kapal perikanan kita baru boleh dibuka lagi."

Kebijakan moratorium ini, dinyatakan oleh Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, perlu dibahas antar kementerian/lembaga.

Selain dengan kebijakan moratorium tersebut, menurutnya, perlu juga dilakukan perbaikan terkait tata kelola penempatan, sehingga perlindungan ABK sudah mulai dilakukan sejak di hulu hingga ke hilir. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya