UU Penjaga Pantai China Dianggap Berbahaya, AS hingga Indonesia Rapatkan Barisan

Sejumlah negara termasuk Indonesia, menyayangkan UU Pantai China lantaran dianggap dapat meningkatkan tensi.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 23 Feb 2021, 10:33 WIB
Diterbitkan 23 Feb 2021, 10:33 WIB
(ilustrasi) Kapal perang di Laut China Selatan (Intelligence Specialist 1st Class John J Torres)
(ilustrasi) Kapal perang di Laut China Selatan (Intelligence Specialist 1st Class John J Torres)

Liputan6.com, Jakarta - Amerika Serikat prihatin dengan Undang-Undang Penjaga Pantai China (Coast Guard Law) yang baru-baru ini diberlakukan. Undang-undang itu dapat meningkatkan sengketa maritim dan digunakan untuk menegaskan klaim yang melanggar hukum.

Juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price menyatakan pihak Washington "prihatin dengan bahasa dalam hukum yang secara jelas mengaitkan potensi penggunaan kekuatan, termasuk angkatan bersenjata, oleh penjaga pantai China untuk penegakan klaim China, dan sengketa teritorial dan maritim yang sedang berlangsung di Laut China Timur dan Selatan."

Selain AS, Filipina, Vietnam, Indonesia, Jepang, dan sejumlah negara lain turut mengungkapkan keprihatinan yang sama.

Price mengatakan, Amerika Serikat menegaskan kembali pernyataan yang disampaikan pada Juli lalu, di mana Menteri Luar Negeri saat itu Mike Pompeo menolak klaim China atas sumber daya lepas pantai di sebagian besar Laut China Selatan karena telah "sepenuhnya melanggar hukum."

Dia menambahkan bahwa Amerika Serikat "berdiri teguh" dalam komitmen aliansinya dengan Jepang dan Filipina.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Kekhawatiran AS

Kapal perusak milik AS berlayar ke Laut China Selatan (AFP/US Navy)
Kapal perusak milik AS berlayar ke Laut China Selatan (AFP/US Navy)

China, yang memiliki sengketa kedaulatan maritim dengan Jepang di Laut China Timur dan dengan beberapa negara Asia Tenggara di Laut China Selatan, mengeluarkan undang-undang bulan lalu yang untuk pertama kalinya secara eksplisit mengizinkan penjaga pantainya menembaki kapal asing.

"Kami lebih khawatir bahwa China dapat meminta undang-undang baru ini untuk menegaskan klaim maritimnya yang melanggar hukum di Laut China Selatan, yang sepenuhnya ditolak oleh putusan pengadilan arbitrase tahun 2016," tambah Ned, merujuk pada keputusan internasional yang mendukung Filipina berselisih dengan China.

Terkait hal tersebut, Amerika Serikat menegaskan kembali pernyataannya pada 13 Juli 2020 terkait klaim maritim di Laut China Selatan.

Amerika Serikat mengingatkan China tentang kewajibannya berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekuatan, dan untuk menyesuaikan klaim maritimnya dengan Hukum Laut Internasional, sebagaimana tercermin dalam Konvensi Hukum Laut 1982. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya