Liputan6.com, Bamako - Presiden sementara Mali Assimi Goita menjadi sasaran dalam upaya penikaman setelah salat Idul Adha di Grand Mosque, di ibu kota Bamako.
"Penyerang tersebut segera diselidiki oleh pihak keamanan. Investigasi sedang berlangsung," kata kepresidenan dalam sebuah posting Twitter, Selasa (20/7/2021).
Baca Juga
Pemimpin sementara Mali itu dibawa pergi, menurut seorang wartawan kantor berita AFP, yang juga mengatakan dia melihat darah di tempat kejadian, meskipun tidak jelas siapa yang terluka, demikian dikutip dari laman Al Jazeera, Rabu (21/7/2021).
Advertisement
Kemudian, Assimi Goita mengumumkan bahwa dia baik-baik saja setelah serangan itu.
"Itu bagian dari menjadi seorang pemimpin, selalu ada ketidakpuasan," katanya dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di saluran televisi pemerintah ORTM.
"Ada orang yang sewaktu-waktu mungkin ingin mencoba hal-hal yang menyebabkan ketidakstabilan."
Serangan itu terjadi ketika seorang imam mengarahkan jamaah di luar masjid untuk ritual pengorbanan hewan.
Menteri Agama Mamadou Kone mengatakan kepada AFP bahwa seorang pria telah "mencoba membunuh presiden dengan pisau".
Al Jazeera yang melaporkan dari Abuja, Nigeria, mengatakan bahwa penyerang "berpura-pura sebagai seorang pengantar" ke masjid.
"Ketika Goita lewat, dia [penyerang] menerjang sang presiden. Laporan lain mengatakan, dia ditikam di lengan, tetapi ini belum dikonfirmasi," kata Idris.
Goita (38) dilantik bulan lalu meskipun menghadapi reaksi diplomatik atas perebutan kekuasaan keduanya di Mali dalam sembilan bulan.
Â
Ketidakstabilan Politik di Mali
Mali telah mengalami pergejolakan politik sejak 2012 ketika tentara pemberontak menggulingkan presiden yang telah memimpin selama satu dekade.
Kekosongan kekuasaan menyebabkan pemberontakan yang menguasai kota-kota utara negara itu, termasuk Timbuktu dan Gao.
Sebuah perjanjian damai ditandatangani pada tahun 2015 oleh tiga pihak -- pemerintah, koalisi kelompok yang mencari otonomi di Mali utara dan milisi pro-pemerintah.
Namun, para militan dengan cepat berkumpul kembali di daerah gurun dan mulai sering melancarkan serangan terhadap tentara Mali dan sekutunya.
Para ekstremis, yang berafiliasi dengan al-Qaeda dan ISIL (ISIS), telah pindah dari utara yang gersang ke Mali tengah yang lebih padat sejak 2015 di mana kehadiran mereka telah memicu permusuhan dan kekerasan antar kelompok etnis.
Advertisement