Tuntut Keadilan, Keluarga Ledakan Beirut Gelar Pemakaman Simbolis

Proses hukum terkait ledakan Beirut masih lambat, padahal kejadian itu sudah setahun lalu.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 09 Agu 2021, 17:31 WIB
Diterbitkan 09 Agu 2021, 17:31 WIB
FOTO: Peringati Ledakan, Warga Terbangkan Balon di Pelabuhan Beirut
Sejumlah balon diterbangkan dalam upacara untuk memperingati peristiwa ledakan pelabuhan 4 Agustus di Beirut, Lebanon, 4 Oktober 2020. Dua ledakan yang mengguncang Pelabuhan Beirut menghancurkan sebagian kota dan menewaskan sekitar 190 orang serta melukai 6.000 lainnya. (Xinhua/Bilal Jawich)

Liputan6.com, Beirut - Pada Minggu (9/8), pengunjuk rasa di Lebanon menggelar pemakaman simbolis karena menuntut keadilan atas peristiwa ledakan Beirut pada Agustus 2020. Hingga kini, proses hukum belum menemukan titik terang.

Dilaporkan Arab News, Senin (8/9/2021), keluarga korban bersama para simpatisan membawa peti mati palsu untuk aksi mereka. Beberapa mengenakan pakaian hitam, membawa obor, dan diiringi marching band.

"Peti mati-peti mati ini adalah simbol untuk mengingatkan masyarakat bahwa kita membawa peti mati dari martir kita," ujar Ibrahim Hteit, juru bicara asosiasi keluarga korban.

Ibrahim berkata pihak keluarga pantas mendapatkan kebenaran serta keadilan atas peristiwa ledakan Agustus 2021.

Mereka juga membawa foto orang-orang tercinta yang menjadi korban ledakan.

Mereka mendatangan gudang tempat terjadinya ledakan dahsyat di Beirut 4 Agustus 2021. Ledakan itu akibat amonium nitrat yand disimpan selama bertahun-tahun.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Mencari Keadilan

Penampakan Kapal Besar yang Hancur Akibat Ledakan di Beirut
Sebuah kapal besar yang terbakar setelah ledakan besar di pelabuhan Kota Beirut, Lebanon (5/8/2020). Kapal besar tersebut terangkat ke daratan setelah dua ledakan besar menghantam Beirut pada Selasa (4/8/2020) lalu. (AFP Photo)

Ledakan di Beirut menewaskan lebih dari 200 orang, sementara 6.500 orang lainnya terluka.

Proses hukum berjalan lambat. Beberapa mantan menteri dituding bertanggung jawab, meski belum ada kasus yang dibawa ke pengadilan. Petugas pelabuhan ada yang sempat ditahan, namun sudah dibebaskan.

Salah satu pengunjuk rasa menuding ada imunitas sehingga proses peradilan lamban.

"Kejahatan berlanjut, cabut imunitas!" demikian bunyi salah satu tanda yang dibawa pengunjuk rasa.

Seorang psikolog bernama Helene Ata yang kehilangan saudara kembarnya merasa pejabat menghindari keadilan. Ia mengaku masih merasa sakit akibat peristiwa yang terjadi.

"Rasa sakitnya semakin parah tiap harinya di bawah bayangan ketidakadilan di sekitar perkara ini, para pejabat yang tak bertindak, penghindaran pada keadilan," ucap dia.

"Setahun kemudian, ini seakan-akan tak ada yang terjadi," ujar Helene.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya