, Jakarta - Pandemi COVID-19 tak ayal membuat sejumlah negara mengalami resesi ekonomi selama 2020. Kondisi tersebut telah menempatkan sekitar 60% negara berpenghasilan rendah di bawah ancaman krisis utang, demikian kesimpulan Prospek Ekonomi Global yang dirilis Bank Dunia, Selasa, 11 Januari 2022.
"Bahaya munculnya gelombang wanprestasi yang berantakan semakin membesar," kata Presiden Bank Dunia, David Malpass, yang juga mewanti-wanti risiko serupa juga dihadapi sejumlah negara berkembang seperti dikutip dari DW Indonesia, Kamis (13/1/2022).
Baca Juga
Peringatan tersebut diarahkan terhadap negara-negara pemberi utang terbesar di kelompok G20 atau Paris Club. "Kebijakan moneter yang diperketat di negara ekonomi maju akan menghasilkan efek berantai," imbuhnya lagi.
Advertisement
Bank Dunia saat ini sedang melobi kreditur-kreditur besar untuk setidaknya mengabulkan perpanjangan maturitas utang dan pengurangan nilai bunga bagi negara-negara miskin. Namun upaya tersebut belum membuahkan hasil.
"Pemutihan utang besar-besaran sangat diperlukan oleh negara-negara miskin. Jika kita menunggu terlalu lama, maka semuanya akan terlambat,” kata Malpass.
Dia juga mendesak diakhirinya praktik kerahasiaan seperti yang dijalankan China dan kreditur lain. Hal ini mempersulit lembaga keuangan internasional untuk melacak kerangka kredit yang berisiko tinggi, atau memantau tata kelola utang yang buruk sejak dini.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Manajemen Utang dan Transparansi
Menurut Bank Dunia, prosedur restruktrisasi utang dalam kerangka kerja yang disepakati G20 dan Paris Club masih terlalu lamban. Malpass mencontohkan Chad yang pertamakali meminta keringanan kredit melalui jalur tersebut sudah sejak setahun silam, namun belum juga dikabulkan.
Malpass mengatakan dia merasa optimis oleh kemajuan yang dibuat Indonesia sebagai Presiden G20. Sejak mengambilalih kepemimpinan pada Desember silam, Indonesia antara lain mencanangkan perbaikan manajemen dan transparansi utang sebagai agenda utama.
China juga mengisyaratkan mendukung langkah Bank Dunia tersebut, terlebih mengingat potensi besar negara-negara seperti Chad, Zambia dan Sri Lanka sebagai tujuan investasi, jika struktur utang mereka bisa diluruskan.
Tingkat utang yang tinggi tidak hanya membelit kas negara, tetapi juga sektor swasta. Situasi tersebut membatasi kemampuan finansial sebuah institusi untuk bereaksi terhadap fluktuasi ekonomi pascapandemi.
Dalam hal ini, China dinilai menghadapi risiko besar, terutama pada sektor properti. Sebabnya Bank Dunia mengimbau China untuk secara perlahan mengizinkan pengurangan utang perusahaan swasta demi stabilitas ekonomi.
"Pengurangan utang secara kacau dan tidak terstruktur, akan memicu kelesuan panjang di sektor properti, dengan dampak signifikan yang melebar, dengan jatuhnya harga properti, berkurangnya kekayaan rumah tangga dan pemasukan pajak bagi pemerintah,” tulis laporan tersebut.
G20 sepakat untuk membekukan utang negara miskin selama pandemi dalam KTT di Riyadh, tahun 2020 silam. Penundaan pembayaran cicilan itu berakhir pada Desember 2021 dan belum akan diperpanjang.
Advertisement