, Singapura - Pada Minggu 24 Juli 2022 lembaga penyidik pelanggaran HAM asal Afrika Selatan, Truth and Justice Project, mengumumkan sudah mengadukan bekas Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa kepada Kejaksaan Agung Singapura atas dugaan kejahatan kemanusiaan.
Pelarian Gotabaya Rajapaksa di Singapura pun terancam berakhir singkat.
Baca Juga
Organisasi nirlaba itu membeberkan bukti keterlibatan Gotabaya dalam sejumlah pelanggaran HAM berat selama perang saudara antara minoritas Tamil dan pemerintah yang didominasi etnis Sinhala di Sri Lanka, 1983-2009.
Advertisement
Atas dasar itu, seperti dikutip dari DW Indonesia, Selasa (26/7/2022), Gotabaya diminta untuk diekstradisi guna menjalani persidangan di Sri Lanka.
Gotabaya Rajapaksa dikabarkan melarikan diri ke Singapura pertengahan Juli silam setelah dijatuhkan oleh demonstrasi massal. Aksi protes selama dua bulan akibat kebangkrutan ekonomi memuncak pada serangan demonstran terhadap kediaman presiden. Akibatnya Gotabaya mengungsi ke Maladewa, sebelum dikabarkan meminta suaka di Singapura.
Kepergiannya sekaligus menandakan surutnya pengaruh dinasti Rajapaksa yang mendominasi politik Sri Lanka sejak tiga dekade terakhir.
"Kebangkrutan ekonomi mengakibatkan kolapsnya pemerintah. Tapi krisis di Sri Lanka berakar pada impunitas struktural terhadap kejahatan kemanusiaan serius yang dilakukan tiga dekade lalu,” kata Direktur Eksekutif ITJP, Yasmin Sooka.
Rajapaksa mengajukan pengunduran dirinya dari Singapura, sehari setelah melarikan diri pada 13 Juli, ketika pengunjuk rasa anti-pemerintah menyerbu kantor dan kediaman resmi presiden dan perdana menteri.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dugaan Kejahatan Perang dalam Dokumen 63 Halaman
Truth and Justice Project mengaku mengirimkan dokumen "setebal 63 halaman berisikan bukti bagaimana Gotabaya telah melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa selama perang saudara pada 2009, ketika dia menjabat menteri pertahanan.”
Menurut organisasi itu, dugaan kejahatan perang oleh bekas perwira militer itu "mewajibkan presekusi domestik di Singapura di bawah yurisdiksi universal.”
Gotabaya memasuki arena politik ketika Mahinda menjadi presiden pada 2005. Dia diberikan jabatan menteri pertahanan untuk menuntaskan pemberontakan Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE), di timur dan utara Sri Lanka.
Setelah 26 tahun bertempur, Tamil Eelam akhirnya bubar pada 2009 menyusul operasi militer besar-besaran oleh pemerintah. Sebuah panel PBB melaporkan setidaknya 40.000 warga sipil Tamil tewas selama bulan-bulan terakhir perang saudara.
Bagi mayoritas Sinhala, Gotabaya dianggap sebagai pahlawan perang. Namun pegiat HAM menuduhnya menggunakan taktik brutal, yakni pembunuhan berencana, penyiksaan dan penghilangan paksa terhadap warga sipil.
"Aduan terhadap Gotabaya mengakui kejahatan Gotabaya bukan cuma korupsi dan malpraktik ekonomi, tetapi juga pertanggungjawaban terhadap tindak kriminal massal terhadap kemanusiaan,” tulis Truth and Justice Project.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Perang Saudara Sri Lanka Memakan Korban hingga 100 Ribu Jiwa
Secara keseluruhan, perang saudara di Sri Lanka menelan setidaknya 100.000 korban jiwa, menurut sebuah estimasi konservatif. PBB meyakini angka kematian sebenarnya jauh lebih tinggi.
Ketika mencalonkan diri sebagai presiden 2019 lalu, Gotabaya mengritik pemerintah lama Sri Lanka karena dianggap "mempreteli" jejaring intelijen yang dia bangun selama perang saudara.
"Mereka hanya bicara soal rekonsiliasi etnis, lalu mereka bicara soal isu HAM," katanya kepada Reuters usai mengumumkan pencalonan, tidak lama setelah bom paskah 2019 yang menewaskan 250 orang. "Mereka tidak memprioritaskan keamanan nasional."
Gotabaya Rajapaksa Belum Dapat Dihubungi
Sejauh ini Gotabaya Rajapaksa tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar melalui Komisi Tinggi Sri Lanka di Singapura. Dia sebelumnya dengan keras membantah tuduhan bahwa dia bertanggung jawab atas pelanggaran hak selama perang.
Seorang juru bicara jaksa agung Singapura tidak menanggapi permintaan komentar. Kementerian luar negeri negara itu mengatakan Rajapaksa memasuki negara-kota Asia Tenggara itu dalam kunjungan pribadi dan tidak mencari atau diberikan suaka.
Shubhankar Dam, seorang profesor di Fakultas Hukum Universitas Portsmouth di Inggris yang pernah mengajar di Singapura, mengatakan meskipun pengadilannya dapat mengadili dugaan kejahatan perang, genosida, dan penyiksaan, ia telah berulang kali menyatakan bahwa yurisdiksi semacam itu hanya boleh digunakan sebagai pilihan terakhir.
“Sementara netralitas tidak secara resmi diabadikan dalam kebijakan luar negeri Singapura, hal itu telah lama memupuk bentuk keseimbangan,” kata Dam.
“Setiap keputusan untuk menuntut mantan kepala negara asing harus seimbang dengan tujuan kebijakan luar negerinya.”Keseruan Kelua
Advertisement