PBB Sebut Kasus Perbudakan Modern Masih Marak di Dunia

PBB menyebutkan bahwa kasus perbudakan modern masih merajalela.

diperbarui 19 Agu 2022, 16:21 WIB
Diterbitkan 19 Agu 2022, 16:00 WIB
Potret Kehidupan Keturunan Budak Penduduk Desa Kalunga Quilombo di Brasil
Anak-anak bermain di depan rumah adat Kalunga quilombo, keturunan budak yang melarikan diri, di kawasan pedesaan Cavalcante di negara bagian Goias, Brasil, Senin (15/8/2022). (AP Photo/Eraldo Peres)

DW - Pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Tomoya Obokata, mengatakan perbudakan tradisional, terutama terhadap etnis minoritas, masih didapati di Maurtania, Mali, dan Niger. 

Dalam laporannya kepada Sidang Umum PBB, Kamis (18/08), dia mengatakan perbudakan anak bisa ditemui dalam bentuk paling keji. "Di Asia dan Pasifik, Timur Tengah, Amerika, dan Eropa, antara empat sampai enam persen anak-anak dipaksa bekerja dan presentasenya lebih tinggi di Afrika (21,6 persen) dan angka tertinggi di Afrika sub-Sahara (23,9 persen),” kata Tomoya.

Dilansir DW Indonesia, Jumat (19/8/2022), menurutnya, etnis minoritas termasuk kelompok paling rentan terhadap perbudakan paksa. Fenomena ini terutama marak di Amerika Latin, terlebih di pedalaman Brasil dan hutan Amazon. 

Di sana, "perbudakan berkaitan dengan aktivitas ekonomi yang menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk perambahan hutan dan penambangan ilegal,” dengan mayoritas korban berwarna kulit hitam dan berpendidikan rendah.

Sebaliknya di China, pihaknya menemukan banyaknya buruh etnis Uighur, Kazakh, dan minoritas lain yang "dipaksa bekerja di sektor pertanian atau manufaktur." Beijing juga dituduh menggalakkan transfer buruh yang melatih petani dan peternak di Tibet menjadi buruh rendahan.

Kebijakan tersebut, kata dia, berhasil menciptakan lapangan kerja. Namun, ia melibatkan praktik perbudakan, di mana buruh dipaksa bekerja dalam pengawasan ketat, kondisi yang buruk dan di bawah ancaman kekerasan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pernikahan Paksa dan Kekerasan Seksual

Potret Kehidupan Keturunan Budak Penduduk Desa Kalunga Quilombo di Brasil
Seorang gadis tersenyum di samping jendela rumahnya di Kalunga quilombo, di daerah pedesaan Cavalcante di negara bagian Goias, Brasil, Senin (15/8/2022). Nenek moyang penduduk desa Kalunga quilombo menetap di sana sebagai budak yang melarikan diri lebih dari 200 tahun yang lalu. (AP Photo/Eraldo Peres)

Laporan tersebut juga mengutip dua jenis perbudakan modern lain, yakni pernikahan paksa dan perbudakan seksual.

Peningkatan jumlah kasus pernikahan paksa tercatat paling tajam pada minoritas Roma di tenggara Eropa. Di kawasan Balkan, separuh perempuan Roma yang berusia antara 20-24 tahun, dinikahkan sebelum menginjak usia 18. Adapun rata-rata nasional berkisar hanya 10 persen, imbuhnya.

Adapun di Inggris, fenomena pernikahan anak terutama marak di komunitas migran asal Pakistan, dan sebagain kecil pada komunitas Afganistan, Bangladesh, India, dan Somalia.

Di Tanduk Afrika, Boko Haram dilaporkan giat memaksa gadis dan perempuan Kristen untuk memeluk Islam untuk dinikahkan. Pada sebagia etnis minoritas di Nigeria, praktik pernikahan anak bahkan mencapai 74,9 persen pada etnis Kambari dan 73,8 persen pada etnis Fulfude.

Pernikahan paksa juga terjadi di Kongo, Kamboja, India, Kazakhstan, Sri Lanka, dan Vietnam. Sementara di Amerika Selatan, praktik tersebut tercatat lazim di Bolivia, Kolombia, Honduras, dan Panama. 


Krisis Kemanusiaan

Potret Kehidupan Keturunan Budak Penduduk Desa Kalunga Quilombo di Brasil
Seorang penduduk mengambil foto saudaranya dari ponselnya di Kalunga quilombo, di daerah pedesaan Cavalcante di negara bagian Goias, Brasil, Senin (15/8/2022). Nenek moyang penduduk desa Kalunga quilombo menetap di sana sebagai budak yang melarikan diri lebih dari 200 tahun yang lalu. (AP Photo/Eraldo Peres)

Krisis kemanusiaan dan konflik di sejumlah tempat turut mendorong lonjakan kasus perbudakan seksual, kata Tomoya. Pada 2014, sebanyak 6.500 perempuan etnis Yazidi disandera kelompok teror Islamic State sebagai budak seks. Sebanyak 2.800 korban masih dinyatakan hilang hingga kini.

Di Etiopia, perempuan suku minoritas Tigray, Amhara, dan Afar, sering menjadi korban pemerkosaan, mutilasi seksual dan berbagai bentuk kekerasan seksual oleh pihak yang bertikai. 


Kasus Terhadap Perempuan

Potret Kehidupan Keturunan Budak Penduduk Desa Kalunga Quilombo di Brasil
Gadis-gadis bersiap-siap di kamar tidur mereka di sebuah rumah tradisional di Kalunga quilombo, di daerah pedesaan Cavalcante di negara bagian Goias, Brasil, Senin (15/8/2022). Nenek moyang penduduk desa Kalunga quilombo menetap di sana sebagai budak yang melarikan diri lebih dari 200 tahun yang lalu. (AP Photo/Eraldo Peres)

Di utara Nigeria, Boko Haram terutama membidik perempuan nonmuslim untuk dijadikan budak seks.

Situasi pelik juga dihadapi perempuan etnis Rohingya di Myanmar. Mereka "menjadi korban kekerasan seksual sistematis oleh angkatan bersenjata, yang bisa dianggap kejahatan perang atau kejahatan kemanusiaan,” imbuhnya.

Infografis Dugaan Perbudakan ABK WNI di Kapal Long Xing. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Dugaan Perbudakan ABK WNI di Kapal Long Xing. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya