Ongkos Bencana 2022 Makin Mahal di AS

Melihat efek bencana terkait iklim dengan keuangan.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Jan 2023, 12:03 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2023, 12:03 WIB
Biden Gelar Rapat Darurat di Sela-Sela G20
Presiden AS Joe Biden berbicara tentang situasi Polandia setelah pertemuan dengan para pemimpin G7 dan Eropa di sela-sela KTT G20 di Nusa Dua, Bali, Rabu (16/11/2022). (Photo by SAUL LOEB / AFP)

Liputan6.com, Washington, DC - Kerugian akibat bencana terkait iklim di Amerika Serikat terhitung mencapai satu miliar dollar per bencana. Alhasil, tahun 2022 menjadi salah satu tahun termahal dalam setidaknya 40 tahun terakhir. 

Dilaporkan VOA Indonesia, Minggu (11/1/2023), sebanyak 18 bencana akibat cuaca dan iklim terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2022 kerugian masing-masing bencana melebihi $1 miliar. Berdasarkan laporan federal, tahun 2022 lantas menjadi tahun termahal ketiga dalam catatan yang mencakup lebih dari 40 tahun.

Jumlah bencana yang terjadi pada tahun lalu juga merupakan yang tertinggi ketiga dalam sejarah, menurut laporan Assessing the U.S. Climate in 2022 oleh National Centers for Environmental Information.

Kedua lembaga mencatat bahwa sepanjang 2022 telah terjadi enam badai hebat, tiga siklon tropis, tiga peristiwa hujan es, dua tornado, dan masing-masing satu bencana kekeringan, banjir, badai musim dingin, dan kebakaran hutan. Total kematian yang diakibatkan oleh bencana tersebut mencapai 474 orang.

Badai Ian, yang melanda Florida pada September, disebut sebagai badai termahal ketiga dalam 43 tahun, menelan biaya sebesar $112,9 miliar. Sedangkan kekeringan dan gelombang panas yang terjadi di bagian barat-tengah Amerika juga merupakan salah satu kekeringan yang mencatat kerugian lebih mahal yang mencapai $22,2 miliar.

Di seluruh dunia, tiga dari bencana termahal dekade ini, termasuk Badai Ian, terjadi pada 2022.

Pada konferensi iklim PBB di Mesir, COP27, negara-negara mencapai kesepakatan penting tentang dana kerugian dan kerusakan. Dana itu akan membantu negara-negara miskin mengatasi bencana terkait iklim, tetapi belum ada rincian lebih lanjut tentang jumlah dana tersebut.

Jadi Presiden G20 pada 2023, India Bakal Fokus soal Isu Perubahan Iklim

Kabut Asap Ganggu Transportasi di India Utara
Seorang warga berjalan pada pagi hari di tengah kabut asap, New Delhi, India, Selasa (20/12/2022). India Utara mengalami kabut pertama musim ini dan diperkirakan akan berlangsung selama lima hari ke depan yang mengganggu transportasi kereta api, jalan raya, dan udara. (AP Photo/Manish Swarup)

Sebelumnya dilaporkan, Kepresidenan India di G20 akan mencanangkan agenda iklim yang tergolong ambisius, klaim pakar. Melaluinya, pemerintah di New Delhi ingin menjembatani kepentingan negara industri dan berkembang, serta membuktikan keseriusan India dalam menanggulangi dampak krisis iklim.

Dilansir DW Indonesia, Minggu (4/12/2022), G20 beranggotakan negara dengan ekonomi terbesar di dunia. India mengambilalih jabatan kepresidenan dari Indonesia yang rampung pada akhir 2022.

Pemerintah India "akan menitikberatkan fokus pada bagaimana merespons tantangan masa depan oleh krisis iklim," kata Samir Saran, Direktur Yayasan Observer Research (ORF), lembaga wadah pemikir di New Delhi. Menurut dia, pemerintah ingin memastikan terjaminnya aliran dana bantuan dari negara kaya ke negara berkembang untuk memitigasi atau membiayai dampak bencana iklim.

Dia juga menambahkan pemerintah berniat mendorong program "Mission Life" yang mengkampanyekan gaya hidup berkelanjutan di dalam negeri. Proyek ini dicanangkan Perdana Menteri Narendra Modi, usai secara simbolik menerima status kepresidenan dari Indonesia di Bali, November silam.

Dia meyakini, kebijakan tersebut mampu menyumbangkan  "kontribusi besar" untuk mempopulerkan gaya hidup berkelanjutan menjadi "sebuah gerakan massal."

Keseriusan India soal Isu Iklim

Asap Polusi Abu-Abu di Level Berbahaya Selimuti Langit Ibu Kota India
Pejalan kaki berjalan di sepanjang jalan dekat Gerbang India (tidak terlihat) di tengah kabut asap tebal di New Delhi, Kamis (3/11/2022). Tingkat partikel paling berbahaya yaitu PM2.5 adalah 588 per meter kubik pada Kamis pagi, menurut pemantauan IQAir. Partikel PM2.5 sangat kecil sehingga dapat memasuki aliran darah. (Money SHARMA / AFP)

Belakangan pemerintah di New Delhi giat menunjukkan keseriusannya menanggulangi krisis iklim.

Belum lama ini, India mengumumkan target domestik yang lebih ambisius ketimbang komitmen yang dibuat pada KTT Iklim Paris 2015. Namun begitu, analis menilai ambisi iklim oleh banyak negara tidak selaras dengan sasaran pengurangan kenaikan temperatur, termasuk juga di India.

Karena ketika sejumlah industri besar India sudah siap berpindah ke energi terbarukan, pemerintah justru berniat menginvestasikan dana senilai USD 33 miliar untuk membangun pembangkit batu bara dalam empat tahun ke depan.

Belakangan pemerintah di New Delhi giat menunjukkan keseriusannya menanggulangi krisis iklim.

Belum lama ini, India mengumumkan target domestik yang lebih ambisius ketimbang komitmen yang dibuat pada KTT Iklim Paris 2015. Namun begitu, analis menilai ambisi iklim oleh banyak negara tidak selaras dengan sasaran pengurangan kenaikan temperatur, termasuk juga di India.

Karena ketika sejumlah industri besar India sudah siap berpindah ke energi terbarukan, pemerintah justru berniat menginvestasikan dana senilai USD 33 miliar untuk membangun pembangkit batu bara dalam empat tahun ke depan.

Menuju Energi Bersih

Kabut Asap Ganggu Transportasi di India Utara
Orang-orang berolahraga di taman saat kabut asap pagi di New Delhi, India, Selasa (20/12/2022). India Utara mengalami kabut pertama musim ini dan diperkirakan akan berlangsung selama lima hari ke depan yang mengganggu transportasi kereta api, jalan raya, dan udara. (AP Photo/Manish Swarup)

Bersama India, G20 diharapkan mau menindaklanjuti inisatif yang diusulkan Perdana Menteri Barbados, Mia Mottley, untuk menitipkan proses pencairan dana iklim kepada bank-bank dan institut keuangan internasional.

Gagasan yang ikut didukung Presiden Prancis, Emmanuel Macron, tersebut antara lain menitikberatkan padam pembiayaan transisi energi atau dekarbonisasi ekonomi.

"Sumber emisi terbesar di masa depan akan datang dari negara-negara berkembang," kata Direktur ORF, Samir Saran. "Jika kita bisa memudahkan proses transisi menuju energi bersih bagi mereka, maka produksi emisi gas rumah kaca bisa banyak dikurangi."

Infografis Olahraga Benteng Kedua Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Olahraga Benteng Kedua Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya