Liputan6.com, Damaskus - Tiga hari sejak gempa Turki dan Suriah pada Senin (6/2/2023), tidak ada bantuan yang tiba di perbatasan Bab al-Hawa dari Turki ke daerah yang dikuasai pemberontak di Suriah utara. Yang ada hanya 300 jenazah.
"Bagaimana mungkin jalan oke bagi mobil yang mengangkut jenazah, tapi tidak oke untuk membawa bantuan?," tanya juru bicara di Bab al-Hawa Mazen Alloush seperti dikutip dari CNN, Kamis (9/2).
Sebelumnya, segera setelah gempa, PBB mengklaim bahwa jalan menuju penyeberangan diblokir, tetapi pada Rabu (8/2), jalan sudah bersih kembali. Hal ini menimbulkan tanya, mengapa butuh waktu lama agar bantuan tiba?
Advertisement
Situasi di Suriah sangat berbeda dengan Turki, di mana 70 negara dan 14 organisasi internasional dengan segera menawarkan tim penyelamat, donasi, dan bantuan. Di lain sisi, pengiriman pasokan mendesak ke daerah-daerah yang dilanda gempa di Suriah utara diperumit oleh perang saudara yang sudah berlangsung lama antara pasukan oposisi dan pemerintah.
Menteri Luar Negeri Suriah Faisal Mekdad mengatakan, bantuan apapun yang diterima harus melalui ibu kota Damaskus.
"Suriah siap mengizinkan bantuan masuk ke semua wilayah, asalkan tidak jatuh ke tangan kelompok teroris bersenjata," ujar Mekdad.
Hal tersebut membuat daerah yang dikuasai pemberontak bergantung pada kelompok bantuan, termasuk PBB, yang berharap mulai mentransfer bantuan ke Suriah utara pada Kamis. Alloush telah diberitahu untuk menunggu enam truk bantuan pada tengah hari, yang membawa kebutuhan sanitasi dan mungkin makanan.
Jutaan orang yang tinggal di wilayah yang dikuasai pemberontak di Suriah utara sudah menderita akibat kemiskinan ekstrem dan wabah kolera jauh sebelum gempa Turki melanda.
Abu Muhammad Sakhour, mantan pedagang, kini menjadi sukarelawan di Kota Idlib yang dikuasai pemberontak. Dia membalut luka para korban gempa dan memeriksa korban luka yang telah keluar dari rumah sakit yang padat.
"Situasinya adalah bencana besar dalam segala hal," ungkap Sakhour. "Kami sekarang menyembuhkan luka kami sendiri."
Penyeberangan Tunggal ke Suriah
Di persimpangan perbatasan Bab al-Hawa, sejumlah pengunjuk rasa memegang tanda yang menanyakan mengapa hanya jenazah yang diizinkan lewat. Tiga ratus jenazah itu milik pengungsi Suriah yang mencari keselamatan di Turki dan sekarang dikirim kembali untuk dimakamkan di tanah air mereka.
Direktur Oxfam untuk Suriah Moutaz Adham mengatakan, penduduk Suriah berjuang untuk menemukan makanan – bahkan roti pun sulit didapat karena begitu banyak toko roti yang runtuh akibat gempa.
"Orang Suriah tidak tahu dari mana datangnya makanan mereka berikutnya. Ketika kita mengatakan makan, ini bukan tentang sayuran, bukan tentang daging… ini sesederhana tentang roti," ujarnya.
Penderitaan warga Suriah juga diungkapkan oleh Direktur Mercy Corps untuk Suriah Kieran Barnes.
"Tidak ada investasi di wilayah yang terisolasi selama lebih dari satu dekade. Puluhan ribu orang tinggal di tempat penampungan sementara tanpa akses air. Kami bekerja di 98 kamp untuk menyediakan air karena tidak ada jaringan air. Kami menyalurkan air langsung ke masyarakat," ungkap Barnes.
Juru bicara Doctors without Borders Sherwan Qasem menuturkan bahwa akses telah dibatasi oleh mekanisme lintas batas, yang disetujui melalui resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB pada tahun 2014 untuk memungkinkan bantuan melintasi empat tempat di perbatasan Turki-Suriah.
Namun, sejak 2021, Rusia dan China menggunakan hak veto mereka untuk mengurangi jumlah penyeberangan dari empat menjadi hanya satu: Bab al-Hawa.
Pada Januari, kurang dari satu bulan sebelum gempa, DK PBB dengan suara bulat memilih untuk tetap membuka penyeberangan, sebuah pemungutan suara yang dengan enggan didukung oleh China dan Rusia - sekutu pemerintah Suriah. Duta besar China dan Rusia beralasan, hal itu memungkinkan bantuan mengalir ke daerah kantong Suriah yang dibanjiri oleh kelompok teroris bersenjata.
Tapi Barnes menekankan, sangat penting agar penyeberangan tetap terbuka.
"Kami tidak butuh politik. Kami tidak peduli dengan permainan yang sedang berlangsung. Yang kami butuhkan adalah agar komunitas internasional fokus pada perbatasan yang tetap terbuka," tegas Barnes. "Karena sekarang kita sudah melewati fase pertama pencarian orang dan kita sedang menuju fase kemanusiaan. Kita perlu memberi orang-orang kebutuhan dasar, yaitu tempat tinggal, makanan, dan air."
Advertisement
Bantuan Hanya Menjangkau Daerah yang Dikuasai Pemerintah
Di luar wilayah yang dikuasai pemberontak, bantuan asing mengalir. Sejauh ini, sejumlah negara, termasuk Uni Emirat Arab, Irak, dan Rusia, telah mengirimkan bantuan via bandara yang dikontrol rezim Bashar Al-Assad. Negara-negara lain, termasuk China, Arab Saudi, Qatar, dan Kanada, juga mengambil langkah serupa.
Tetapi pemerintah Suriah mengatakan perlu lebih banyak lagi bantuan. Selain itu, mereka juga menyerukan agar sanksi terhadap negara itu dicabut.
Sejumlah negara Barat sebelumnya telah memberlakukan larangan perdagangan dengan Suriah, termasuk senjata, peralatan, petrokimia, dan barang mewah.
China, sekutu utama Suriah, menggemakan permintaan Damaskus untuk mencabut sanksi, mendesak Washington untuk mengesampingkan obsesi geopolitiknya.
"AS telah lama terlibat dalam krisis Suriah," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning pada Rabu. "Intervensi militer yang sering dan sanksi ekonomi yang keras telah menyebabkan banyak korban sipil di Suriah dan mempersulit orang-orang untuk memperoleh jaminan penghidupan dasar."
Namun, AS enggan mengesampingkan kebijakannya terhadap rezim Assad.
"Akan sangat ironis, bahkan kontraproduktif, bagi kami untuk menjangkau pemerintah yang telah menganiaya rakyatnya selama belasan tahun," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Ned Price, Senin (9/2). "Kami memiliki mitra kemanusiaan di lapangan yang dapat memberikan bantuan setelah gempa yang tragis ini."