Perbaiki Hubungan dengan Jepang, Korea Selatan Umumkan Rencana Pemberian Kompensasi bagi Korban Kerja Paksa Perang Dunia II

Hubungan antara Seoul dan Tokyo telah lama diperumit oleh sejarah pendudukan Jepang di Semenanjung Korea dari tahun 1910 hingga 1945, di mana ratusan ribu orang Korea dimobilisasi sebagai pekerja paksa untuk perusahaan Jepang atau menjadi budak seks.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 06 Mar 2023, 16:52 WIB
Diterbitkan 06 Mar 2023, 16:52 WIB
Ilustrasi bendera Korea Selatan
Ilustrasi Korea Selatan (iStock)

Liputan6.com, Seoul - Korea Selatan mengumumkan rencana pengumpulan dana domestik untuk diberikan kepada warganya yang masih menunggu kompensasi atas kerja paksa selama 35 tahun pendudukan Jepang.

Rencana yang diumumkan pada Senin (6/3/2023) tersebut dinilai mencerminkan tekad Presiden Yoon Suk Yeol untuk memperbaiki hubungan yang rusak dengan Jepang dan memperkuat kerja sama keamanan antara Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat (AS) demi mengatasi ancaman nuklir Korea Utara.

Presiden AS Joe Biden memuji rencana tersebut sebagai babak baru kerja sama dan kemitraan dua sekutu terdekat AS di Asia. Dia berharap dapat meningkatkan hubungan trilateral.

"Presiden Yoon Suk Yeol dan Perdana Menteri Fumio Kishida mengambil langkah kritis untuk membentuk masa depan bagi rakyat Korea dan Jepang yang lebih aman, lebih terjamin, dan lebih sejahtera," ungkap Biden seperti dilansir AP, Senin.

Namun, rencana tersebut mendapat reaksi keras dari korban kerja paksa dan pendukung mereka, yang menuntut kompensasi langsung dari perusahaan Jepang dan permintaan maaf baru dari pemerintah Jepang.

Hubungan antara Seoul dan Tokyo telah lama diperumit oleh sejarah pendudukan Jepang di Semenanjung Korea dari tahun 1910 hingga 1945, di mana ratusan ribu orang Korea dimobilisasi sebagai pekerja paksa untuk perusahaan Jepang atau menjadi budak seks di rumah bordil yang dikelola militer Jepang selama Perang Dunia II.

Banyak mantan pekerja paksa sudah meninggal, sementara yang masih hidup berusia 90-an. Di antara 15 korban kerja paksa yang terlibat dalam putusan pengadilan Korea Selatan pada tahun 2018, yang memerintahkan dua perusahaan Jepang Nippon Steel dan Mitsubishi Heavy Industries untuk memberi kompensasi, hanya tiga yang masih hidup.

Kompensasi Diberikan Oleh Yayasan Milik Negara

Patung Perdamaian yang berada di depan Kedutaan Besar Jepang di Seoul, Korea Selatan.
Patung Perdamaian yang berada di depan Kedutaan Besar Jepang di Seoul, Korea Selatan, merupakan lambang korban perbudakan seksual oleh militer Jepang pada Perang Dunia II. Patung Perdamaian didirikan untuk menyerukan permintaan maaf dan pengenangan. (Dok. Pixabay)

Menteri Luar Negeri Korea Selatan Park Jin mengatakan dalam konferensi pers bahwa para korban kerja paksa akan diberi kompensasi melalui yayasan milik negara yang didanai oleh sumbangan warga sipil. Menurutnya, Korea Selatan dan Jepang kini berada pada peluang baru untuk mengatasi konflik dan membangun hubungan yang berorientasi pada masa depan.

"Jika kita bandingkan dengan segelas air, menurut saya gelas itu lebih dari setengahnya telah berisi air. Kami berharap gelas itu akan diisi lebih lanjut berdasarkan tanggapan tulus Jepang," ujar Park.

Park tidak merinci bagaimana yayasan itu akan dibiayai. Tetapi pada Januari, Shim Kyu-sun, ketua Yayasan Korban Mobilisasi Paksa oleh Kekaisaran Jepang, yang akan menangani kompensasi mengatakan bahwa dana tersebut akan berasal dari perusahaan Korea Selatan yang mendapat manfaat dari perjanjian Seoul-Tokyo tahun 1965.

Kesepakatan tahun 1965 disertai dengan bantuan ekonomi dan pinjaman ratusan juta dolar dari Tokyo ke Seoul yang digunakan dalam proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan besar Korea Selatan, termasuk POSCO, yang sekarang menjadi raksasa baja global. POSCO mengatakan pada Senin bahwa pihaknya akan secara aktif mempertimbangkan kontribusi kepada yayasan jika menerima permintaan resmi.

Jepang bersikeras bahwa semua masalah kompensasi masa perang telah diselesaikan berdasarkan perjanjian 1965. Tokyo membalas permintaan kompensasi yang diperintahkan pengadilan Korea Selatan dari perusahaan Jepang dengan menerapkan kontrol ekspor pada bahan kimia yang penting bagi industri semikonduktor Korea Selatan pada tahun 2019.

Korea Selatan, yang saat itu diperintah oleh Moon Jae-in, menuduh Jepang mempersenjatai perdagangan dan kemudian mengancam akan menghentikan perjanjian pembagian intelijen militer dengan Tokyo, simbol utama dari kerja sama keamanan tiga arah dengan Washington.

Perseteruan mereka memperumit upaya AS untuk memperkuat kerja sama dengan dua sekutu utamanya di Asia dalam menghadapi konfrontasi dengan China dan Korea Utara. Kekhawatiran tentang dampak ketegangan telah tumbuh di Korea Selatan dan Jepang, terutama setelah Korea Utara tahun lalu mengadopsi doktrin eskalasi nuklir dan meluncurkan uji coba rudal, beberapa di antaranya berkemampuan nuklir yang menempatkan kedua negara dalam jarak serang.

Selama sesi parlemen pada Senin, PM Fumio Kishida mengatakan, dia mendukung ekspresi penyesalan dan permintaan maaf Jepang sebelumnya atas kesalahan kolonial tetapi dia menggarisbawahi bahwa pemulihan hubungan perdagangan adalah isu terpisah.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Yoshimasa Hayashi mengungkapkan bahwa Jepang "menghargai" pengumuman Korea Selatan sebagai langkah untuk memulihkan hubungan baik, tetapi menurutnya, kompensasi tersebut memang tidak memerlukan kontribusi dari perusahaan Jepang.

Infografis Naruhito Kaisar Baru Jepang
Infografis Naruhito Kaisar Baru Jepang. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya