Liputan6.com, Bangkok - Sudah hampir satu dekade, Thailand dipimpin oleh pemerintahan yang dipengaruhi militer.
Pemilu Thailand pada Minggu (14/5/2023), diprediksi bakal mengakhiri era kepemimpinan tersebut.
Baca Juga
Melansir The Straits Times, pemilihan umum tersebut akan menjadi pertarungan antara partai-partai konservatif petahana yang berusaha mempertahankan status quo dan partai-partai oposisi yang lebih liberal.
Advertisement
Berikut delapan fakta soal Pemilu Thailand yang perlu diketahui:
1. Pemilu Kedua Sejak Kudeta Tahun 2014
PM Thailand Prayut Chan-o-cha membubarkan Parlemen pada 20 Maret lalu, yang membuka jalan bagi pemilihan kedua yang akan diadakan setelah kudeta militer Thailand pada 2014.
Pemilihan pertama setelah kudeta tersebut diselenggarakan pada tahun 2019.
Di tahun ini, lebih dari 6.000 kandidat dari hampir 70 partai politik akan memperebutkan 500 kursi di Majelis Rendah Parlemen.
Ada lebih dari 52 juta pemilih yang memenuhi syarat di 77 provinsi Thailand.
Pihak berwenang memperkirakan rekor jumlah pemilih sekitar 80 persen dari pemilih yang memenuhi syarat.
2. Sistem Dua Surat Suara
Sebanyak 500 kursi di Majelis Rendah Parlemen akan diperebutkan. Mereka terdiri dari 400 kursi daerah pemilihan dan 100 kursi untuk partai.
Setiap pemilih akan mendapatkan dua surat suara di kotak pemilihan, satu untuk memilih kandidat yang mencalonkan diri di daerah pemilihan lokal mereka dan satu lagi untuk memilih partai politik pilihan mereka di tingkat nasional.
Yang artinya, sebanyak 400 kursi daerah pemilihan akan diberikan kepada kandidat dengan suara terbanyak di tiap distrik.
Kemudian, 100 kursi partai akan dibagikan secara proporsional kepada partai politik berdasarkan bagian suara mereka secara nasional.
3. Pertarungan Petahana untuk Kursi PM
Prayuth (69) berharap untuk kembali ke menduduki jabatan tersebut di bawah Ruam Thai Sang Chart, yang dikenal dalam bahasa Inggris sebagai United Thai Nation (UTN) Party.
Wakil Perdana Menteri Prawit Wongsuwan (77 tahun) juga bersaing memperebutkan jabatan perdana menteri sebagai calon dari PPRP.
Namun, jajak pendapat popularitas menunjukkan kedua mantan panglima militer tersebut tidak lebih populer dari calon perdana menteri Partai Pheu Thai, Paetongtarn Shinawatra. Wanita berusia 36 tahun itu adalah putri mantan PM Thaksin Shinawatra.
Partai Pheu Thai juga memberikan perwakilan lainnya, ada Srettha Thavisin dan Chaikasem Nitisiri.
Selain itu, ada sosok politisi muda Pita Limjaroenrat (42), pemimpin Partai Move Forward. Ia termasuk kandidat berhasil dalam survei opini.
Koalisi petahana juga ikut bersaing, ada Anutin Charnvirakul dari Partai Bhumjaithai dan Jurin Laksanawisit dari Partai Democrat.
4. Pheu Thai versus Prayut
Pemilihan ini akan menjadi pertikaian, terutama antara dua partai yaitu dari UTN (Prayut) dan Pheu Thai (cabang partai lama Thaksin yang sudah bubar).
Sejak naik ke puncak kekuasaan setelah melakukan kudeta tahun 2014, Prayut dan badan-badan pro-militer lainnya berusaha membatasi pengaruh Thaksin dan partai politik terkaitnya.
Meskipun Prayut telah berpisah dengan PPRP yang didukung militer, ia tetap mendapat dukungan dari kelompok konservatif.
Thaksin tinggal di pengasingan di Dubai untuk menghindari hukuman penjara atas tuduhan korupsi yang menurutnya bermotivasi politik, ia juga dituduh atas kapitalisme kroni.
Partai-partai terkait Thaksin memenangkan kursi terbanyak dalam setiap pemilihan sejak 2001, tetapi sayangnya pemerintahan mereka digulingkan oleh kudeta militer pada 2006 dan 2014.
Jajak pendapat menempatkan partai tersebut memimpin untuk memenangkan kursi anggota parlemen terbanyak.
Advertisement
5. Janji Kampanye
Isu kebutuhan dasar menonjol dalam janji kampanye, karena inflasi dan utang rumah tangga yang tinggi telah membebani pemulihan ekonomi pasca-pandemi Thailand.
Sebagian besar partai menjanjikan program kesejahteraan, seperti kenaikan upah minimum dan pembayaran pensiun, penangguhan utang, dan jaminan harga barang-barang pertanian.
Pheu Thai membuat janji pemilu menarik yaitu memberikan 10.000 baht melalui dompet digital untuk setiap warga negara berusia 16 tahun ke atas. Kritikus menyebutnya populisme ekstrem.
6. Membentuk Pemerintahan dan Memilih PM
Untuk membentuk pemerintahan, sebuah partai atau sekelompok partai harus memenangkan setidaknya 251 dari 500 kursi Majelis Rendah.
Proses ini bisa memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
Parlemen, yang terdiri dari Majelis Rendah dan Senat yang ditunjuk junta beranggotakan 250 orang, kemudian akan melakukan pemungutan suara bersama untuk memilih PM.
Pemungutan suara ini kemungkinan akan terjadi pada Agustus atau bulan-bulan sebelumnya.
Hanya partai-partai yang telah memenangkan setidaknya 25 kursi yang dapat memasukkan calon mereka untuk perdana menteri dalam pemungutan suara parlemen.
Kandidat PM dengan sedikitnya 376 suara akan memimpin pemerintahan.
Dengan asumsi bahwa seorang kandidat memiliki seluruh Senat di sisinya, dia hanya membutuhkan 126 suara dari anggota parlemen terpilih untuk memenangkan jabatan perdana menteri.
7. Pemilihan Pertama Sejak Protes Pemuda 2020
Semua mata akan tertuju pada bagaimana generasi muda Thailand akan memilih, karena ini akan menjadi pemilihan pertama sejak protes yang dipimpin pemuda tahun 2020 yang menyerukan amandemen konstitusi dan status monarki yang kontroversial.
Gerakan tersebut memicu perubahan signifikan dalam wacana politik Thailand.
Selain itu, juga memunculkan diskusi tentang reformasi undang-undang lese majeste yang ketat yang melindungi institusi kerajaan dari penghinaan.
Namun, kebanyakan partai justru menghindari masalah ini. Hanya Partai Move Forward yang komitmen untuk mendorong amandemen di bidang tersebut.
Proporsi suara terbesar akan jatuh pada mereka yang berusia di bawah 42 tahun.
Sebuah survei baru-baru ini oleh Universitas Rangsit, dengan responden berusia 18 hingga 26 tahun, menunjukkan bahwa kandidat Move Forward, Pita, menduduki pilihan utama pemilih muda untuk perdana menteri berikutnya. Ia mendapat 29,2 persen dukungan responden.
8. Jatah Prayut Hanya Tersisa Dua Tahun
Konstitusi saat ini memberlakukan batas masa jabatan delapan tahun pada setiap individu yang menjabat sebagai perdana menteri.
Oleh karena itu, jika Prayut mendapatkan jabatan PM, ia hanya bisa tetap menjabat selama dua tahun ke depan.
Para penentang berpendapat bahwa masa jabatan Prayut berakhir pada tahun 2022 dan berusaha untuk mencopotnya tahun lalu.
Namun, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penghitungan masa jabatannya baru dimulai pada tahun 2017, ketika Konstitusi saat ini diberlakukan.
Jika Prayut kembali sebagai perdana menteri setelah pemilu mendatang, ia mengatakan bahwa pemimpin partai UTN, Pirapan Salirathavibhaga, akan menggantikan posisinya dalam dua tahun tersisa.
Advertisement