Liputan6.com, Brasilia - Para pemimpin dan menteri dari delapan negara di kawasan Hutan Amazon pada Selasa (8/8/2023) di Belem, Brasil, menandatangani deklarasi yang memuat susunan rencana untuk mendorong pembangunan ekonomi mereka sembari mencegah kematian hutan hujan tropis itu.
Deklarasi itu adalah bagian dari KTT Amazon selama dua hari yang dimulai pada Senin (7/8).
Advertisement
Beberapa kelompok pemerhati lingkungan menggambarkan deklarasi tersebut sebagai kumpulan niat baik dengan sedikit tujuan dan kerangka waktu yang terukur. Namun, organisasi payung kelompok Pribumi Amazon merayakan dimasukkannya dua tuntutan utama mereka.
"Penting bahwa para pemimpin negara-negara di kawasan itu telah mendengarkan sains dan memahami seruan masyarakat; Amazon dalam bahaya dan kita tidak punya banyak waktu untuk bertindak," sebut pernyataan WWF seperti dikutip dari AP, Jumat (11/8/2023). "Namun, WWF menyayangkan delapan negara di kawasan Amazon, sebagai satu front, belum mencapai titik temu untuk mengakhiri deforestasi."
Delapan negara yang dimaksud adalah Brasil, Bolivia, Kolombia, Ekuador, Guyana, Peru, Suriname, dan Venezuela. Mereka tergabung dalam Organisasi Perjanjian Kerja Sama Amazon (ACTO), yang diharapkan akan menggemakan isu lingkungan global dalam konferensi iklim COP28 pada November 2023.
Turut serta dalam KTT Amazon adalah Presiden Brasil Luiz Inacio Lula Da Silva, Presiden Republik Kongo Denis Sassou Nguesso, Presiden Republik Demokratik Kongo Felix Tshisekedi, Perdana Menteri Guyana Mark Phillips, Perdana Menteri Saint Vincent dan Grenadines Ralph Gonsalves, Menteri Luar Negeri Peru Ana Cecilia Gervasi, Menteri Luar Negeri Ekuador Menteri Gustavo Manrique, Menteri Luar Negeri Bolivia Rogelio Mayta, Menteri Luar Negeri Suriname Albert Ramdin, Utusan Khusus Norwegia untuk Iklim dan Hutan Hans Brattskar, Menteri Perindustrian dan Teknologi Uni Emirat Arab Sultan Ahmed al-Jaber, Wakil Presiden Venezuela Delcy Rodriguez, Duta Besar Prancis untuk Brasil Brigitte Collet, dan beberapa delegasi lainnya.
Pada hari penutupan KTT Amazon Rabu (9/8), ditandatangani pula kesepakatan serupa, namun isinya jauh lebih ramping. Sama seperti sebelumnya, kesepakatan ini dinilai tidak mengandung tujuan konkret dan sebagian besar hanya memperkuat kritik terhadap negara-negara maju karena gagal memberikan pembiayaan iklim yang dijanjikan.
Presiden Brasil: Alam Sangat Membutuhkan Uang
Melalui KTT Amazon, Presiden Lula da Silva dinilai ingin mengembalikan Brasil ke tengah panggung besar isu lingkungan global. Dengan didorong oleh penurunan deforestasi sebesar 42 persen selama tujuh bulan pertama masa jabatannya, dia juga mengincar dukungan keuangan internasional untuk perlindungan hutan.
"Alam yang tercemar oleh perkembangan industri selama 200 tahun membutuhkan mereka (negara-negara maju) untuk membayar bagian mereka sehingga kita dapat menghidupkan kembali bagian yang telah rusak. Alam sangat membutuhkan uang," tegas Lula pada hari penutupan KTT Amazon.
Amazon membentang pada area dua kali ukuran India. Dua per tiganya terletak di Brasil, dengan tujuh negara lain dan wilayah Guyana Prancis berbagi sepertiga sisanya. Pemerintah negara-negara di kawasan secara historis melihatnya sebagai wilayah yang akan dijajah dan dieksploitasi, dengan sedikit kepedulian pada keberlanjutan atau hak-hak masyarakat adatnya.
Semua negara di kawasan Amazon telah meratifikasi Perjanjian Paris, yang mengharuskan penandatangan untuk menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca. Namun, kerja sama lintas batas secara historis dipandang masih sangat kurang.
Para anggota ACTO — yang baru berkumpul untuk keempat kalinya dalam 45 tahun keberadaan organisasi — menunjukkan pula pada Selasa bahwa mereka tidak sepenuhnya satu suara soal isu-isu utama.
Komitmen perlindungan hutan tidak merata. Dan deklarasi mereka tidak menyertakan komitmen bersama untuk nol deforestasi pada tahun 2030, seperti yang diharapkan banyak kalangan. Brasil dan Kolombia sendiri telah membuat komitmen itu.
Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa ketika 20-25 persen hutan hancur, curah hujan akan menurun drastis, mengubah lebih dari separuh hutan hujan menjadi sabana tropis. Keanekaragaman hayati yang sangat besar pun akan lenyap.
Observatorium Iklim, jaringan puluhan kelompok lingkungan dan sosial, serta Greenpeace dan The Nature Conservancy menyesalkan kurangnya komitmen rinci dalam deklarasi tersebut.
"Seratus tiga belas poin dari deklarasi tersebut memiliki manfaat untuk menghidupkan kembali ACTO yang terlupakan dan mengakui bahwa bioma mencapai titik tanpa harapan, namun tidak menawarkan solusi praktis atau kalender tindakan," ujar Observatorium Iklim dalam pernyataannya.
Pemimpin Masyarakat Adat Kolombia Fany Kuiru, dari Badan Koordinasi Organisasi Masyarakat Adat di Lembah Amazon, memuji deklarasi lantaran memenuhi dua permintaan utama mereka, yaitu pengakuan hak mereka atas wilayah tradisional dan penetapan mekanisme untuk partisipasi formal masyarakat adat dalam ACTO.
Advertisement
Ambiguitas Brasil
Direktur Institut Brasil di Woodrow Wilson Center Bruna Santos menilai bahwa KTT Amazon menunjukkan upaya untuk menempatkan Amazon sebagai agenda regional. Namun, di lain sisi dia juga menyoroti ambiguitas dalam prioritas pemerintah Brasil, termasuk kaitannya dengan eksplorasi minyak.
Presiden Kolombia telah dengan tegas bicara soal kemunafikan mendorong pelestarian Hutan Amazon sambil mengejar keuntungan dari minyak, menyamakannya dengan bertaruh "pada kematian dan menghancurkan kehidupan."
Lula da Silva dinilai telah menahan diri untuk tidak mengambil sikap definitif terhadap minyak, menggarisbawahi keputusan tersebut sebagai persoalan teknis. Sementara itu, perusahaan Petrobras milik negara Brasil dilaporkan sedang mencari minyak di dekat muara Sungai Amazon.
Terlepas dari ketidaksepakatan, ada tanda-tanda peningkatan kerja sama regional dan meningkatnya pengakuan global akan pentingnya Hutan Amazon dalam menahan laju perubahan iklim.
Kepala advokasi internasional di Rainforest Foundation Norway Anders Haug Larsen mengatakan bahwa merupakan tindakan yang benar bagi negara-negara Amazon untuk menuntut lebih banyak uang dari negara-negara maju dan bahwa kemauan politik mereka untuk melindungi hutan hujan tropis itu merupakan kesempatan bersejarah.
"Dengan rencana dari KTT ini dan pengurangan deforestasi yang berkelanjutan, di sinilah masyarakat internasional harus menaruh pembiayaan iklimnya," ujar Larsen.