Liputan6.com, Bahr Al-Baqar - Pada Rabu pagi yang cerah, tanggal 8 April 1970, sebuah tragedi mengerikan menghantam Desa Bahr Al-Baqar di Mesir, yang kemudian dikenal sebagai Al Yom al Eswed (The Black Day/Hari Hitam).
Pada hari itu, Angkatan Udara Israel melancarkan serangan udara kejam yang menargetkan Sekolah Dasar Bahr Al-Baqar. Menyebabkan kematian 46 anak-anak tak berdosa dan 50 orang lebih luka-luka.
Baca Juga
Bagi penduduk desa ini, pagi itu dimulai seperti biasa. Ibu-ibu sibuk menyiapkan bekal makan siang anak-anak mereka, sementara para guru bersiap-siap di kelas untuk mengajar. Namun, kehadiran pesawat tempur Israel tiba-tiba datang dan menghancurkan hari mereka.
Advertisement
Dilansir dari Egyptian Streets, Senin, (8/4/2024) secara historis, peristiwa yang terjadi 54 tahun lalu ini dikenal sebagai Bahr Al-Baqar School Bombing (Pengeboman Sekolah Bahr Al-Baqar).
Meskipun telah berlalu beberapa dekade sejak kejadian itu, ingatan akan Al Yom Al Eswed tetap menghantui warga Bahr Al-Baqar, mengingatkan mereka akan kekejaman perang dan harga yang harus dibayar oleh mereka yang tak berdosa.
"Ketika itu, saya sedang di kelas matematika seperti biasa. Saya duduk di sebelah teman akrab saya, Ahmed. Pensil saya jatuh, dan saya membungkuk di bawah meja untuk mengambilnya. Saya tidak pernah berpikir bahwa itu akan menjadi penyelamat hidup saya. Saya selamat, tetapi Ahmed meninggal," kenang Ahmed El-Demery, anak yang selamat dalam kejadian tragis itu.
Tragedi ini tidak hanya merenggut nyawa anak-anak yang sedang belajar, tetapi juga mencoreng masa depan dan harapan desa kecil ini.
Terungkapnya Tragedi Pengeboman
Sekolah Dasar Bahr Al-Baqar terletak di desa yang namanya identik dengan nama sekolah itu, merupakan bagian dari Provinsi Sharqiya, Mesir.
Pada Rabu pagi, 8 April 1970, pukul 09:20 waktu setempat, sekolah berlantai satu ini hancur akibat serangan bom oleh Angkatan Udara Israel.
Dari 130 siswa sekolah, 46 di antaranya tewas dan lebih dari 50 lainnya mengalami luka-luka. Selain itu, 11 staf sekolah juga terluka dalam peristiwa yang menggemparkan ini.
Serangan bom tersebut terjadi selama periode kekerasan antara Mesir, Yordania, Palestine Liberation Organisation (PLO) atau Organisasi Pembebasan Palestina, dan Israel.
Serangkaian bentrokan kala itu juga terjadi secara sporadis, antara tahun 1967 hingga 1970, yang dikenal sebagai War of Attrition atau Perang Penahanan.
Selama periode tersebut, Israel merencanakan serangkaian serangan ke wilayah Timur Mesir, yang diberi nama kode Operasi Priha. Tujuannya adalah memaksa Mesir untuk melakukan gencatan senjata dengan melakukan serangan ke wilayah yang lebih dekat dengan Kairo di seberang wilayah Suez.
Advertisement
Dampak Pengeboman
Setelah laporan berita mengungkap pembantaian kejam itu, Israel mengklaim bahwa mereka mengira sekolah itu berada di dalam pangkalan militer Mesir.
Moshe Dayan, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Israel, menyatakan bahwa sekolah tersebut merupakan kubah untuk pelatihan militer dan penyimpanan senjata. Namun, tidak ada bukti yang diberikan untuk mendukung klaim ini.
"Israel mengatakan sekolah itu untuk tentara terlatih, tapi tidak, tidak ada tentara. Kami adalah sekolah biasa dan tidak ada tentara di dekat (desa)," ungkap Hussein Farrag, seorang korban selamat dari serangan bom, dalam sebuah wawancara.
Duta Besar Mesir untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saat itu, Mohamed El-Zayyat, dengan tegas mengutuk serangan-serangan tersebut dalam surat yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal PBB.
"Anak-anak ini dibunuh dengan kejam oleh orang Israel, mereka terbang dengan pesawat jet Phantom yang dipasok oleh Amerika Serikat dan beroperasi di bagian Mesir, melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan resolusi-resolusinya," tulis El-Zayyat.
Tidak akan Pernah Terlupakan
Pada saat pembantaian terjadi, serangan-serangan tersebut secara berulang kali dibela oleh pejabat Israel. Sebuah buletin dari Jewish Telegraphic Agency yang diterbitkan pada tanggal 10 April 1970 melaporkan bahwa Duta Besar PBB Yosef Tekoah menyalahkan Mesir atas kematian anak-anak tersebut.
Dubes Tekoah menyatakan bahwa "Israel menyesali setiap kehilangan nyawa, tetapi jika ada korban, termasuk sejumlah pemuda, tanggung jawabnya ada pada pihak berwenang Mesir karena telah menempatkan mereka di dalam instalasi militer yang jelas-jelas berada dalam zona pertempuran."
Entah itu kejahatan perang yang disengaja atau kesalahan dalam pengintaian, seperti yang diklaim Israel, kerusakan yang telah terjadi di desa tersebut tidak diragukan lagi.
Delapan tahun setelah kejadian tersebut, film Al ‘Omr Lahza (Life Is Short, 1978), merangkum tragedi tersebut melalui sebuah lagu yang menyentuh.
Seiring berjalannya waktu, Hari Hitam Bahr Al-Baqar diabadikan dengan didirikannya sebuah museum untuk mengenang pembantaian tersebut, yang berfungsi sebagai pengingat akan kerapuhan dan kepolosan anak-anak selama masa perang.
Bagi sebagian besar warga Mesir, museum adalah saksi bisu dari masa lalu yang kelam. Bagi beberapa dari sedikit anak sekolah yang masih hidup – yang sekarang sudah lanjut usia – museum ini adalah luka yang terus terbuka.
"Ketika saya melihat gambar-gambar di belakang saya [saat saya di rumah sakit], saya ingin segera pergi dari sana. Itu mengingatkan saya pada saat-saat yang ingin saya lupakan tapi tidak bisa. Bahkan ibu saya sendiri tidak bisa mengenali wajah saya," kenang Alsayed Mohamed sambil meneteskan air mata.
Advertisement