Liputan6.com, Jakarta - Déjà vu adalah istilah untuk menggambarkan kondisi bahwa sesuatu atau peristiwa yang sedang kamu alami sekarang sudah pernah terjadi sebelumnya. Istilah deja vu berasal dari bahasa Prancis yang secara harfiah artinya "pernah dilihat".
Dikutip dari laman Science pada Jumat (17/05/2024), konsep Déjà vu pertama kali muncul dari seorang filsuf kuno bernama Santo Agustinus pada 400 M yang diartikan sebagai “memori yang salah”. Meski begitu, istilah Déjà vu baru dicetuskan oleh seorang filsuf dan ilmuwan berkebangsaan Prancis bernama Émile Boirac pada 1876.
Pengertian déjà vu menggambarkan adanya masalah pada persepsi atau ingatan seseorang, sehingga merasa bahwa sudah pernah melakukan atau menjalani hal familiar tersebut sebelumnya. Beberapa studi mengatakan bahwa saat Déjà vu terjadi, sebenarnya yang sedang terjadi adalah memanggil ingatan bawah sadar yang serupa dengan kejadian tersebut tanpa disadari sudah tidak pernah membayangkan lagi hal tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Begitu sedang mengalami kejadian yang mirip atau persis sama dengan yang pernah dibayangkan, seseorang akan merasa bahwa kejadian ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Padahal hal tersebut memang sudah pernah dialami sebelumnya.
Déjà vu dalam Pandangan Sains
Melansir laman Healhtline pada Jumat (17/05/2024), para ahli saraf menyebut bahwa déjà vu adalah ilusi memori. Namun, kondisi ini bukan pertanda otak kamu tidak sehat.
Sebaliknya, déjà vu terjadi ketika daerah frontal otak berusaha mengoreksi ingatan yang tidak akurat. Sayangnya, tidak ada teori yang disepakati para ahli untuk menjelaskan secara tepat apa yang terjadi di otak selama déjà vu.
Ada sejumlah teori mengenai proses terjadinya Déjà vu menurut sains. Salah satunya adalah teori slip perception, dimana Déjà vu terjadi saat melihat sesuatu pada dua waktu yang berbeda.
Contohnya saat keadaan pertama, seseorang hanya melihat keadaan tesebur secara sekilas. Kemudian otak akan mulai membentuk memori tersebut meskipun yang dilihat hanya sekilas.
Setelah itu, seseorang melihat keadaan tersebut untuk yang kedua kalinya namun dengan perhatian penuh. Otak akan mengingat memori yang telah disimpan sebelumnya hingga membuat merasa bahwa keadaan tersebut pernah dialami sebelumnya.
Teori selanjutnya adalah temporal lobe seizure. Teori ini lebih mengarah kepada seseorang yang mengalami trauma, infeksi, stroke, atau tumor pada bagian otak, serta orang yang memiliki epilepsi sebelum mengalami kejang-kejang.
Adapun teori malfungsi sirkuit otak menganggap bahwa Déjà vu terjadi karena adanya malfungsi di antara memori jangka panjang dan memori jangka pendek pada otak. Saat otak mencerna keadaan sekitar, informasi yang didapat ditransfer ke memori jangka panjang.
Otak Tidak Sengaja
Dikutip dari laman Science Alert pada Jumat (17/05/2024), para ilmuwan di Leeds Memory Group berpikir bahwa mereka berhasil menciptakan sensasi serupa Deja vu di laboratorium. Mereka menggunakan hipnosis untuk memicu bagian dari proses pengenalan otak pada 2006.
Penelitian ini berdasarkan pada teori bahwa dua proses kunci terjadi di otak saat kita mengenali sesuatu atau seseorang yang familiar. Awalnya otak akan mencari tahu ingatan kita untuk melihat apakah pernah merasakan sebuah kejadian.
Kemudian jika menemukan yang sesuai, sebuah area terpisah dari otak mengindentifikasinya sebagai sesuatu yang familiar. Dalam deja vu, bagian kedua dari proses ini bisa dipicu secara tak sengaja.
Untuk mengetahui hal ini, para peneliti merekrut 18 peserta untuk melihat 24 kata umum. Lalu, mereka dihipnosis untuk menganggap bahwa kata-kata yang berada dalam bingkai merah familiar, dan kata-kata dalam bingkai hijau tak ada dalam daftar asli.
Setelah keluar dari hipnosis, para peserta diberi rangkaian kata dalam bingkai warna berbeda, termasuk yang tak ada dalam daftar asli. Dari semua peserta, 10 orang berkata bahwa mereka merasakan sensasi aneh saat melihat kata baru dalam bingkai merah.
Lima orang di antaranya bahkan menyebut perasaan itu seperti deja vu.
(Tifani)
Advertisement