Fenomena Langka The Milky Seas, Serbuan Cahaya di Tengah Laut

Fenomena The Milky Seas menjadi kisah yang diceritakan oleh para pelaut sejak lama. Mereka menceritakan mengenai air di tengah lautan luas yang tiba-tiba bercahaya, menyerbu mereka dengan warna yang pucat mirip seperti susu, dan membentang lebar sejauh mata memandang.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 25 Jul 2024, 01:00 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2024, 01:00 WIB
Permukaan Air Laut Meningkat, Pencairan Lapisan Es Antartika Barat Tidak Dapat Dihindari
Pencairan lapisan es di Antartika Barat akan meningkat dan tidak bisa dihindari dalam beberapa dekade mendatang. (Photo: I. NOYAN YILMAZ/SCIENCE PHOTO LI via AFP)

Liputan6.com, Jakarta - The Milky Seas merupakan fenomena alam langka yang membuat permukaan laut malam hari bersinar. Bahkan cahaya muncul dari dalam lautan cukup terang, sehingga dapat melihat pancaran sinar berwarna biru atau putih.

Lautan akan tampak seperti diselimuti oleh awan cahaya yang menyerupai susu yang mengalir, teman-teman. Selama bertahun-tahun, para peneliti terus mencari tahu penyebab pasti dari fenomena milky seas ini.

Melansir laman IFL Science pada Rabu (24/07/2024), fenomena The Milky Seas menjadi kisah yang diceritakan oleh para pelaut sejak lama. Mereka menceritakan mengenai air di tengah lautan luas yang tiba-tiba bercahaya, menyerbu mereka dengan warna yang pucat mirip seperti susu, dan membentang lebar sejauh mata memandang.

Sayangnya, kesaksian para pelaut akhirnya dianggap sebagai sebuah cerita rakyat selama ratusan tahun karena tidak ada yang bisa membuktikannya. Kepopuleran cerita The Milky Seas dari pada pelaut menginspirasi tulisan Jules Verne.

Ia menjadikan The Milky seas versi para pelaut kuno dalam novel klasik berjudul Twenty Thousand Leagues Under the Sea yang terbit pada 1870.

Fenomena The Milky Seas diteliti oleh yakni peneliti di U.S. Naval Research Laboratory, Steven D. Miller dan timnya. Berdasarkan kesaksian pelaut kapal S.S. Lima, Miller mencoba menggunakan satelit Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) untuk mencari tahu apa yang ada di barat laut Samudra Hindia pada 2000.

Dalam perjalanan tersebut, satelit VIIRS mendeteksi adanya jalur putih di tengah lautan. Singkatnya, jalur putih itu terbukti sebagai fenomena milky sea.

Penelitian Miller dan timnya dipublikasikan dalam sebuah jurnal ilmiah pada 2005.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Penyebab The Milky Seas

Pada 1995, kapal dangang Inggris yang melintas Laut Arab mencoba mengambil sampel air yang tiba-tiba terlihat bercahaya. Menurut kesaksian pelaut di kapal dagang, butuh waktu setidaknya enam jam untuk menjelajahi dari ujung ke ujung lautan bercahaya.

Setelah diteliti, sampel air itu ternyata mengandung bakteri laut Vibrio harveyi, sejenis bakteri yang dapat bercahaya. Hampir mirip seperti fenomena bioluminescense yang umum terjadi di pesisir pantai, organisme-organisme laut yang dapat mengeluarkan cahaya adalah dalang dari fenomena langka ini.

Vibrio harveyi mengeluarkan cahaya untuk memikat ikan-ikat di laut agar memangsanya. Bakteri ini senang hidup dalam usus ikan.

Namun, masih tidak ada yang mengetahui mengapa bakteri itu bisa berkumpul dalam jumlah yang sangat besar.

Melansir laman Earth Observatory NASA pada Rabu (24/07/2024), selama dua dekade, Miller dan timnya mengumpulkan lebih dari 200 dokumen sejarah dan laporan kapal mengenai kesaksian munculnya air laut bercahaya. Hasilnya, fenomena milky sea pada umumnya muncul di barat laut Samudra Hindia, Laut Arab, dan Benua Maritim, termasuk perairan Indonesia.

Dalam jurnal ilmiah Miller dan timnya yang dirilis pada 2005, tertulis bahwa Fenomena milky sea muncul selama beberapa hari di laut lepas. Kemunculan milky Seas tidak terpengaruh oleh kecepatan angin, dan bersinar sepanjang malam.

Namun, fenomena ini seringnya terjadi saat angin muson bertiup dari barat daya yang mengalir dari Asia (musim dingin) ke Australia (musim panas).

 


The Milky Seas di Laut Jawa

Dalam jurnal yang dipublikasikan Miller dan timnya pada 2021, Laut Jawa Selatan menjadi satu di antara dua belas pilihan lokasi pengamatan milky sea. Penelitian dilakukan setelah memaksimalkan Day/Night Band (DNB), bagian penting dari satelit VIIRS yang dulu berhasil menangkap milky sea di barat laut Samudra Hindia.

Penelitian dimulai saat DNB mendeteksi adanya anomali cahaya di Laut Jawa Selatan pada 25 Juli 2019. Setelah diteliti, lautan cahaya itu membentang sejauh 100.000 km2, sama seperti luas wilayah Jawa Timur.

Dengan estimasi ada triliunan, atau bahkan septiliun bakteri bercahaya di dalamnya. Fenomena milky sea di Laut Jawa Selatan adalah The Milky Seas terbesar yang pernah diamati hingga saat ini.

(Tifani)

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya