Liputan6.com, Manila - Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengakui bahwa ia membentuk pasukan pembunuh untuk memberantas kejahatan saat menjabat sebagai wali kota di salah satu kota terbesar di negara tersebut.
Dalam kesaksian pertamanya, ia di hadapan penyelidikan resmi atas apa yang disebutnya sebagai perang terhadap narkoba.
Advertisement
Baca Juga
Pria berusia 79 tahun itu mengatakan bahwa pasukan itu terdiri dari para gangster, seraya menambahkan bahwa ia akan memberi tahu mereka untuk membunuh seseorang.
Advertisement
Duterte memenangi kursi kepresidenan dengan telak pada tahun 2016 dengan janji untuk mengulangi kampanye anti-kejahatannya di kota Davao dalam skala nasional, dikutip dari BBC, Selasa (29/10/2024).
Perang narkoba nasional tersebut menyebabkan ribuan tersangka tewas dalam operasi polisi. Kebijakan tersebut dikenal kontroversial dan kini sedang diselidiki oleh Mahkamah Kriminal Internasional.
Selama sidang senat pada Senin (28/10) Duterte juga mengatakan bahwa ia memberi tahu petugas polisi untuk mendorong para tersangka untuk melawan sehingga petugas dapat membenarkan pembunuhan tersebut.
"Jangan pertanyakan kebijakan saya karena saya tidak meminta maaf, tidak ada alasan. Saya melakukan apa yang harus saya lakukan, dan terlepas dari apakah Anda percaya atau tidak. Saya melakukannya untuk negara saya," kata Duterte dalam pernyataan pembukaannya.
"Saya benci narkoba, jangan salah paham."
Namun, ia membantah bahwa ia memberi izin kepada kepala polisi untuk membunuh tersangka, seraya menambahkan bahwa pasukan pembunuhnya terdiri dari gangster dan bukan polisi.
"Saya bisa membuat pengakuan sekarang jika Anda mau. Saya punya pasukan pembunuh yang terdiri dari tujuh orang, tetapi mereka bukan polisi, mereka gangster."
Duterte Sebuh Kasus Narkoba Kembali Naik Usai Dirinya Tak Lagi Jadi Presiden
Duterte juga tetap menantang, mengklaim bahwa banyak penjahat telah melanjutkan kegiatan ilegal mereka setelah ia mengundurkan diri sebagai presiden.
"Jika diberi kesempatan lagi, saya akan menghabisi kalian semua," katanya.
Penampilannya pada Senin (28/10) merupakan pertama kalinya ia muncul dalam penyelidikan atas kampanye anti-narkoba yang digagasnya sejak masa jabatannya berakhir pada tahun 2022.
Itu juga pertama kali ia berhadapan langsung dengan beberapa penuduhnya, termasuk keluarga korban perang narkoba dan mantan senator Leila de Lima, seorang kritikus Duterte yang dipenjara selama tujuh tahun atas tuduhan perdagangan narkoba yang akhirnya dibatalkan.
Advertisement
Filipina: 6.252 Orang Ditembak Mati Terkait Kasus Narkoba
Pemerintah Filipina memperkirakan bahwa lebih dari 6.252 orang telah ditembak mati oleh polisi dan penyerang tak dikenal dalam upaya perang melawan narkoba ala Duterte.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan, jumlah sebenarnya bisa saja mencapai puluhan ribu.
Laporan sebelumnya oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia menemukan bahwa tindakan keras Duterte terhadap narkoba telah ditandai oleh retorika tingkat tinggi yang dapat dilihat sebagai pemberian izin untuk membunuh.
Polisi mengatakan, banyak korban yang mereka klaim sebagai bandar narkoba atau pengedar. Namun, banyak keluarga mengklaim bahwa putra, saudara, atau suami mereka berada di tempat yang salah pada waktu yang salah.