Diaspora Indonesia di Australia Manfaatkan Kekurangan Guru Sebagai Peluang Karier

Tidak mudah, namun juga bukan tidak mungkin, bagi seorang WNI menjadi guru di Australia.

oleh Siti Syafania Kose diperbarui 25 Nov 2024, 11:18 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2024, 09:01 WIB
Kagumi Parasya, warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi guru bahasa Indonesia di Perth, Australia Barat.
Kagumi Parasya, warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi guru bahasa Indonesia di Perth, Australia Barat. (Dok. Kagumi Parasya via Liputan6.com)

Liputan6.com, Perth - Melihat kekurangan tenaga pendidik di Australia, Kagumi Parasya, warga negara Indonesia (WNI) tanpa latar belakang pendidikan mengajar, memutuskan membangun karier baru di Negeri Kanguru. 

Berbekal niat dan perencanaan matang, perempuan yang kini sedang menempuh gelar master di bidang pendidikan dasar sekaligus mengajar bahasa Indonesia di sekolah menengah ini akhirnya menemukan kehidupan yang nyaman bersama suaminya di Perth, Australia Barat.

"Kebutuhan guru tinggi banget. Sekarang dua pekerjaan yang paling dicari itu perawat dan guru," ujar perempuan yang akrab disapa Sasya itu kepada Liputan6.com saat dihubungi Jumat (22/11/2024).

"Jadi, guru-guru itu lagi benar-benar kekurangan karena orang-orang yang bagus sudah pensiun dan orang yang baru mencoba, dan merasakan betapa beratnya menjadi guru di sini, mereka cabut."

Sasya pertama kali bekerja di Perth pada tahun 2019 lewat language assistants program. Dalam program ini, dia membantu mengajar bahasa Indonesia di sekolah.

Pengalaman pertama mengajar itu membangkitkan minatnya di dunia pendidikan, yang akhirnya mendorongnya untuk melanjutkan studi di Curtin University dan terus mengajar di Australia hingga sekarang.

"Melihat kesempatan adanya shortage, aku juga membaca situasi. Aku bisa mengharumkan bangsa juga dengan mengajari tentang budaya dan bahasa. Jadi, walau jauh, kalau bisa mendapat penghasilan dan mengharumkan nama Indonesia, ya kenapa tidak?" cerita Sasya.

Sebagai pribadi yang berorientasi pada tujuan dan menyukai struktur, Sasya merasa sangat cocok dengan budaya kerja di Australia.

"Kalau di sini, sudah jelas tujuannya … Semuanya itu jelas, gaji, level pekerjaan, semuanya itu ada … Jadi, selama kita pandai dalam membuat strategi apa yang kita mau lakukan dan di bidang apa, itu bisa dicapai," terang diaspora Indonesia itu, sembari menambahkan bahwa perserikatan di Australia kuat, sehingga bisa ada perlawanan terhadap eksploitasi.

Bagaimana soal gaji?

"Setiap tahun, gaji guru itu pasti naik karena memang sudah aturannya begitu dan mereka negosiasi terus untuk naik terus karena di sini stressful," tutur Sasya.

"Di Australia itu, biarpun gajinya termasuk besar dibanding negara-negara lain, tuntutannya juga besar."

Sasya mengungkapkan bahwa tidak sedikit guru yang merasa kewalahan dengan beban kerja mereka.

"Banyak guru di tahun pertama yang merasa stres dan akhirnya memilih untuk beralih profesi," ungkap dia.

Di luar jam pelajaran, guru di Australia harus mengawasi siswa.

"Bahkan di jam istirahat saja, kami tetap mengawasi. Jadi, selain mengajar, guru punya waktu kosong untuk membuat materi dan mengawas di waktu istirahat karena apa pun yang terjadi dengan anak-anak itu di bawah tanggung jawab kami," kisah Sasya.

Meski begitu, dia menilai bahwa keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi di Australia cukup terjaga, terutama bagi guru yang sudah berpengalaman.

"Mereka berhak atas cuti tahunan. Ada yang tipenya mencicil, di mana mereka ambil cuti per semester, ada yang mereka jadikan cuti setahun dan itu tetap dibayar penuh," kata Sasya.

"Ada tunjangannya juga, walau terdengar berat pekerjaannya."

Standar Tinggi dalam Dunia Pendidikan

Kagumi Parasya berpose bersama guru bahasa Indonesia di SIDE (School of Isolated and Distance Education), Perth, Australia Barat.
Kagumi Parasya berpose bersama guru bahasa Indonesia di SIDE (School of Isolated and Distance Education), Perth, Australia Barat. (Dok. Kagumi Parasya via Liputan6.com)

Meskipun Australia kekurangan guru, mereka tetap menjaga standar yang tinggi dalam seleksi tenaga pengajarnya.

"Terlepas dari shortage, mereka tetap akan menolak guru-guru yang sudah terlalu banyak melanggar aturan dan membuat anak-anak dalam kondisi yang riskan. Standarnya masih tinggi makanya tetap kekurangan juga," ujar Sasya.

Menjadi guru di Australia, sebut Sasya, prosesnya cukup ketat, "Untuk jadi guru susah. Untuk tes masuk kuliahnya butuh IELTS minimal 8 untuk speaking dan listening, dan sisanya 7. Sebelum lulus, ada tes literasi dan numerasi dan itu banyak yang tidak lulus juga."

Selain itu, para guru juga diharuskan menguasai hal-hal penting terkait keselamatan, seperti pertolongan pertama, penanggulangan kebakaran, serta pengetahuan tentang kondisi medis siswa, seperti diabetes dan alergi.

Australia, dengan masyarakat yang sangat beragam, juga mengharuskan guru-gurunya untuk peka terhadap keberagaman budaya.

"Kalau di Australia, gaya mengajarnya berbeda … di sini, diversity itu dikencengin banget karena ini negara imigran. Jadi, kita harus sangat culturally aware dan sekolahnya itu inklusif," sebut Sasya.

Bagaimanapun, kata Sasya, program pengembangan profesional yang disediakan secara gratis membantu guru untuk terus berkembang.

Meskipun proses untuk menjadi guru di Australia sangat selektif, Sasya melihatnya sebagai hal yang positif.

"Kamu dapat orang-orang yang sama-sama peduli terhadap pendidikan, orang yang mau maju terus dan lebih kreatif," kata Sasya.

"Ini kehidupan yang aku mau sebagai guru dan itu ada di sini. Jadi, aku perjuangkan."

Tantangan Hidup di Negeri Orang

Kagumi Parasya berpose bersama diaspora Indonesia lain saat acara Festival Indonesia.
  Kagumi Parasya berpose bersama diaspora Indonesia lain saat acara Festival Indonesia. (Dok. Kagumi Parasya via Liputan6.com)

Sasya merasa sangat cocok dengan kehidupan di Australia.

"Aku suka kebebasan dan struktur. Kalau di Indonesia seperti terlalu banyak distraksi … di sini tidak ada yang seperti itu," jelas Sasya.

"Di tempat ini, bisa fokus dengan tujuan masing-masing karena tidak ada yang menghakimi dan tidak ada ekspektasi."

Standar tinggi di Australia, ungkap Sasya, tidak hanya berlaku untuk guru, melainkan hampir di semua profesi. Hal ini membuat kehidupan kerjanya, yang pernah bekerja di restoran, terasa nyaman dan produktif.

Tentu saja, meski merasa cocok, hidup di Australia juga bukan tanpa tantangan.

"Masalah sekarang di Australia Barat adalah krisis akomodasi. Tempat tinggal tidak cukup, orangnya kebanyakan. Harga sewa dan rumah naik terus," tutur Sasya.

"Visa imigrasi juga sempat ada yang ditangguhkan."

Pemerintah Australia cukup responsif terhadap isu tersebut, seperti dengan melarang kenaikan harga sewa. Namun, Sasya merasa kadang respons mereka terlalu cepat dan berubah-ubah, terutama dalam kebijakan imigrasi.

Sasya dan suaminya, yang bekerja sebagai koki, menghadapi kesulitan mendapatkan status permanent resident karena Australia baru saja menerima banyak koki dan menurunkan kuota untuk profesi tersebut.

"Memang terlihat kejam, tapi sebetulnya mereka memprioritaskan negaranya sendiri, apa yang dibutuhkan negaranya," kata dia.

Bagi Sasya, baik Indonesia maupun Australia memiliki kelebihan masing-masing.

"Untuk orang-orang yang memilih Indonesia atau Australia, aku bilang sih mending dua-duanya kalau bisa dua-duanya karena tetap banyak hal baik juga di Indonesia," imbuhnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya