Liputan6.com, Kairo - Sindi Fatmayuni Robi tengah menjalani cita-citanya saat ini; menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, Mesir. Belum selesai studi S1, dia sudah bertekad melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
"Aku ingin melanjutkan studi S2 untuk mendalami ilmu tafsir Al-Qur'an," tutur perempuan yang akrab disapa Chyn ini kepada Liputan6.com.
Advertisement
Baca Juga
Sindi yang berasal dari Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat, ini mengisahkan bahwa keinginannya untuk memperdalam ilmu agama di Universitas Al-Azhar di Mesir tidak datang secara tiba-tiba, melainkan berangkat dari kecintaannya terhadap bahasa Arab saat duduk di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Manaar, Pameungpeuk.
Advertisement
Hasratnya menguat saat dia menempuh pendidikan di SMA Pondok Pesantren Baitul 'Izzah Nusantara, Lembang. Setelah lulus, dia sempat mengabdikan diri di pondok pesantren selama satu tahun, sembari menempa diri agar lebih siap melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri.
Pada 2019, Sindi sempat kuliah jurusan ekonomi di STAI Muhammadiyah Garut dan pada saat bersamaan dia aktif mengajar ekstrakurikuler bahasa Arab dan bahasa Inggris di MTs Al-Manaar. Selain itu, dia juga mengajar ngaji anak-anak di kampungnya.
Ketika mulai merencanakan studi ke Mesir, pandemi COVID-19 menghantam, membuat jalannya menuju Mesir kian berliku. Namun, semangat Sindi tak surut.
Peluang datang ketika seorang kiai dari Pondok Pesantren Baitul 'Izzah Nusantara menawarkan program persiapan studi ke Mesir melalui Azhari Center, Cibeber, Cianjur. Program ini menjadi jembatan bagi calon mahasiswa Al-Azhar, termasuk Sindi, yang harus melewati seleksi Pusat Studi Islam dan Bahasa Arab (Pusiba) serta menyelesaikan daurul-lughah sebagai syarat utama.
Berhasil melalui tahapan tersebut, Sindi akhirnya menginjakkan kaki di Mesir pada 13 Januari 2021.
"Bagi aku, Mesir bukan sekadar tempat menuntut ilmu, tapi negeri yang penuh sejarah dan keberkahan. Dalam Al-Qur'an, kata 'Mesir' disebut secara eksplisit sebanyak lima kali dan secara isyarat hingga 80 kali," ungkap perempuan usia 24 tahun ini.
Sindi mengakui bahwa dia juga terinspirasi oleh Syekh Mutawalli Assya'rawi, seorang mufasir kontemporer asal Mesir, yang mengatakan, "Jika engkau ingin mencari ridha Allah melalui jalur ulama dan para habaib, maka datanglah ke Mesir. Sungguh, engkau akan mendapatkan yang engkau inginkan."
Kini, Sindi adalah mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Al-Qur'an. Baginya, kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir, bukan sekadar perjalanan akademik, namun lebih dari itu, dia melihatnya sebagai jalan untuk mengasah sikap moderat dalam menyikapi setiap perkara.
"Mesir adalah kiblatnya ilmu, mencetak para dai. Alumni Al-Azhar ada di mana-mana, termasuk tokoh besar seperti Pak Gus Dur, Prof. Quraish Shihab dan ustadz Abdul Somad," ujarnya.
Menurut Sindi, selain kurikulumnya yang komprehensif, keistimewaan Universitas Al-Azhar, Mesir, terletak pada metode pengajarannya yang khas. Sistem belajar di sini terbagi menjadi dua.
"Pertama, metode Jam'iyah (akademik), di mana perkuliahan berbasis presentasi (muhadharah) dengan profesor/doktoral sebagai pemateri utama. Kedua, metode Jami' (non-formal), yaitu pembelajaran talaqqi langsung dengan para syekh di Masjid Al-Azhar, mendalami kitab klasik (turats) dan kontemporer (mu’asharah)," terang Sindi, seraya menambahkan bahwa sistem tersebut memberikan pengalaman belajar yang lebih mendalam.
Kuliah S1 di Universitas Al-Azhar, Mesir, tidak mengharuskan mahasiswa untuk menyusun skripsi. Sebagai gantinya, mereka harus menghadapi ujian termin setiap tahun dengan hasil yang memuaskan.
"Jika seorang mahasiswa mendapat nilai dha'if (lemah) di tiga mata kuliah, dia harus mengulang selama satu tahun. Selain itu, semua materi kuliah disampaikan dalam bahasa Arab, termasuk mata kuliah bahasa Inggris yang diajarkan menggunakan bahasa Arab. Soal ujian di Al-Azhar mendapat perhatian khusus. Penjagaan saat ujian sangat ketat, sehingga nilai yang diperoleh benar-benar mencerminkan kemampuan mahasiswa. Selain itu, proses administratif masih dilakukan secara manual, sehingga mahasiswa harus bersabar dalam mengurus pemberkasan," beber Sindi.
Sistem absensi sendiri tidak terlalu ketat. Meski begitu, kehadiran dalam perkuliahan tetap menjadi investasi berharga dan kesempatan emas untuk menguasai bahasa Arab, baik fushah (resmi) maupun amiyah (percakapan sehari-hari).
Menurut Sindi, selain belajar di kelas, mahasiswa Indonesia di Al-Azhar aktif dalam berbagai organisasi, menghadiri halaqah talaqqi, serta mengikuti program sanad Al-Qur'an, yaitu pembelajaran Al-Qur'an dengan sanad yang bersambung hingga Rasulullah.
"Aku sangat bersyukur dapat ikut halaqah talaqqi, hafalan, tahsin, dan sanad Al-Qur'an bersama para syekh disini," ucap Sindi.
Di Universitas Al-Azhar, Mesir, ada sebuah ungkapan dalam bahasa Latin yang sering dikaitkan dengan kehidupan mahasiswa di sana, yaitu "Cairo, nisi eam viceris, te vincet", yang artinya, "Kairo, jika engkau tidak bisa menaklukkannya maka engkau yang akan ditaklukkan olehnya."
"Ungkapan ini sering didengar oleh mahasiswa baru sebagai pengingat bahwa Kairo, dengan segala gemerlapnya, menawarkan sejuta godaan yang dapat melenakan. Sebagai pejuang ilmu, kita harus mampu menaklukkan kota ini, bukan sebaliknya, justru kita yang akan ditaklukkan olehnya," kata Sindi.
Belajar, Beradaptasi, dan Jadi Ibu
Hidup di negara orang, jelas Sindi dihadapkan pada banyak tantangan. Yang dirasakannya, termasuk cuaca ekstrem.
"Saat pertama kali tiba di Mesir itu pada puncak musim dingin. Tubuhku belum terbiasa dengan suhu rendah. Aku bahkan mengalami alergi dingin (urtikaria) selama sebulan," kisah Sindi.
Adaptasi sosial jelas tak terelakkan. Misalnya saja, di Mesir, pria tidak diperbolehkan mengenakan sarung di luar rumah karena dianggap sebagai pakaian tidur, sementara perempuan tidak boleh jongkok di tempat umum karena dianggap tidak sopan.
Di lain sisi, secara tak terduga, Sindi menemukan kenyamanan. Masyarakat Mesir, ujarnya, ramah dan gemar memberi pujian.
"Walaupun nada bicara mereka terdengar keras, itu bukanlah tanda kemarahan, melainkan bagian dari gaya komunikasi mereka. Mereka sering menyapa dengan salam di transportasi umum dan di berbagai tempat banyak ditemukan tulisan pengingat seperti 'Hal shallaita 'alan Nabi al-youm? (Sudahkah kamu bersalawat hari ini?)' serta 'Udzkurullah (Ingatlah Allah)'," tuturnya.
Di tengah adaptasi dan menuntut ilmu, Sindi menghadapi tantangan lain: menjalani masa kehamilan dan persalinan di negeri orang.
"Aku menikah di Indonesia pada Juli 2021 lalu menetap di Mesir bersama suami. Kemudian aku hamil pada Agustus 2021 dan melahirkan anak pertama pada April 2022," ceritanya.
Tidak lama setelah melahirkan, dia wajib mengikuti ujian termin yang menuntutnya fokus pada studi di tengah proses adaptasinya sebagai ibu muda yang jauh dari keluarga. Situasi yang tidak mudah, namun juga bukan hal mustahil dilalui.
"Alhamdulillah, berkat dukungan suami dan orang-orang baik di sekitarku, aku berhasil melewatinya," tambahnya.
Â
Advertisement
Berani Wujudkan Mimpi
Di tengah kesibukan kuliah dan perannya sebagai istri serta ibu, Sindi aktif mengembangkan diri sebagai konten kreator. Sejak 2024, dia membagikan pengalaman hidupnya di Mesir melalui akun Instagram @chyn_egypt, mulai dari sistem pendidikan di Universitas Al-Azhar, Mesir, budaya lokal, hingga kuliner khas setempat seperti koshari, hawawushi, dan kibdah baneh.
Kontennya sempat viral dan muncul di FYP (For You Page) Instagram, menjadikan sosoknya semakin banyak dikenal orang.
Bagi Sindi, media sosial bukan sekadar tempat berbagi momen, namun juga sarana dakwah dan edukasi. Dia ingin memberikan gambaran nyata tentang kehidupan mahasiswa Indonesia di Mesir sekaligus menginspirasi untuk terus belajar dan mengejar mimpi.
"Aku percaya, setiap langkah yang kita bagikan bisa menjadi inspirasi bagi orang lain untuk menuntut ilmu dan mengenal Islam lebih dalam," ucapnya.
Kreativitas Sindi kemudian melahirkan Chyn Travel, sebuah jasa perjalanan yang membantu mereka yang ingin ziarah ke Mesir. Melalui usahanya ini, dia bertekad mengenalkan sejarah Islam dan keindahan Mesir secara langsung kepada semakin banyak orang.
Kepada generasi muda Indonesia, Sindi berpesan agar tidak takut bermimpi besar, namun juga berani mengambil langkah mewujudkannya.
"Bagi aku, belajar di Al-Azhar bukan sekadar menuntut ilmu, tetapi perjalanan spiritual yang membuka mata hati. Mengenyam pendidikan di universitas yang telah berdiri ratusan tahun, bertemu mahasiswa dari berbagai negara, dan menyaksikan langsung keajaiban Mesir adalah pengalaman tak ternilai," imbuhnya.
