Liputan6.com, Jakarta - Pesawat Jeju Air yang mengangkut total 181 orang jatuh saat mendarat di Bandara Muan, Korea Selatan, pada 20 Desember 2024. Hanya ada dua orang pramugari yang berhasil selamat dari insiden ini.
Jeju Air yang berangkat dari Thailand ke Korea Selatan itu membawa total 181 orang, terdiri dari 175 penumpang dan 6 awak kabin. Hingga saat ini, otoritas setempat menjelaskan serangan burung atau bird strike menjadi penyebab kecelakaan.
Lalu, apa itu bird strike? Bird strike adalah istilah yang digunakan untuk peristiwa tabrakan antara burung dan pesawat yang sedang terbang, lepas landas, atau mendarat.
Advertisement
Baca Juga
Istilah ini kemudian diperluas untuk mencakup tabrakan pesawat dengan satwa liar lainnya, misalnya kelelawar atau hewan darat lainnya. Meski terdengar sederhana, bird strike menjadi ancaman signifikan terhadap keselamatan pesawat.
Dikutip dari laman Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) pada Selasa (31/12/2024), bird strike dapat menyebabkan pesawat kehilangan daya dorong. Terutama, pesawat dengan mesin jet yang dapat kehilangan daya dorong setelah burung masuk ke saluran masuk udara mesin.
Insiden bird strike pertama di dunia yang tercatat dialami oleh pilot Carl Rogers pada 1912. Dalam pernerbangan dari satu pantai ke pantai lain di Amerika Serikat, ia bertabrakan dengan burung camar.
Hal itu menyebabkan pesawat yang diterbangkan jatuh di negara bagian California dan menewaskan sang pilot. Kasus lainnya terjadi pada 10 Maret 1960 yang menyebabkan bencana udara yang disebabkan oleh tabrakan burung dengan pesawat Electra.
Saat lepas landas dari bandara Boston Logan keempat mesin mati dan menyebabkan kecelakaan di pelabuhan Boston dan menewaskan 62 orang di dalamnya. Melansir laman The Guardian pada Selasa (31/12/2024), badan Keselamatan Penerbangan Eropa (EASA) menyebut penerbangan rendah, pendaratan di luar pelabuhan, dan lepas landas di luar bandara di atau dekat sekitar area burung menghadirkan potensi gangguan terhadap burung.
Penerbangan rendah di bawah 2.000 kaki (609 meter) di atas permukaan tanah dan pendaratan di luar bandara juga dapat menarik perhatian burung dan menyebabkan reaksi melarikan diri. Meskipun banyak burung telah terbiasa dengan lalu lintas udara yang konsisten, beberapa kawanan migrasi yang beristirahat atau melewati musim dingin dapat bereaksi terhadap pesawat yang terbang.
Formasi burung selama migrasi primer, selama musim dingin, dan kemunculan kelompok atau perkumpulan massal secara tiba-tiba juga meningkatkan risiko bird strike. Selain itu, sebagian besar kejadian bird strike juga terjadi pada siang hari.
EASA juga merinci jenis burung apa saja yang perlu diwaspadai karena berpotensi menyebabkan bird strike. Secara umum, burung walet (swallow dan swift) menyumbang 30 persen dari kasus bird strike.
Burung yang lebih besar, seperti burung jalak, hanya terlibat dalam 3 persen kejadian. Elang atau alap-alap menyumbang 13 persen dan burung elang buzzards sekitar 15 persen kasus bird strike.
Sementara peristiwa yang melibatkan burung besar (lebih dari 1,8 kilogram), seperti bangau, bangau abu-abu, atau angsa, lebih jarang terjadi.
(Tifani)