Liputan6.com, Seoul - "Apakah sama sekali tidak ada peluang untuk selamat?" tanya salah satu anggota keluarga Jeju Air yang celaka pada Minggu (29/12/2024) di Bandara Internasional Muan.
Kepala Stasiun Pemadam Kebakaran Muan Lee Jeong-hyun hanya bisa menundukkan kepala dan menjawab: "Saya turut prihatin, tetapi memang seperti itu kelihatannya."
Advertisement
Baca Juga
Suara isak tangis pun pecah, doa, dan kesedihan lalu bergema di aula keberangkatan bandara di Korea Selatan bagian barat daya. Pun demikian masih terjadi pada hari Senin (30/12), saat keluarga korban tewas menunggu orang yang mereka cintai untuk diidentifikasi.
Advertisement
Semua kecuali dua orang di pesawat Jeju Air yang membawa 175 penumpang dan enam awak tewas setelah kecelakaan pesawat yang mereka tumpangi celaka di bandara Muan County pada hari Minggu (29/12) tepat setelah pukul 9 pagi waktu setempat – dalam bencana penerbangan paling mematikan yang pernah terjadi di negara itu dalam hampir 30 tahun. Demikian melansir CNN.
Orang-orang terkasih di dalam Bandara Internasional Muan menangis saat petugas medis mengumumkan nama-nama korban yang telah diidentifikasi. Sejauh ini, 146 korban telah diidentifikasi, sementara upaya sedang dilakukan untuk mengetahui identitas 33 jenazah yang tersisa, menurut Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, dan Transportasi Korea Selatan.
BBC melaporkan ratusan orang yang berduka berkemah di Bandara Internasional Muan dan merasa marah karena mereka belum melihat jenazah orang-orang yang mereka cintai, yang meninggal setelah petaka pesawat Jeju Air pada hari Minggu (29/12).
Di tengah teriakan marah, kepala polisi Na Won-o menjelaskan bahwa penundaan itu karena petugas membutuhkan waktu untuk mengidentifikasi dengan saksama terhadap 179 korban, yang jenazahnya rusak parah akibat hangus terbakar dalam kecelakaan itu.
"Bisakah Anda berjanji bahwa mereka akan disatukan kembali?" seorang pria paruh baya bertanya dengan raut emosional.
Sementara itu, yang lain meminta agar jenazah korban dikembalikan sebagaimana adanya, tetapi Na mengatakan petugas ingin melakukan upaya terbaik mereka untuk mengumpulkan dan mencocokkan sebanyak mungkin jenazah yang mereka bisa.
Rincian yang menyedihkan ini membuat beberapa anggota keluarga menangis, sementara sebagian besar duduk dalam keheningan yang mencengangkan, kelelahan.
Sejumlah pemimpin dunia lantas mengungkapkan belasungkawa mereka pada Minggu (29/12) atas kecelakaan pesawat maut yang menewaskan 179 orang di Korea Selatan.
Paus Fransiskus, yang pernah mengunjungi Korea Selatan satu dekade lalu, mengungkapkan, "Saya bergabung dalam doa untuk para penyintas dan korban meninggal dunia."
Pesan Haru
Beberapa penumpang sempat menghubungi keluarga sebelum kecelakaan pesawat. Tangkapan layar pesannya ramai di media sosial, pesan tersebut jadi ucapan perpisahan penumpang kepada keluarganya. Salah satu yang paling mengharukan adalah tatkala menyadari ada ketidakberesan dalam penerbangannya dan berniat untuk membuat wasiat.
Situs Korsel, Korea Times menyebut seorang pria sempat bertukar pesan KakaoTalk dengan ibunya yang berada di dalam pesawat sesaat sebelum kecelakaan terjadi. Pada pukul 9 pagi, sang ibu mengabarkan situasi dengan mengatakan, “Seekor burung tersangkut di sayap, jadi kami tidak bisa mendarat.”
Ketika pria itu bertanya berapa lama kejadian itu terjadi, si penumpang menjawabnya satu menit kemudian. "Baru saja. Haruskan aku membuat surat wasiat?" tanya penumpang itu. Sejak itu, ia tidak dapat lagi dihubungi.
Pesawat Jeju Air 7C2216 Hangus dan Hampir Terbakar Habis
Jeju Air, Boeing 737-800 yang sedang dalam perjalanan dari Bangkok ke Bandara Internasional Muan, tergelincir dari landasan pacu setelah mendarat dan menabrak dinding beton tak lama setelah pukul 09:00 waktu setempat (00:00 GMT) pada hari Minggu (29/12).
Layanan penyelamatan Korea Selatan mengatakan Jeju Air penerbangan 7C2216 yang celaka saat tiba di Bandara Internasional Muan hangus dan hampir terbakar habis, itulah yang membuat sulit untuk mengidentifikasi jenazah korban. Penyebab kecelakaan masih dalam penyelidikan.
Kecelakaan itu menewaskan 179 dari 181 orang di dalamnya, menjadikannya kecelakaan pesawat paling mematikan di tanah Korea Selatan. Empat awak pesawat termasuk di antara korban, sementara dua orang berhasil diselamatkan dari reruntuhan dalam keadaan hidup.
Menurut kantor berita Yonhap, 179 orang yang meninggal dalam penerbangan 7C2216 berusia antara tiga hingga 78 tahun, meskipun sebagian besar berusia 40-an, 50-an, dan 60-an. Dua warga negara Thailand termasuk di antara yang tewas dan sisanya diyakini warga Korea Selatan.
Lima orang yang meninggal adalah anak-anak di bawah usia 10 tahun, dengan penumpang termuda adalah seorang anak laki-laki berusia tiga tahun.
Seorang pria berusia enam puluhan mengatakan lima anggota keluarganya yang mencakup tiga generasi berada di pesawat itu, termasuk saudara iparnya, putrinya, suaminya, dan anak-anak mereka yang masih kecil, menurut kantor berita Yonhap.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) mengatakan tak ada WNI jadi korban.
"Berdasarkan informasi informal yang didapat, tidak terdapat penumpang WNI dalam pesawat tersebut," kata Direktur Perlindungan WNI Kemlu RI Judha Nugraha dalam pernyataan singkatnya lewat pesan singkat ke media, Minggu (29/12), seraya menyebut saat ini KBRI Seoul sedang berkoordinasi dengan otoritas setempat terkait insiden tersebut.
Presiden sementara Korsel Choi Sang Mok mengumumkan masa berkabung nasional usai insiden kecelakaan pesawat Jeju Air. Masa berkabung dilakukan selama tujuh hari dari 29 Desember hingga 4 Januari 2025.
Advertisement
Bagaimana Penyelidikan Penyebab Kecelakaan Pesawat Jeju Air?
Rekaman kecelakaan menunjukkan Boeing 737-800 tergelincir di landasan pacu dan berbelok melintasi zona penyangga, lalu menabrak penghalang beton dengan kecepatan tinggi dan terbakar saat bagian-bagian badan pesawat terbang ke udara.
Laporan The Guardian yang dikutip Senin (30/12/2024) menyebut kecelakaan pesawat itu adalah yang terburuk di tanah Korea Selatan dan salah satu yang paling mematikan dalam sejarah penerbangannya. Terakhir kali Korea Selatan mengalami bencana udara berskala besar adalah pada tahun 1997, ketika sebuah pesawat Korean Air jatuh di Guam, menewaskan 228 orang di dalamnya. Sementara itu, pada tahun 2013 sebuah pesawat Asiana Airlines mendarat darurat di San Francisco, menewaskan tiga orang dan melukai 200 orang.
Marco Chan, seorang dosen senior dalam operasi penerbangan di Buckinghamshire New University, berspekulasi bahwa kerusakan akibat bird strike alias serangan burung yang melibatkan mesin sebelah kanan dapat menyebabkan kegagalan sistem hidrolik yang membuat pilot tidak dapat menggunakan roda pendaratan.
Sejumlah pemberitaan juga mendukung analisis tersebut, salah satunya kantor berita Yonhap mengutip otoritas bandara yang mengatakan tabrakan dengan burung kemungkinan telah menyebabkan roda pendaratan tidak berfungsi.
“Boeing 737-800 adalah pesawat yang andal dan banyak digunakan, dan kecelakaan ini tampaknya disebabkan oleh serangkaian kejadian yang tidak menguntungkan daripada cacat desain sistemik,” kata Chan.
Jeju Air, salah satu maskapai penerbangan berbiaya rendah terbesar di Korea Selatan, mengganti situs webnya menjadi latar belakang hitam minimalis sebagai tanggapan atas kecelakaan itu. Dalam sebuah pernyataan, pihaknya mengatakan: “Jeju Air menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkena dampak kecelakaan bandara Muan. Prioritas utama kami adalah melakukan segala yang mungkin untuk menangani insiden ini. Kami dengan tulus meminta maaf karena telah menimbulkan kekhawatiran."
Seorang pejabat perusahaan mengatakan kepada Yonhap bahwa pesawat yang terlibat dalam kecelakaan hari Minggu (29/12) telah beroperasi selama 15 tahun dan tidak memiliki riwayat kecelakaan.
Para ahli mengatakan industri penerbangan Korea Selatan memiliki rekam jejak yang solid dalam hal keselamatan, dan ini merupakan kecelakaan fatal pertama yang dialami Jeju Air sejak didirikan pada tahun 2005.
Pihak berwenang kemudian menyelidiki penyebab kecelakaan pesawat tersebut, yang menurut petugas pemadam kebakaran mungkin terjadi karena tabrakan burung dan cuaca buruk. Namun, para ahli telah memperingatkan bahwa kecelakaan itu dapat disebabkan oleh sejumlah faktor.
Investigasi terhadap penyebabnya dilakukan dengan para ahli dan pejabat menunjukkan sejumlah kemungkinan faktor.
Kepala Pemadam kebakaran Muan, Lee Jeong-hyun mengatakan bahwa tabrakan dengan burung dan cuaca buruk mungkin menjadi penyebab kecelakaan itu - tetapi penyebab pastinya masih diselidiki. Perekam suara dan perekam penerbangan dari pesawat telah ditemukan, meskipun kantor berita Yonhap melaporkan bahwa sebelumnya dalam kondisi rusak.
Seorang penumpang dalam penerbangan itu mengirim pesan kepada seorang kerabat, mengatakan bahwa seekor burung "tersangkut di sayap" dan pesawat itu tidak dapat mendarat, media lokal melaporkan.
Namun, pihak berwenang belum mengonfirmasi apakah pesawat itu benar-benar bertabrakan dengan burung.
Kepala manajemen Jeju Air mengatakan bahwa kecelakaan itu bukan karena "masalah perawatan", Yonhap melaporkan.
Departemen transportasi Korea Selatan mengatakan bahwa kepala pilot dalam penerbangan itu telah memegang jabatan tersebut sejak 2019 dan memiliki lebih dari 6.800 jam pengalaman terbang.
Geoffrey Thomas, seorang pakar penerbangan dan editor Airline News, mengatakan kepada BBC bahwa Korea Selatan dan maskapainya dianggap sebagai "praktik terbaik industri" dan bahwa baik pesawat maupun maskapai memiliki "catatan keselamatan yang sangat baik".
Ia menambahkan: "Banyak hal tentang tragedi ini yang tidak masuk akal."
Bagaimana Kondisi 2 Korban Selamat Petaka Jeju Air?
Laporan ABC News menyebut dua orang yang selamat dari kecelakaan pesawat paling mematikan di Korea Selatan dalam beberapa dekade terakhir menjalani pemulihan di rumah sakit terpisah di Seoul pada hari Senin (30/12), saat para penyelidik memulai penyelidikan mendalam terhadap kecelakaan fatal tersebut dan operasi penerbangan yang lebih luas di negara tersebut.
Satu-satunya yang selamat, seorang pria dan seorang wanita, berada di antara enam awak pesawat Boeing 737-800 Jeju Air ketika tergelincir di landasan pacu, menabrak dinding dan terbakar pada Minggu pagi, kata pihak berwenang. Total ada 181 orang di dalamnya.
Pria yang selamat, yang menerima perawatan untuk patah tulang di unit perawatan intensif, dalam keadaan sadar dan berbicara dengan staf medis, kata Ju Woong, direktur Rumah Sakit Universitas Wanita Ewha Seoul, dalam konferensi pers pada hari Senin.
Pria tersebut, seorang pramugara yang diidentifikasi hanya dengan nama belakangnya, Lee, "telah diselamatkan" ketika dia bangun, kata pejabat rumah sakit tersebut. "(Lee) sudah bisa berkomunikasi sepenuhnya," Woong menambahkan. "Belum ada indikasi kehilangan ingatan atau semacamnya."
Sementara wanita yang selamat, pramugari berusia 25 tahun bernama Koo, juga dalam tahap pemulihan, meskipun tidak dalam perawatan intensif, kata staf rumah sakit dan pejabat Kementerian Infrastruktur Darat dan Transportasi Korea.
Tidak ada korban selamat yang mengalami cedera yang mengancam jiwa, kata kementerian, seraya menambahkan bahwa keduanya terbangun di rumah sakit tanpa ingatan yang jelas tentang apa yang terjadi setelah mereka mendengar ledakan saat pendaratan.
Pihak berwenang bekerja pada hari Senin untuk mengonfirmasi identitas lebih dari tiga lusin dari 179 orang yang tewas ketika pesawat itu mendarat darurat. Jenazah 141 orang telah diidentifikasi melalui sidik jari atau DNA mereka, tetapi 38 orang yang tewas masih belum teridentifikasi, kata pejabat setempat.
Pihak berwenang juga menyatakan telah menemukan perekam data penerbangan dari puing pesawat.
Penjabat presiden, Choi Sang-mok, yang telah memimpin negara itu sejak Jumat (28/12), memerintahkan pemeriksaan keselamatan darurat terhadap seluruh armada udara dan operasi Korea Selatan.
Advertisement