OPINI: Reformasi R2P, BRICS vs NATO

Pada 19 Maret 2025, dunia memperingati 14 tahun malapetaka pasca-intervensi R2P NATO di Libya pada 2011, yang mengubah lanskap Timur Tengah secara permanen.

oleh Liputan6.com Diperbarui 15 Feb 2025, 11:46 WIB
Diterbitkan 13 Feb 2025, 21:22 WIB
Pengamat Geopolitik Energi, Alumnus Gubkin Russian State University of Oil and Gas, Fasyeh Hamid.
Pengamat Geopolitik Energi, Alumnus Gubkin Russian State University of Oil and Gas, Fasyeh Hamid.... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - "Kedaulatan Manusia di Atas Kedaulatan Negara", inilah landasan doktrin politik dan moral kontroversial Responsibility to Protect (R2P), sebuah mekanisme polisi HAM universal yang implementasinya terus menjadi episentrum perdebatan antara AS/Barat (pro-intervensi militer) dan BRICS (pro-kedaulatan negara), terutama pasca-intervensi R2P NATO di Libya pada 2011.

NATO khawatir konsolidasi diplomatik BRICS—yang dicurigai dapat bertransformasi menjadi pakta militer—akan memperkuat penolakan kolektif terhadap R2P, yang kini dianggap sebagai alat neokolonialisme Barat untuk menggulingkan pemerintahan dengan dalih krisis kemanusiaan.

Tantangannya kini adalah: bagaimana BRICS merancang skema keamanan global yang lebih adil dan inklusif sebagai alternatif R2P?

Skema pertarungan

Pada 19 Maret 2025, dunia memperingati 14 tahun malapetaka pasca-intervensi R2P NATO di Libya pada 2011, yang mengubah lanskap Timur Tengah secara permanen. Kegagalan eksekusi Resolusi DK PBB 1970 dan 1973 tidak hanya merekonstruksi konsep kedaulatan dan norma kemanusiaan, tetapi juga mempertajam persepsi anti-R2P dan kebencian terhadap arogansi neokolonialisme AS/Barat.

NATO, sebagai motor agresi terhadap rezim Gaddafi, melampaui yurisdiksi R2P dan gagal merekonstruksi sosio-ekonomi Libya, menciptakan vakum kekuasaan yang memicu instabilitas regional hingga ke Suriah.

Ironisnya, R2P tebang pilih. Suriah, Yaman, Sudan Selatan, Rohingya Myanmar—krisis HAM besar sejak 2011—tak pernah diframing dalam R2P, memicu diskursus intervensi militer pun tidak.

Ini kontras dengan perlakuan terhadap Libya, di mana Prancis 'rela' langgar embargo senjata PBB untuk dukung pemberontak anti-Gaddafi (dengan dalih self-defence) [Reuters, 2011], sementara NATO melampaui mandat R2P untuk mengejar Gaddafi, bukan melindungi warga sipil.

Kini, perang proksi merebak, dan Liga Arab-Afrika resmi terdisintegrasi. Perdamaian sementara dibarter dengan hak monopoli SDA, dengan AS/Barat sebagai beneficiary eksklusif izin eksplorasi & produksi—khususnya proyek light crude oil Libya seperti di Ghadames, Sirte, dan Erawin (cadangan migas Libya: 47,1 miliar barel, terbesar di Afrika sejak 2011)—baik via konsorsium (BP, Petrofac, Vitol) atau proksi pemberontak [Declassified UK, 2022]. Kini 90% ekspor Libya adalah migas, dan AS/Barat adalah penikmat utamanya.

Intervensi militer R2P Libya adalah bagian dari strategi sistmetis NATO-Israel untuk mendestabilisasi MENA demi membentengi dan mengontrol episentrum industri migas global.

Profesor Jeffrey Sachs dari Columbia University menghubungkan penyalahgunaan R2P ini dengan tesis Benjamin Netanyahu dalam bukunya Fighting Terrorism: Israel hanya akan aman, jika rezim Pro-Hamas/Hezbollah seperti Suriah, Libya, Irak, Iran, Somalia, Sudan, dan Lebanon digulingkan. Fakta membuktikan, Israel berhasil "menjual" perang ini ke AS, yang terlibat dalam 30 tahun konflik di kawasan tersebut dengan dalih perlindungan HAM.

Ya, Gaddafi otoriter dan tidak transparan dalam mengelola SDA, namun hal itu tidak menjustifikasi pelanggaran terhadap kedaulatan negaranya, karena yurisdiksi R2P seharusnya hanya mencakup upaya perlindungan (defence) warga sipil, bukan serangan ofensif.

Meski begitu, NATO tak pernah disanksi atas pelanggarannya, merusak kepercayaan global pada DK PBB dan kepemimpinannya. Pertanyaannya: apakah R2P masih relevan ditengah kompleksitas agenda great powers? Dan apa batasan implementasinya agar tujuan mulianya tidak terdistorsi?

Secara fundamental, R2P versi ICISS 2001 menggeser kedaulatan negara ke kedaulatan manusia, menyerukan dunia untuk bertindak kolektif atas nama perdamaian dan HAM sebagai benteng terakhir rakyat—khususnya saat instrumen politik (check and balance) absen atau gagal—dalam menghadapi kekuatan otoriter yang melakukan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, sesuai Dokumen Hasil KTT PBB (2005).

 Doktrin ini mulia, dan semua setuju akan hal itu. Namun, inti perdebatan antara BRICS dan AS/Barat terletak pada metode intervensinya. BRICS sepakat mendukung pencegahan dan bantuan internasional (Pilar I & II R2P), tetapi menolak penggunaan kekuatan militer sepihak (Pilar III) ala AS/Barat.

Mereka melihat Pilar III rentan dipolitisasi dan lebih memilih tindakan preventif berbasis persetujuan negara, diplomasi, dan penanganan akar masalah seperti kemiskinan. Pertanyaannya: apakah metode preventif cukup untuk mencegah kejahatan kemanusiaan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dadakan?

 

Strategi BRICS            

Konsep R2P (Responsibility to Protect) perlu direkonstruksi oleh BRICS menjadi R2P (Responsibility to Peace) [O’Connell, 2009], dengan menempatkan perdamaian absolut sebagai tujuan sentral. Pendekatan ini menekankan pada penyelesaian akar masalah konflik, bukan sekadar intervensi reaktif.

Responsibility to Peace menyaratkan pendekatan humanis yang menempatkan HAM (Hak Asasi Manusia), keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan sebagai fondasi utama. Ini berarti fokus pada pencegahan konflik, rekonsiliasi, dan pemulihan pasca-konflik, bukan hanya pada tindakan militer atau sanksi.

Untuk mewujudkan visi ini, BRICS perlu mengoptimalkan setidaknya dua strategi utama: Pertama, konsolidasi upaya diplomatik melalui institusionalisasi BRICS. Selama 14 tahun terakhir, pergerakan moral anggota BRICS cenderung inkonsisten dan sporadis, sehingga kapasitas operasional mereka terbatas.

Hal ini sering disebabkan oleh benturan kepentingan internal, seperti dalam kasus Suriah: Rusia (dalih couterterorisme di Rusia selatan) dan China (dalih ekonomi) memveto resolusi R2P DK PBB dengan alasan pro kedaulatan absolut, sementara India pro HAM dengan support R2P, memilih resolusi S-2012-77 yang mengecam rezim Suriah, mengembalikan perdebatan klasik pada kedaulatan vs HAM.

Soliditas diplomatik BRICS-Global South adalah kunci penyeimbang supremasi AS/Barat di forum internasional, memastikan mekanisme penyelesaian konflik yang adil dan inklusif. Dalam pendekatan preventif (Pilar I & II R2P), soliditas ini meningkatkan kapasitas operasional dan koordinasi resource kolektif.

BRICS bukan aliansi militer, namun kapasitas militer kolektifnya dapat menjadi penyeimbang strategis untuk mencegah provokasi dan perlombaan senjata. Dalam situasi darurat, sanksi ekonomi dan politik kolektif dapat digunakan, atau jika diperlukan, BRICS siap berkontribusi militer hanya sebagai upaya terakhir, di bawah regulasi dan monitor ketat DK PBB.

Kedua, tindakan preventif utama, tetapi jika intervensi terpaksa diperlukan, harus holistik dan mencakup pemulihan menyeluruh. Intervensi militaristik, apapun dalihnya, merusak dua hal: integritas bangsa dan potensi pertumbuhannya. BRICS dan DK PBB harus berkolaborasi memantau implementasi R2P, memastikan tanggung jawab atas kerusakan, dan fokus pada rekonstruksi sosio-ekonomi pasca-konflik.

Upaya preventif, termasuk sanksi tegas terhadap provokator—sebelum atau setelah R2P—dapat mencegah eskalasi konflik menjadi militer atau regional, sementara diplomasi proaktif dan penanganan akar masalah mengurangi risiko konflik sejak awal.

Dengan mengintegrasikan kedua strategi ini, BRICS dapat memimpin transformasi global menuju perdamaian inklusif dan berkelanjutan, sekaligus menantang dominasi Barat dalam narasi keamanan internasional.

Ekspansi dan konsolidasi politik BRICS memperkuat kemampuan mereka sebagai penyeimbang, meski tetap menjaga prinsip bahwa intervensi militer adalah opsi terakhir. Inilah jalan menuju tata dunia yang lebih adil dan humanis.

Penulis: Pengamat Geopolitik Energi, Alumnus Gubkin Russian State University of Oil and Gas, Fasyeh Hamid.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Live dan Produksi VOD

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya