Ibu Guru Kembar Lahirkan Anak Jalanan Berkualitas

Dilatarbelakangi keprihatinan sulitnya pendidikan anak jalanan membuat ibu guru kembar ini mendirikan Sekolah Darurat Kartini.

oleh Kusmiyati diperbarui 24 Feb 2014, 20:30 WIB
Diterbitkan 24 Feb 2014, 20:30 WIB
Ibu Guru Kembar Lahirkan Anak Jalanan Berkualitas
Dilatarbelakangi keprihatinan sulitnya pendidikan anak jalanan membuat ibu guru kembar ini mendirikan Sekoolah Darurat Kartini.

Liputan6.com, Jakarta Gemerlapnya ibukota sepertinya hanya menjadi bayangan ilusi banyak orang, kenyataannya pemandangan yang paling sering dilihat hanya kemisikinan di sudut-sudut ibu kota. Tingginya biaya pendidikan membuat banyak anak yang putus sekolah dan banyak juga yang hidup di jalanan.

Melihat hal ini dua orang ibu yang memiliki tekad yang kuat mencerdaskan dan mengangkat harkat derajat dan tingkat sosial anak jalanan akhirnya mendirikan Sekolah Darurat Kartini.

Siang tadi, Senin (24/2/2014) Tim Liputan6.com berkesempatan untuk melihat kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di kediamannya. Kedua ibu dengan dandanan yang sama persis mulai dari atas kepala sampai ujung kaki menyambut kami dengan hangat dan senyum ramah.

Kedua ibu tersebut bernama Sri Irianingsih (64) dan Sri Rosyati (64), dua ibu ini lebih sering dipanggil ibu guru kembar. Mereka pun memulai kegiatan belajar mengajar, saat itu dalam satu kelas terdapat sekitar delapan anak yang berasal dari beberapa daerah sedang diuji Sri Rosyati tentang kesehatan.

"Kelas ini memang merupakan Sekolah Menengah Kejuruan kesehatan, mereka yang belajar di sini ingin menjadi ahli kesehatan. Ada yang dari Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Jakarta. Saat ini saya sedang menanyakan sebuah kasus misalnya kalau ada anak umur sekian sakitnya ini nah bagaimana penanganannya," kata Rosyati istri dari dr. Admiral SpOG.

Kedua ibu ini memilih mengabdikan hidup mereka untuk anak-anak dengan latar belakang pendidikan kurang. "Kalau anak jalanan itu kan tingkat sosialnya bisa dibilang rendah, bagaimana mereka menjadi orang yang berkualitas yang bisa menghidupi diri mereka kalau pendidikan saja masih sulit mereka jangkau. Kami ingin mengangkat harkat, martabat dan derajat anak sekolah agar lebi berguna bagi dirinya dan banyak orang," kata Sri Rosyati saat ditemui di kediamannya bilangan Kelapa Gading, Jakarta, Senin (24/2/2014).

Sri Irianingsih pun mengatakan hal yang serupa, wanita kelahiran Semarang, 4 Febuari 1950 ini menambahkan keprihatinan terhadap nasib anak-anak pinggiran atau jalanan membuat mereka harus bertindak sesuatu.

"kita tidak bisa diam saja, awalnya Rosy yang memulai kegiatan sekolah ini. Sekolah yang berdiri 1990 ini atas dukungan dari suami Rosy yang berprofesi sebagai dokter kandungan. Kami ingin anak-anak itu sekolah mendapatkan ijazah dan bisa bekerja tidak di jalanan lagi," kata Sri Irianingsih, istri dari Feizal.

Mendirikan Sekolah Dengan Kocek Pribadi

Walaupun namanya sekolah darurat dan diperuntukan anak jalanan dan pinggiran, para siswanya tetap menggunakan seragam layaknya sekolah formal lainnya.

"Mereka diberi seragam, alat tulis ya seperti sekolah pada umumnya. Ini kami buat agar mereka berpikir iyah kita ini anak sekolah juga sama seperti anak-anak lainnya. Agar mereka bersemangat dan terus berusaha mengejar cita-cita dengan serius belajar," kata Rosy.

Nenek-nenek dari tujuh orang anak ini tidak mengandalkan bantuan dari dana sponsor, mereka memulai dengan merogoh kocek pribadi. Baru di sekitar tahun 2010 atau 2012 Kementerian Sosial mulai melirik mereka untuk memberikan bantuan kepada Sekolah Darurat Kartini itu.

"Kalau Kementerian Pendidikan mungkin masih belum karena kan yang belajar disini itu anak-anak jalanan yang tidak memiliki identitas resmi, mereka anak Indonesia tetapi belum menjadi warga negara Indonesia jadi payung hukumnya masih belum ada. Beberapa tahun belakangan ini kemensos yang mulai menggaet kami, kita sering melakukan konfrensi pers tentang mendidik anak jalanan ke pelosok negeri dan luar negeri. Tapi itu kan tidak setiap tahun, tahun ini belum, tapi sudah alhamdulillah" kata Rian.

Tidak Hanya Pendidikan Formal

Anak-anak yang belajar di Sekolah Darurat Kartini saat ini mencapai 600 orang yang terdiri Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanan-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

"Sekarang sudah sedikit karena kan banyak yang sudah lulus, tadinya sampai 2333 orang, di sini mereka tidak hanya belajar pendidikan seperti di sekolah formal tetapi mereka juga diajarkan keterampilan seperti menjahit, memasak dan keterampilan lainnya," kata Rian.

Hal tersebut dilakukan agar anak-anak yang sudah lulus tidak hanya memilki pendidikan yang cukup tetapi juga punya bakat atau keahlian. "Ini membuat mereka semakin berkualitas, nantinya setelah pendidikan selesai itu selalu ada ujian nasional satu orang itu bayar 1 jutaan dan itu kami yang bayarkan agar mereka mendapatkan ijazah dan bekerja untuk menghidupi mereka," kata Rosy.

Menurut Rosy, anak-anak yang ada di Sekolah Darurat dari awal sudah diharuskan memiliki keterampilan dan niat yang kuat. "Kalau tidak niat ya tidak akan bisa, mereka harus punya kemauan untuk berkembang menjadi orang yang berkualitas berguna untuk banyak orang. Kalau anak SD itu sudah harus bisa membersihkan diri mereka sendiri, menyiapkan makanan sendiri, dan itu diajarkan semua di sini. Kan ada jam istirahat dan mereka makan, nah mereka itu masak sendiri dan makan sendiri," kata Rian.

Berhasilnya Lulusan Sekolah Darurat Kartini

Perjuangan ibu guru kembar ini nampaknya tidak sia-sia, anak-anak lulusan sekolah tersebut tidak sedikit yang berhasil. "Wah iyah lulusan sini ada yang menjadi polisi, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Guru. Mereka masih komunikasi dengan kita. Sebagai tanda terima kasih mereka tidak pernah lupa berkunjung untuk sekadar ngobrol atau cerita. Pada dasarnya semua anak di sini baik, mereka selalu menunjukan rasa terima kasih mereka. Walaupun mereka diajar oleh ibu yang bawel," kata Rosy.

Sekolah Darurat Kartini memang tidak sembarangan memilih pengajar, bukan dari kalangan mahasiswa atau pelajar tetapi dari ahlinya. "Kami tidak ingin asal-asalan. Semua yang mengajar itu kami pilih yang berkualitas, mereka bekerja dengan sosial juga tidak dibayar. Ada yang doktor, dokter, bidan, pekerja media untuk mengajar akademi, kalau mahasiswa yang ngajar kami khawatir hasilnya tidak maksimal. Kami ingin mereka yang lulus di sini berkualitas juga, nanti mereka dapat juga sertifikat dari kami," kata Rossy.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya