Liputan6.com, Jakarta Publik Indonesia, terutama warga Jakarta, dikejutkan dengan adanya pemberitaan mengenai kasus dugaan kekerasan seksual oleh beberapa petugas kebersihan di sebuah sekolah internasional yang berada di kawasan Jakarta Selatan.
Kejadian itu kemudian juga diikuti oleh beberapa kasus kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual, yang dilakukan di sekolah oleh guru, pekerja sekolah dan orang-orang terdekat.
Publik juga dikejutkan dengan adanya rilis dari Biro investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) tentang penjahat seksual anak bernama William James Vahey, yang pernah bekerja di sekolah internasional di beberapa negara, termasuk di Jakarta.
Advertisement
Kasus kekerasan seksual terhadap anak memang selalu menyita perhatian publik. Banyak orang tua yang merasa cemas dan khawatir terhadap keselamatan anak-anaknya.
Apalagi, kekerasan terhadap anak biasanya dilakukan oleh orang-orang yang dekat atau dikenal korban, tak jarang oleh kerabatnya sendiri, atau orang-orang yang ada di sekolah.
Di Sekolah Internasional
Yang berbeda kali ini adalah kejadian itu terjadi di sekolah yang berpredikat internasional karena kebanyakan siswanya adalah anak orang asing, ekspatriat, atau diplomat asing yang bertugas di Indonesia. Biaya pendidikan di sekolah itu pun tentu saja jauh di atas rata-rata biaya di Indonesia.
Saat ini, penyidik Polda Metro Jaya telah menetapkan lima orang tersangka yang diduga melakukan kekerasan seksual kepada siswa taman kanak-kanak (TK) di sekolah tersebut. Kelimanya petugas kebersihan alih daya yang bekerja di sekolah tersebut.
Tersangka terdiri atas empat laki-laki dan seorang perempuan. Tersangka perempuan yang berinisial Af diduga tahu kejadian itu, bahkan berperan memegangi korban saat kekerasan seksual terjadi.
Empat orang lainnya yaitu Aw, Ag, S dan Z, ditetapkan sebagai tersangka karena bakteri yang ada di tubuhnya identik dengan yang ada di anus korban. S dan Z juga terindikasi mengidap penyakit herpes. Korban juga diketahui terkena herpes akibat kejadian itu.
Selain mereka berlima, polisi juga telah menangkap seorang berinisial Az yang juga diduga pelaku kekerasan seksual di sekolah tersebut. Namun, dia ditemukan tewas di toilet Polda diduga bunuh diri dengan meminum cairan pembersih di lokasi.
Kejadian kekerasan seksual di sekolah internasional itu diduga tidak hanya dialami satu siswa. Diduga ada korban lain. Pasalnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan telah menerima laporan adanya korban kedua, yang kejadiannya sebelum korban pertama.
"Ada satu korban lain yang diduga juga mengalami kekerasan seksual. Namun, pihak korban masih risih dan belum mau melaporkan ke polisi. Kami tetap mendorong supaya lapor," kata Sekretaris Jenderal KPAI Erlinda.
Erlinda mengatakan korban terlihat gelisah dan ketakutan saat menuturkan peristiwa kekerasan tersebut. Orang tuanya terlihat lebih syok daripada anaknya.
"Korban sempat mengatakan dia mau menceritakan kejadian itu yang baginya sebuah rahasia yang buruk. Dia mengatakan sangat benci dengan kejadian itu," tuturnya.
Kejahatan Paling Keji
Sementara itu, psikolog Ratih Ibrahim mengatakan kekerasan seksual, apalagi terhadap anak, merupakan kejahatan yang paling jahat diantara seluruh kejahatan karena berdampak seumur hidup bagi korbannya.
"Kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan paling keji. Pedofilia, apa pun alasannya, adalah seorang predator bagi anak-anak kita," kata Ratih Ibrahim seperti dikutip Antara, Rabu (30/4/2014).
Direktur Personal Growth itu mengatakan korban kekerasan seksual yang sudah dewasa saja harus menanggung trauma akibat kejahatan itu seumur hidupnya, apalagi bila korban adalah anak-anak.
"Yang rusak dari kejahatan penganiayaan seksual adalah eksistensi korban. Ini tidak hanya eksistensi orang per orang saja, melainkan eksistensi manusia," tuturnya.
Anak-anak, kata Ratih, adalah jiwa yang sangat rapuh karena segala aspek dalam hidupnya sedang berkembang. Hidup seorang anak masih panjang sehingga pengalaman apa pun akan menorehkan sebuah warna.
Apabila dalam hidup terjadi pengalaman yang tidak menyenangkan, maka seseorang sangat mungkin mengalami luka jiwa yang disebut trauma.
"Kalau luka di kulit bisa kita lihat dan obati. Tetapi kalau jiwa yang luka tidak bisa dilihat dan diobati dengan mudah," ujarnya.
Menurut Ratih, semakin muda trauma terjadi pada seorang anak, maka jiwanya akan semakin rusak karena luka yang terjadi.
Sulit Sembuhkan Luka Jiwa
Sebagai psikolog sekalipun, Ratih mengatakan tidak akan bisa mengobati luka jiwa sehingga sembuh seperti semula. Yang bisa dilakukan hanyalah meminimalkan dampak negatif yang mungkin muncul.
"Karena itu, penanganan perlu dilakukan seumur hidup. Mungkin ada beberapa orang yang menganggap itu berlebihan, tetapi kita tidak bisa menghakimi seseorang karena setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda," katanya.
Ratih mengatakan orang tua dan keluarga ikut menjadi korban dan mengalami trauma apabila ada anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
"Orang tua dan keluarga dekat tentu saja ikut menjadi korban dan mengalami trauma. Meskipun terlihat kuat, seorang ibu yang anaknya menjadi korban kekerasan seksual pasti juga mengalami luka jiwa," katanya.
Ratih mengatakan kekerasan seksual yang dialami anak pasti juga akan melukai kejiwaan orang tua, adik, kakak, saudara dan keluarga lainnya.
Seperti halnya anak yang akan trauma dan mengalami luka seumur hidupnya, maka orang tua pun juga akan mengalami trauma seumur hidup, seperti misalnya rasa bersalah.
"Karena itu, orang tua yang terlihat kuat dalam mendampingi anaknya sekalipun pada akhirnya akan mencapai titik terendah. Kalau sudah tidak kuat, perlu ada pendampingan dan konseling bagi orang tuanya secara terpisah," tuturnya.
Korban Sosial
Selain anak dan orang tuanya, Ratih mengatakan kekerasan seksual pada anak juga menimbulkan adanya korban sosial yaitu anak-anak dan orang tua yang menjadi panik karena mendengar kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak.
"Banyak orang tua yang pasti panik dan khawatir dengan keselamatan anaknya. Karena itu, pemberitaan di media harus mempertimbangkan munculnya dampak kepanikan itu," tuturnya.
Korban terakhir adalah korban potensial, yaitu orang-orang atau anak-anak yang berpotensi menjadi korban kekerasan seksual. Menurut Ratih, media harus bisa memberikan informasi untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat.
Karena itu, media massa harus bijak dan berhati-hati dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual, apalagi bila korbannya anak-anak, supaya tidak menimbulkan kepanikan dan memberi inspirasi bagi pelaku baru.
"Media berperan besar bagi dalam penanganan korban kekerasan seksual. Pemberitaan harus memberikan informasi yang objektif dan berempati," katanya.
Ortu Harus Beri Perhatian
Untuk menghindarkan anak-anak dari kekerasan seksual, Ratih mengatakan pendidikan seks perlu diberikan sedikit demi sedikit sejak dini sesuai usia dan perkembangan anak.
Orang tua harus menjelaskan kepada anak bahwa tidak ada yang boleh menyentuhnya secara tidak hormat. Contohnya, anak harus diberi pemahaman mana pelukan kasih sayang dan mana yang bukan. Dengan begitu, apabila ada perlakuan yang tidak pantas, alarm tubuhnya akan "berbunyi".
Anak juga harus diajarkan berlaku sopan kepada orang lain, tetapi harus tetap berhati-hati. Ajarkan anak untuk tidak berbicara dengan orang asing.
"Katakan juga pada anak untuk tidak menerima pemberian apa pun dari orang asing, sekalipun wajahnya seperti malaikat," ujarnya.
Orang tua juga harus memberikan perhatian terhadap kegiatan dan pergaulan anak. Minta agar anak tidak pergi terlalu jauh dan tanyakan ke mana akan pergi.
"Pada dasarnya ibu mempunyai intuisi dan akal sehat terhadap anaknya. Intuisi membuat orang tua tahu perubahan yang terjadi pada anaknya. Itu bisa didapat apabila ada kedekatan dan kepercayaan antara orang tua dan anak," tuturnya.
Dalam memilih sekolah, orang tua harus memperhatikan betul kualitas keamanan dan kenyamanan bagi anak. Lihat apakah sekolah cocok bagi anak, sumber daya manusianya bagus dan guru-gurunya bersahabat dengan anak. Guru juga harus mendapat kepercayaan dari anak.