Liputan6.com, Jakarta Ully Ulwiyah, 31, tidak pernah menyangka minum obat anti tuberkulosis (TBC) yang tidak teratur membuat TBC-nya makin parah. Tubuhnya menjadi kebal obat (resisten). Obat anti-TBC yang diminumnya tidak bekerja dengan baik melawan kuman TBC.
Baca Juga
Advertisement
Ully, sapaan akrabnya tak malu-malu menceritakan kisah dirinya terkena TBC. Dua puluh satu tahun yang lalu, ia terkena TBC. Saat itu, Ully berusia 10 tahun dan masih duduk dibangku SD.
Setiap kali ditanya oleh sang ibu, "Obatnya sudah diminum atau belum?".
Ia selalu menjawab, "Iya, sudah diminum." Padahal, obat tersebut tidak diminum.
"Karena waktu itu, saya merasa bosan kalau harus minum obat terus. Obatnya juga enggak enak. Enggak ada rasanya malah. Pada akhirnya, saya menyesali juga, TBC saya jadi makin parah," ujar Ully dalam acara Kampanye Peduli Kita, Peduli TBC di Gedung Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) Pusat, Jakarta, ditulis Jumat (19/1/2018).
Saat terkena TBC di usia 10 tahun, Ully mengalami batuk berdahak yang tak kunjung sembuh. Pada waktu itu, sebenarnya, Ully tidak melakukan pemeriksaan langsung dari dokter. Bahkan ia tidak menjalani rontgen.
Ini dikarenakan keluarganya terbilang awam dalam mencari pengobatan. Kecurigaan dirinya mengidap TBC diketahui Ully tatkala ada salah seorang kerabatnya yang menganggap gejala yang dialami Ully adalah gejala penyakit tersebut.Â
Berawal dari itu, Ully minum obat anti-TBC, yang hanya dikirimkan kepadanya ke rumah. Tanpa adanya pemeriksaan ke dokter lebih lanjut.
Â
Â
Simak video menarik berikut ini:
Berkali-kali TBC kambuh
Selama pengobatan, Ully diberi obat anti-TBC berbentuk puyer. Ia harus minum puyer selama enam bulan. Baru beberapa bulan minum obat, Ully sudah merasa sembuh.
Ully berhenti minum obat. Ia pun menjalankan aktivitas sehari-hari. Namun, ia tidak mengetahui, kuman TBC di dalam tubuhnya belumlah mati. Ully masih belum bebas dari TBC.
Dua tahun kemudian, saat usianya 12 tahun, ia kembali didera TBC. Serupa di saat usianya 10 tahun, obat anti-TBC yang diminum pun tidak tuntas. Ketika dirasa tubuhnya membaik, Ully menghentikan pengobatan.
"Karena saya bandel (tidak minum obat teratur), saya berkali-kali kena TBC (TBC kambuh) pada 2006. 2007 awal sempat sembuh, tapi 2008 akhir kena lagi. Begitu lagi (kambuh) sampai tahun 2011, akhirnya saya (didiagnosis) MDR (Multi Drug Resistant) TBC," tutur Ully dengan ekspresi yang sedih.
TBC MDR berarti tubuh Ully kebal terhadap obat. Berbeda dengan pengobatan TBC, yang biasa memakan waktu selama 6-9 bulan, TBC MDR membutuhkan perawatan hingga dua tahun. Hasil diagnosis dokter, Ully mengalami TBC MDR saat berusia 27 tahun.
Advertisement
Disuntik dan minum 15 butir obat
Sejak didiagnosis TBC MDR, Ully menyadari, kebandelannya tidak minum obat justru membuat TBC-nya berubah 'menakutkan.' Ia pun bertekad sembuh dari TBC dan menuruti saran pengobatan dari dokter.
"Dalam sekali minum, saya harus minum 15 butir obat sehari. Aduh, kalau ditanya, rasanya ya mual dan muntah. Kata dokter, itu efek samping ringan. Mualnya bukan mual biasa. Rasanya 10 kali lebih mual, pusing, dan kepala muter-muter," tutur Ully.
Tak hanya minum obat saja, Ully juga harus disuntik rutin selama 8 bulan. Meski harus disuntik dan minum obat 15 butir dalam sekali minum, ia berhasil menjalani pengobatan dengan tuntas.
Ia juga harus mengenakan masker selama pengobatan tersebut. Hal ini mencegah agar kuman TBC tidak ditularkan kepada orang lain. Kini, Ully sudah sembuh dan bebas dari TBC sejak enam tahun terakhir ini.
Alami depresi hingga diskriminasi
Akibat minum obat anti-TBC dalam jangka panjang, Ully mengalami efek samping.
"Waktu itu, saya jadi depresi. Takut ke kamar mandi sendiri dan suka berhalusinasi. Kata dokter kejiwaan, yang saya alami ini efek pengobatan yang terlalu lama," ucapnya.
Di sela-sela perbincangan, Ully juga sempat mengalami diskriminasi. Peristiwa ini terjadi saat dirinya naik angkutan umum.
"Kalau ke mana-mana dulu kan, saya harus pakai masker. Saat di angkot, ada ibu-ibu yang melihat saya. Dia bilang, 'Kamu kena TBC ya? Bang, ada (penumpang) yang kena TBC ini. Saya turun saja.' Kaget juga saya. Soalnya (disaksikan) ada penumpang lain juga," kenang Ully.
Akhirnya, Ully yang menawarkan diri untuk turun dari angkot tersebut.
"Saya jawab, 'Tidak apa-apa, Bu. Saya saja yang turun.' Saya turun saja," lanjutnya.
Advertisement
Satu paru-paru rusak
Walaupun Ully sudah bebas dari TBC selama enam tahun terakhir ini, fungsi sebagian fungsi paru-paru tidak bekerja optimal lagi. Ini terjadi karena TBC yang menggerogoti dirinya.
"Paru-paru saya sekarang, hanya sebelah yang 'hidup'. Kalau orang lain kan kedua bagian paru-paru berfungsi, sedangkan saya tidak. Satu paru-paru saya hanya berfungsi 0,2 persen," ujar Ully.
Efek yang terjadi akibat paru-paru yang rusak tersebut, Ully mudah lelah. Ia tidak bisa berlari cepat, seperti kebanyakan orang lainnya.
"Paru-parunya sudah tidak bisa disembuhkan. Intinya, saya bertahan hidup dengan satu paru-paru," tutupnya.
Â