Liputan6.com, Jakarta Helga Angelina Tjahjadi (26), pemilik restoran Burgreens, berhenti makan daging sapi sejak remaja. Ia pun menjadi vegan, sebutan bagi seseorang yang jalani gaya hidup vegetarian. Beralih gaya hidup sehat bukan semata-mata karena dirinya saat remaja rentan sakit dan bergantung dengan obat-obatan, melainkan ikut berkontribusi mengurangi pemanasan global.
Baca Juga
Advertisement
Sejalan dengan Helga, sang suami tercinta, Max Mandias (28) juga seorang vegan. Max terdorong menjadi vegan saat melihat istrinya jalani gaya hidup vegan. Di sisi lain, motivasi Max ikut vegan berawal dari ia menonton video tentang pemanasan global.
“Suami aku abis nonton video pemanasan global. Dia langsung bilang, ‘Aku harus berhenti makan daging.’ Dan besoknya, dia benar-benar berhenti makan daging,” tutur Helga kala berbincang dengan Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Jumat, 21 September 2018.
Menilik cerita Helga dan Max, konsumsi daging merah (dalam hal ini sapi) rupanya ikut menyumbang pemanasan global, yang berdampak pada perubahan iklim. Hal tersebut terkait dengan sektor peternakan menjadi salah satu penyumbang gas efek rumah kaca. Dari jurnal berjudul, Beef Consumption Reduction and Climate Change Mitigation, yang ditulis Elham Darbandi dan Sayed Saghaian dari University of Kentucky, Amerika Serikat, para peneliti percaya, emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan sapi ikut menyumbang 65 persen.
Peningkatan populasi ternak demi ketersediaan daging memicu terjadinya deforestasi. Penggundulan hutan untuk memperluas lahan pertanian dan peternakan. Penebangan hutan untuk pakan ternak juga menyebabkan pemanasan global. Gas metana ikut meningkatkan efek rumah kaca. Ternak berkaki empat atau istilahnya ruminansia (sapi, kambing, domba) menghasilkan gas metana.
Gas metana keluar dari sendawa, kentut, dan kotoran hewan ternak ruminansia. Sebagaimana dikutip dari tulisan berjudul Animal Agriculture’s Impact on Climate Change, gas metana menyumbang 16 persen dari total efek pemanasan global. Potensi pemanasan global mencapai 28 hingga 36 kali lipat, yang berujung menghasilkan karbon dioksida.
Dari perhitungan peneliti, satu kilogram gas metana setara memancarkan 24 kilogram karbon dioksida terhadap efek perubahan iklim. Selain itu, gas metana tetap berada di atmosfer diperkirakan 12 tahun. Demi mengurangi emisi gas rumah kaca dan peningkatan karbon dioksida di atmosfer, kurangi gas metana yang dihasilkan dari hewan ternak dapat menjadi solusi.
Terkait isu dunia "Konsumsi Daging dan Perubahan Iklim" Jurnalis Liputan6.com menayangkan liputan khusus yang terdiri atas tiga tulisan. Artikel ini merupakan tulisan PERTAMA, yang berisi upaya pemerintah Indonesia (dalam hal ini melalui Kementerian Pertanian RI) terhadap produksi daging sapi dan penanganan atasi efek pemanasan global di sektor peternakan.
Simak video menarik berikut ini:
Konsumsi daging sapi di Indonesia
Baru-baru ini, sebuah laporan ilmiah menyebut, sektor peternakan di Eropa telah melampaui batas aman hasilkan emisi gas rumah kaca, dilansir dari The Guardian. Desakan kurangi konsumsi daging untuk menghindari pertumbuhan populasi dan pendapatan global terhadap permintaan produk-produk berbasis daging.
Laporan ilmiah ini sejalan dengan seruan Greenpeace untuk mengurangi separuh jumlah konsumsi daging dan produksi susu pada tahun 2050. Pada tahun 2050 diperkirakan emisi gas rumah kaca akan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya industri peternakan.
Lain halnya di Eropa, Indonesia justru sedang berupaya keras meningkatkan produksi daging merah (sapi) dan susu. Konsumsi daging sapi di Indonesia termasuk terendah di dunia. Masyarakat Indonesia mengonsumsi kurang dari 5 kilogram daging dalam setahun. Penyebab rendahnya konsumsi daging dipengaruhi pendapatan per kapita dan pengetahuan masyarakat yang minim betapa pentingnya protein hewani.
Data Meat and Livestock Australia (MLA), lembaga penelitian dan pengembangan serta pemasaran daging merah mencatat, tingkat pendapatan per kapita menentukan jumlah konsumsi daging masyarakat. Pendapatan per kapita masyarakat Indonesia masih di bawah 10.000 dollar Amerika Serikat atau setara Rp 149 juta.
Jika dihitung, jumlah konsumsi daging sapi di bawah 5 kilogram atau sekitar 3 kilogram per tahun. Jumlah tersebut termasuk yang terendah di dunia. Sementara itu, tiga negara di dunia dengan konsumsi daging tertinggi diduduki Amerika Serikat (120 kg per tahun/orang), Kuwait (119,2 kg per tahun/orang), dan Australia (111,5 kg per tahun/orang), sesuai laporan Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Menyikapi isu konsumsi daging sapi dan perubahan iklim yang tengah menjadi perbincangan dunia, Direktur Pembibitan dan Produksi Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI Sugiono angkat bicara.
“Isu pangan dan lingkungan secara global (yang dikenal dengan istilah double pyramid) menempatkan produksi daging merah akan konsekuensi paling besar terhadap perubahan lingkungan. Namun, dari sisi pemenuhan protein, daging merah punya kontribusi paling tinggi dalam penyediaan protein hewani,” papar Sugiono melalui pesan singkat kepada Health Liputan6.com pada Selasa, 25 September 2018.
Populasi sapi (sapi potong, sapi perah) dan kerbau di Indonesia sebesar 18,53 juta ekor, menurut laporan Statistik Peternakan 2017. Dari jumlah populasi hewan ternak tersebut, Sugiono menegaskan, saat ini konsumsi daging sapi di Indonesia belum sepenuhnya dipandang sebagai ancaman serius. Apalagi ikut menyumbang emisi gas rumah kaca, yang berdampak pada perubahan iklim.
Walaupun begitu, sektor peternakan di Indonesia juga berupaya menerapkan peternakan yang ramah lingkungan. Salah satu contoh peternakan ramah lingkungan, seperti pemberian pakan yang mampu mengurangi gas metana yang dihasilkan dari hewan ternak.
“Pada saat yang bersamaan, selain Indonesia berupaya meningkatkan produksi daging sapi dalam kerangka swasembada protein hewani juga ikut melakukan upaya-upaya wujudkan peternakan yang bersifat ramah lingkungan,” Sugiono melanjutkan.
Advertisement
Pemenuhan protein hewani
Ketersediaan produksi daging sapi di Indonesia dan produk komoditas yang dihasilkan gencar untuk dipenuhi. Dorongan peningkatan produksi sapi bukan hanya dari konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia yang rendah, melainkan ketersediaan produksi daging sapi juga diperkirakan masih rendah.
Kementerian Pertanian mencatat, tahun 2018, produksi daging sapi nasional sebesar 403.668 ton. Namun, jumlah tersebut jauh dari target perkiraan kebutuhan daging sapi tahun 2018 sebesar 663.290 ton.
Menilik angka itu, kebutuhan daging sapi nasional baru terpenuhi 60,9 persen. Strategi pemenuhan protein hewani demi ketercukupan daging sapi terus dilakukan.
“Dalam pengembangan komoditas ternak (daging, telur, susu), bukan hanya untuk peningkatan produksi, tapi juga diarahkan, bagaimana kontribusi masing-masing produk untuk memenuhi konsumsi protein hewani. Hal ini sesuai dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2012), kebutuhan protein hewani yang direkomendasikan sebesar 40 persen dari ternak,” jelas Sugiono.
Salah satu strategi yang akan dikembangkan adalah mengoptimalkan pengembangan ternak lokal di Indonesia sesuai komoditas pemenuhan protein hewani. Pengembangan produksi daging, telur, dan susu memberikan memberikan masyarakat banyak pilihan sumber protein hewani.
Terlebih lagi daging sapi termasuk salah satu sumber protein hewani untuk pertumbuhan otot, perkembangan organ, dan pembentukan hormone, serta enzim. Andika Widyatama dari KlikDokter mengatakan, 100 gram daging sapi rendah lemak dapat mengandung sekitar 26 gram protein. Daging sapi juga kaya sumber zat besi untuk anak. Susu dan produk olahannya (keju, yogurt) mengandung sumber protein yang tinggi.
Strategi lain ketercukupan pemenuhan protein hewani berupa memperbaiki gen untuk meningkatkan produktivitas ternak, mengawasi kesehatan dan siklus ternak. Sektor peternakan pun berupaya mengurangi sampah dalam rantai pasokan ternak, tambah Sugiono, yang mana harus meningkatkan pola pengelolaan sampah dengan konsep 3R (Reuse, Recylce, Reduce).
Pengembangan biogas dan pupuk organik
Dalam hal pengembangan peternakan terkait perubahan iklim, sejak beberapa dekade mulai diinisiasi pengembangan ternak yang terintegrasi untuk mengurangi efek gas metana. Sugiono memberikan contoh pengembangan ternak secara intensif yang diintegrasikan dengan biogas dan pembuatan pupuk organik.
Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik, seperti kotoran ternak. Adanya biogas dan pembuatan pupuk organik termasuk kiat mengelola manajemen kotoran ternak secara optimal. Selain itu, pemberian pakan yang tepat dapat membantu kurangi gas metana pada ternak.
“Terkait penerapan pemberian pakan untuk mengurangi dampak emisi gas metana sudah dilakukan melalui perbaikan manajemen pakan ternak. Di antaranya menggunakan suplemen pakan ternak, mengoptimalkan pakan lokal dengan menggunakan sisa tanaman, dan meningkatkan kualitas pakan,” Sugiono menjelaskan.
Advertisement