Liputan6.com, Jakarta Stunting atau kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis kini tengah jadi fokus pemerintah. Semua lini berupaya untuk menurunkan angka stunting di Indonesia.
Stunting lekat dengan tubuh yang pendek. Namun, tak cuma fisik saja stunting juga memengaruhi kemampuan kognitif seseorang.
Baca Juga
Perlu digarisbawahi, stunting berbeda dengan pendek. Tinggi badan yang relatif rendah bisa juga disebut dengan perawakan pendek (short stature). Hal itu terjadi jika tinggi badan menurut umur dan jenis kelamin berada di bawah persentil 3. Berbeda dengan stunting, perawakan pendek tidak memengaruhi kondisi otak.
Advertisement
"Anak pendek jangan langsung di-judge kalau dia stunting. Tapi perawakan pendek bisa disebut stunting jika terjadi karena gangguan kesehatan atau nutrisi yang tidak optimal," ujar dokter spesialis anak konsultan Damayanti Rusli di acara Milk Versation Frisian Flag, Jakarta ditulis Jumat (25/1/2019).
Stunting selalu bermula dari penurunan berat badan yang dilanjutkan dengan penurunan fungsi kognitif. Damayanti mengatakan, anak penderita stunting berisiko memiliki IQ di bawah 90. Artinya anak hanya mampu bersekolah paling maksimal hingga kelas 3 SMP.
Anak stunting rentan obesitas
Selain masalah kognitif, anak juga mengalami gangguan pembakaran lemak. Potensi obesitas pun membesar seiring dengan keparahan stunting.
Anak bertubuh pendek masih dapat ditolong sebelum menjadi stunting. Kesempatan itu hanya ada sampai anak menginjak usia 2 tahun.
" Stunting itu sifatnya irreversible atau tidak bisa diubah kalau sudah kena. Bawa balita ke dokter spesialis anak karena hanya mereka yang bisa membedakan mana stunting dan bukan," ujarnya.
Asupan gizi memegang peran penting dalam mencegah stunting. Pastikan mereka mendapat protein hewani yang cukup. Jika berat badan turun seketika, segera bawa ke dokter anak untuk dilakukan pemeriksaan.
" Jangan asal tebak sendiri. Nantinya dokter akan membuat grafik untuk membaca apakah anak itu stunting atau tidak," ungkap Damayanti.
Jika kondisinya hanya merupakan perawatan pendek, anak bisa mengikuti terapi. Antara lain terapi sulih hormon, sulih enzim atau teknik pemanjangan tungkai.
Penulis: Annisa Mutiara Asharini/Dream.co.id
Saksikan juga video menarik berikut
Advertisement